Management Strategy

Cetak Biru Metrodata Garap Bisnis Ritel

Cetak Biru Metrodata Garap Bisnis Ritel

Jagoan tua ini diam-diam sedang menembak bisnis baru, ritel produk TI. Sejumlah jurus penetrasi sudah disiapkan. Ancaman serius buat pemain lama.

“The best way to predict your future is to create it“. Prinsip bisnis dari pakar manajemen Peter Drucker ini tampaknya tak pernah dilupakan segenap jajaran manajemen PT Metrodata Electronics Tbk. dalam meniti masa depan bisnisnya. Daripada pusing-pusing menebak kepastian tren bisnis ke depan, lebih baik aktif mengkreasi tren itu sendiri, menjadi pembentuk pasar agar konsumen tetap terpegang. Tanpa basa-basi, prinsip bisnis itu secara mudah bisa dibaca dari upaya Metrodata mendirikan anak usaha baru, PT My Icon Technology (MIT), yang disebut-sebut akan menjadi kontributor penting bisnisnya ke depan.

Perusahaan baru itu sengaja didedikasikan untuk menggarap bisnis ritel, khususnya produk information & communication technology (ICT). “Pemegang saham Metrodata meyakini ke depan adalah bisnis ritel, baik itu offline maupun melalui e-commerce dengan web store, sehingga kami percaya ini akan menjadi salah satu tulang punggung bisnis ke depan,” kata Eko Handoko Wijaya, profesional yang lama berkarier di Metrodata dan kini didapuk sebagai Direktur MIT.

Penetrasi Metrodata di bisnis ritel ini memang menjadi fenomena menarik dilihat dari berbagai sisi. Pertama-tama, jelas, langkah ini tak bisa disamakan dengan langkah perusahaan lain yang bisa jadi juga sedang mendirikan anak usaha baru bidang ritel ICT. Maklum, di belakangnya ada nama besar Metrodata. Dari sisi magnitude, keseriusan dan dampak bisnisnya terhadap industri, jelas ini akan berbeda karena Metrodata punya rekam jejak sebagai perusahaan besar dan berpengaruh di bisnisnya.

Metrodata, raksasa TI Indonesia yang pada 2010 membukukan pendapatan usaha Rp 3,95 triliun, selama ini dikenal sebagai pionir bisnis distribusi produk TI. Selain itu, juga punya dua pilar bisnis lainnya, yakni solusi dan konsultasi TI. Karena reputasinya, perusahaan-perusahaan TI dunia memercayainya menjadi mitra tetap bisnis mereka di Indonesia. Antara lain, Alcatel-Lucent, APC, Asus, Autodesk, BigFix, BMC Software, Cisco Systems, Citrix Systems, Dell, EMC, Emerson Network Power, Epson, Hitachi Data Systems, Hewlett-Packard, IBM, JDA Software, Lenovo, Microsoft, NetApp, Oracle, SAP, Sun Microsystems, dan Symantec. Artinya, ketika masuk ke bisnis baru bidang ritel – baik offline maupun web store — diprediksi Metrodata tak akan main-main, dan bisnis ini bisa jadi akan melaju seperti bisnis-bisnis lain yang sudah sukses dibesutnya.

Di sisi lain, penetrasi Metrodata di bisnis ritel ini juga menarik dilihat dari model bisnis dan cara penetrasinya. Dari sisi model bisnis, MIT akan menggabungkan kekuatan bisnis ritel secara offline dengan mendirikan gerai-gerai, dikombinasikan dengan toko di Internet (web store). Untuk gerai offline, nama toko yang bakal dikembangkan secara massif itu ialah My I Store, sedang tokonya di dunia maya ada di alamat www.myicontech.com yang sudah live.

Model sinergi kekuatan offline-online ini yang membedakan MIT dengan pemain ritel ICT lainnya. Bhineka.com, misalnya, kuat di online, tetapi setelah sekian tahun, gerai offline-nya belum lebih dari lima. Di sisi lain, pemain-pemain yang punya lebih dari 10 cabang toko biasanya tak mengembangkan kekuatan online. Selain itu, umumnya toko-toko itu juga masih dikelola sebagai toko tradisional.

My I Store, di sisi lain, berusaha mencoba mengambil konsep toko yang berbeda. Ia tidak bermain di toko tradisional, tetapi lebih ke modern dengan konsep convenience store. “Selama ini modern convenience store yang ada kebanyakan luasan tokonya besar-besar, tapi hanya punya beberapa cabang, tak bisa menjangkau wilayah yang lebih luas,” Eko menambahkan. Ritel modern yang dimaksud Eko tampaknya ritel gerai besar seperti Electronic City, Electronic Solution dan Best Denki, yang memang tak bisa fleksibel masuk ke banyak kota karena skala ekonomi per gerai yang mesti besar sehingga tidak bisa masuk ke semua pasar.

“Bagi kami, modern itu lebih ke konsepnya, bukan luas lahannya. Makanya, kami padukan konsepnya yang modern tapi dengan corak persebaran toko tradisional yang ada di mana-mana. Tidak hanya di 10 titik. Makanya, luas toko kami nggak bisa besar-besar, tapi akan kami buat di mana-mana,” tambah Eko. Toko My I Store didesain dengan luas per gerai 50-100 m2. Baru diresmikan sebulan lalu kini sudah ada tiga gerai (Ratu Plaza Jakarta, Karawaci dan Bekasi) dan diharapkan segera berkembang menjadi puluhan.

Kendati demikian, seperti dikatakan Eko, ke depan yang akan menjadi titik andalan untuk bertransaksi ialah bisnis online. “Sekarang eranya tumbuh bisnis e-commerce. Di mana-mana pakai web,” Eko menjelaskan pengamatannya. Hanya saja, diakuinya, kebanyakan orang, khususnya masyarakat Indonesia, masih ragu dengan transaksi dunia maya. “Karakter konsumen yang belanja di dunia maya, mereka mau belanja online, namun harus tahu betul bahwa pengelola yang di belakang web itu bonafide. Ini dimaklumi karena kalau belanja online, kita kan harus gesek dulu, transfer dulu, barang pesanan baru datang kemudian. Di bisnis airline e-commerce bisa jalan karena yang mengelola e-ticketing juga perusahaan airline itu sendiri, (sehingga) konsumen lebih mudah percaya. Beda dengan toko independen seperti kami ini,” dia membandingkan.

Karena konteks bisnis e-commerce yang masih seperti itu, strategi MIT dalam mengembangkan bisnis ritel adalah memilih dengan mengembangkan terlebih dulu sisi bisnis ritel offline-nya secara cepat melalui pendirian banyak toko, sementara bisnis online dikembangkan secara mengiringi. “Inilah alasan kenapa kami akan bikin modern store ada di mana-mana tadi, (yakni) agar orang lebih cepat mengenali web store kami. Jadi, toko-toko itu menjadi modal untuk sosialisasi web store,” Eko menegaskan.

Toko-toko itu diharapkan memberikan pengalaman nyata yang positif ke konsumen sehingga nanti bisa memudahkan konsumen makin percaya pada toko web. Asumsinya: konsumen sudah melihat secara fisik dan membuktikannya sendiri di toko-toko offline.

“Nanti harga produk di toko offline dan web kurang-lebih sama. Promonya mungkin juga mirip-mirip,” Eko menceritakan strateginya. Yang pasti, pihaknya mengharapkan lambat laun konsumen — karena sudah percaya — tak perlu lagi ke toko, cukup membeli melalui web.

Cita-cita itu tampaknya bukan hanya sebuah ilusi. Setidaknya hal itu bila dilihat dari keseriusan MIT yang tampak sudah siap berlari kencang. Dari sisi keuangan, modal dasar yang ditempatkan di perusahaan baru ini Rp 20 miliar dan siap ditambah bila diperlukan. “Dalam tiga tahun pertama saya targetkan sudah punya 99 gerai,” Eko menjelaskan rencana bisnisnya. Tahun pertama ini pihaknya berani mematok target pendapatan Rp 75 miliar. “Kami optimistis bisa mencapainya.”

Untuk investasi, dana anggaran per toko diperkirakan butuh Rp 500 juta-1 miliar, tergantung luas dan seberapa premium lokasi. Biaya itu sudah termasuk persediaan barang. Per toko dirancang dilayani 4-5 karyawan. Pada tahap awal, pemilihan lokasi gerai akan memprioritaskan lokasi di mal-mal yang sudah memiliki tingkat trafik bagus. “Kami belum berani mengambil toko yang stand alone. Kalau brand kami sudah terkenal, baru akan buka tipe stand alone,” katanya. Dalam hal ini pasar yang digarap tak hanya Jakarta, tetapi juga kota-kota besar lain. Contohnya, sekarang sudah hadir di Ambarukmo Plaza, Yogyakarta.

Dan jangan keliru, selain mengelola gerai sendiri, perusahaan ini diam-diam juga sudah dipercaya Carrefour mengelola penjualan konter produk TI mereka (bisnis shop in shop). Karena itu, MIT berjualan dalam gerai Carrefour, khusus untuk produk-produk TI. Tahun 2011 MIT dipercaya mengelola 20 gerai Carrefour. Sekarang empat gerai sudah dijalankan, dan masih ada 16 gerai yang akan digarap. “Beberapa ritel lain juga ingin bekerja sama dengan kami,” ungkap Eko terus terang.

MIT juga memperkuat jaringan ke kalangan prinsipal atau vendor pemasok barang dagangan. Dalam hal ini strategi inti yang dikembangkan adalah tidak semata-mata menjual produk yang didistribusikan perusahaan induknya, Metrodata, tetapi sebanyak mungkin prinsipal. “Yang dijual My I Store justru 70% merupakan produk yang didistribusikan pihak lain. Kalau hanya produk Metrodata, tentu tak lengkap. Itu bukan konsep yang kami inginkan,” kata Eko. Dia menunjuk contoh laptop, di tokonya setidaknya dijual tujuh merek besar mulai dari Asus, Lenovo, hingga Toshiba. “Kami bukan sekadar nyaman, tetapi juga lengkap, Mas!” timpal Melani D. Rohi, Manajer Senior PR PT Metrodata Electonics.

Eko tampaknya tak ingin konsep tokonya terjebak seperti beberapa convenience store yang dikembangkan kalangan distributor produk TI yang umumnya kelengkapannya kurang karena hanya menjual merek-merek di mana mereka punya hak distributorship. Di My I Store, produk yang dijual mulai dari komputer (PC, dekstop, notebook), gadget, printer, storage, power supply, aksesori, multimedia, komponen, dan bahkan juga ada kamera dan peranti lunak. Apakah juga berjualan ponsel? “Kami jualan namun hanya ponsel yang mengarah ke gadget, atau mobile data, bukan HP yang hanya bisa untuk call karena konsep kami ICT,” Eko menerangkan.

Ya, bisa jadi kemudahan mencari sumber pasokan ke kalangan vendor-vendor terbaik ini menjadi salah satu keunggulan MIT. Produknya akan lebih lengkap. Dengan nama besar Metrodata, tentu tak akan sulit menggandeng vendor-vendor untuk menjadi pemasok. Eko sendiri meyakinkan bahwa untuk semua produk yang dijual, konsumen mendapatkan jaminan produk asli dan bergaransi.

Nah, seiring dengan pengembangan jaringan toko offline itu, fondasi bisnis web store pun diperkuat. Selain dengan mengembangkan e-catalog untuk memudahkan konsumen memilih belanjaan, juga menggandeng jaringan mitra untuk memudahkan pembayaran. Sebut contoh, menjalin kesepakatan dengan tiga bank (Citibank, BCA dan CIMB Niaga) untuk mem-back up pembayaran online. “Mereka sudah mengaudit tingkat security web kami dan kami dinyatakan aman.”

Lalu, MIT juga menunjuk perusahaan yang ahli untuk memfasilitasi transaksi pembayaran online, bernama Doku. Dalam dunia e-commerce, Doku adalah pesaing PayPal. Bedanya, Doku merupakan perusahaan lokal. Doku sudah biasa memberikan layanan pemrosesan kartu kredit asal Indonesia. Sebelumnya, perusahaan ini dikenal sebagai NsiaPay. Pay Pal sendiri sering dianggap kurang menguntungkan karena nilai tukar yang digunakan merugikan pengguna di luar Amerika Serikat yang perlu menarik dana ke rekening bank mereka, dan nilai tukar yang ditetapkan sering jauh di bawah tarif yang ditetapkan bank-bank lokal. Doku dinilai lebih pas untuk konteks bisnis e–commerce di Indonesia.

Rupanya, penetrasi Metrodata di bisnis baru itu mendapatkan sambutan positif dari para mitranya. Hal itu tampak dari pernyataan AMD, Microsoft dan Lenovo saat peluncuran unit bisnis baru ini. Country Sales Manager AMD Indonesia Heryanto Arif, misalnya, mengatakan, “MIT diharapkan bisa membantu konsumen dalam hal kemudahan dan kenyamanan untuk mendapatkan produk-produk TI yang berkualitas, termasuk produk-produk kami dari AMD,” kata Arif. Sementara Irene Santosa, Consumer and SMB Lead Lenovo Indonesia, berujar, “Lenovo akan senantiasa bekerja sama dengan MIT ketika terus menambah jumlah gerai My I Store.”

Asnan Furinto, Head of DRM (Doctoral Research in Management) Program Binus University, melihat model bisnis MIT yang mengintegrasikan domain online dan offline adalah konsekuensi dari tuntutan pasar yang mau tidak mau harus dipenuhi di era sekarang. “Bahkan, perusahaan yang bergerak di industri nonteknologi pun saat ini dituntut memiliki eksistensi di domain online dan offline, apalagi untuk Metrodata yang notabene adalah perusahaan berbasis teknologi,” kata Asnan.

Menurut Asnan, tantangannya adalah bagaimana MIT mengedukasi pasar mengenai aspek security dan privacy dalam transaksi bisnis online. “Banyak orang yang sebenarnya aware dengan online purchase tetapi masih enggan bertransaksi karena khawatir kalau data kartu kredit atau data pribadinya di-hack atau di-phising. Kalau campaign-nya terencana dan tereksekusi dengan baik, asosiasi akan cepat terbangun, dan bisnis online dengan cepat akan melesat, melengkapi offline,” kata Asnan.

MIT memang baru melangkah. Namun ke depan, manajemen MIT tampaknya yakin bahwa bisnis ritelnya akan cepat berkembang. “Kami percaya, ke depan, lambat laun, bisnis istribusi itu adalah di ritel,” ujar Eko. Dia menunjuk kondisi di Jepang. “Perusahaan distributor itu ya ritel itu. Dari pabrik barang tinggal dibagi ke toko-toko,” katanya. Dia sangat optimistis dalam tiga tahun gerainya akan mencapai 99 seperti yang ditargetkan.

Tentu, kita masih harus menunggu target itu terealisasi. Namun, buat pelaku sejenis seperti Bhinneka, tentu saja ini tantangan yang sangat berat. (*)

Cetak Biru Bisnis Ritel Metrodata

Mengusung konsep convenience store, tetapi dengan space yang tidak besar agar fleksibel melakukan penetrasi di banyak segmen

Mengombinasikan kekuatan jaringan toko offline dan online

Menggandeng sebanyak mungkin vendor agar produk yang dijual lengkap

Mempercepat penetrasi toko offline lebih dulu untuk memudahkan sosialisasi web store

Membangun web store yang user friendly, didukung sistem pembayaran yang lebih cocok dengan konsumen Indonesia

Riset: Adinda Khalil A.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved