Management zkumparan

Blue Bird Berupaya Adaptif di Era VUCA dan Disruptif

Blue Bird Berupaya Adaptif di Era VUCA dan Disruptif

Istilah VUCA dan disruptif pun bagi Sigit P. Djokosoetono, Direktur Blue Bird, muncul ketika kondisi ini terjadi dengan sangat cepat dan ia melihatnya sebagai sebuah tantangan. VUCA dipandang Sigit berbeda walau sebenarnya sama, karena tantangan itu datang bertubi-tubi. Kalau di masa lalu, tantangan yang dihadapi terkait efisiensi, dan perbaikan berkelanjutan. Nah, kalau sekarang nama kerennya VUCA yang bergerak lebih cepat.

Ia mencontohkan, di awal tahun 2000-an Blue Bird menghadapi tantangan bagaimana mengirim kendaraan menggunakan sistem GPS yang lebih baru, tapi belum jelas kesiapan teknologinya lebih jelas di lokal. “Sama kan, kami saat itu menghadapi tantangan, uncertainty, complexity karena barang ini baru, untuk memberikan delivery atau pelayanan yang lebih baik,” katanya membandingkan.

Namun demikian, untuk menghadapi kondisi ini, pihaknya harus bisa menyiapkan langkah antisipasinya. Termasuk masalah SDM yang harus disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi perusahaan sekarang ini. “Saat ini, strategi perusahaan tidak bisa di-set hanya jangka panjang 10 atau 15 tahun saja. Namun ada strategi perusahaan yang harus lebih cepat sehingga meng-handle talent pun berbeda. Efisiensi pun jauh lebih cepat dengan merekrut talent baru untuk menjawab tantangan baru,” jelasnya.

Hal ini bukan berarti harus selalu merekrut talent baru dan talent lama tidak bisa atau kurang capable dengan tantangan baru ini. Namun, hal ini dimaksudkan untuk mendorong perusahaan memanfaatkan talent yang ada dengan menambahkan skill dan kemampuan mereka agar perusahaan lebih ‘kaya’ sumber daya. “Menghadapi VUCA, sebenarnya kuncinya pada eksekusi. Makanya, SDM yang pegang kendali, karena kendali eksekusi ada pada SDM,” ungkap Sigit.

Ia menjelaskan, Blue Bird melakukan IPO (initial public offering) pada 2014 dan sebelumnya, perusahaan sudah menyiapkan struktur organisasi baru. Struktur ini diharapkan bisa lebih bisa membuat perusahaan menghadapi tantangan baru. “Kami ada departemen dan talent baru. Dalam hal ini, kami memandang teknologi menjadi perhatian besar mengingat perkembangan digital sangat cepat. Maka dari itu, ada Chief Information Officer (CIO) untuk menghadapi tantangan di era VUCA ini,” katanya. CIO ini pun direkrut dari dari luar alias berasal kaum profesional yang berpengalaman.

Blue Bird

Sigit P. Djokosoetono, Direktur Blue Bird

Sekarang, ia menyadari perusahaannya menghadapi pesaing yang memiliki basis kekuatan yang berbeda, yaitu perusahaan teknologi. Sedangkan kekuatan BB ada pada kekuatan armada yang prima. “Kami harus mengejar kemampuan itu, walau tentu saja fokus kami tidak di sana seluruhnya,” katanya. Dulu teknologi ini berada di bawah seorang general manager yang merupakan gabungan departemen lain. “Dulu saya yang overseeing departemen itu, juga bagian teknologi,” ujarnya. Sekarang pihaknya memandang penting ada departemen baru dan dipimpin seorang direktur.

“Kami memandang departemen itu diperlukan bukan untuk problem fixing tapi future enhancements,” ungkap Sigit. Melihat apa yang yang dibutuhkan dikaitkan dengan tantangan yang ada, baik itu terkait pengemudi di lapangan, alur informasi, sosialisasi, pelanggan, dan perbaikan sistem juga. Dengan adanya departemen ini, BB telah meluncurkan aplikasi baru pada 2015. “Dulu kami tidak fokus dalam pengembangan apps, sekarang kami sudah kembangkan sendiri,” katanya menginformasikan.

Departemen baru lainnya yang ada di Blue Bird adalah Departemen Marketing dan Komunikasi. Amelia, CMO (Chief Marketing Officer) Blue Bird yang sekarang adalah talent yang pernah bekerja di Garuda Indonesia. “Sebelum Bu Amelia, CMO kami adalah Bu Febby, latar belakangnya FMCG dari Danone,” cetusnya. BB menganggap penting marketing dan komunikasi karena image dan branding menjadi perhatian besar saat ini.

Pastinya juga dalam kondisi VUCA ini, sentuhan ke pelanggan harus lebih baik dan lebih intens karena hal ini menjadi kunci memenangkan persaingan. “Di kami ada yang meng-handle media sosial, karena sekarang media sosial jadi kanal komunikasi, dengan strategi menjawab harus tepat,” katanya.

Selain dua departemen baru itu, Blue Bird juga membuat departemen baru lain, yaitu Business Transformation Office. Ini departemen untuk mendorong strategi-strategi ke bagian-bagian baru itu, agar tim yang ada bisa fokus mengeksekusi program yang ada. “Departemen ini juga dipimpin direktur, tapi dari talent internal. Hanya saja head-head-nya dipimpin orang baru,” ujar Sigit.

Blue Bird juga memperhatikan grooming talent internal. “Mix talent orang baru yang memberi darah segar dan pemikiran baru, dengan orang lama yang memiliki nilai-nilai BB yang kuat,” katanya. Tentang kompensasi, benefit dan reward, tentu saja ada penyesuaian. “Sumber daya IT, kami rasakan susah dapatnya,” ujarnya. Kompensasi diberikan lebih ke result driven yang diterapkan sejak 2-3 tahun lalu dengan Departemen HR yang fokus mengembangkan hal ini.

Jadi, dalam dua tahun terakhir, ada 10 talent baru yang masuk ke BB untuk posisi middle management. “Saya tidak bisa jelaskan detail tentang kompensasi, tapi yang jelas kami harus memberikan kompensasi lebih tinggi dibanding perusahaan sejenis. Kami juga menawari talent bukan dengan iming-iming kompensasi besar, tapi dengan touch point berbeda tiap talent,” jelasnya.

Saat ini, hampir 200 lebih level supervisor ke atas menjadi new leaders yang sedang dikembangkan dari internal. Dalam satu tahun terakhir, Blue Bird telah melakukan empat tahap pengembangan HR paling intens yang pernah dilakukan BB untuk mengembangan talent yang ada. Isinya tentang internal engagement, strategi, leadership, change mind set, dan sebagainya. Ia meyakini hal ini bisa memberikan kontribusi positif untuk perusahaan berlambang Burung Biru ini dalam menghadapi VUCA dan era disruptif seperti sekarang ini. (Reportase: Herning Banirestu)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved