Management

Datangnya Sang Pemberontak

Kallol Barnerjee dan Jaydeep Burman, Pendiri Rebel Foods (foto: etimg.etb2bimg.com)

Dalam 18 bulan ke depan, Gojek Indonesia akan punya kesibukan tersendiri. Setelah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 430 karyawan dan menutup sejumlah layanan, mereka bersiap melakukan pekerjaan besar. Menggelontorkan US$ 5 juta, decacorn Indonesia ini menggandeng Rebel Foods mengembangkan 100 dapur cloud kitchen dalam naungan PT Rebel Gofood Indonesia. Sebuah kesepakatan yang sudah ditandatangani tahun lalu.

Apa itu cloud kitchen?

Cloud kitchen disebut juga sebagai dapur satelit. Ya, ini dapur, bukan restoran. Berbeda dengan restoran yang memiliki area untuk makan di tempat (dine-in), cloud kitchen tak punya area untuk makan, hanya dapur. Dalam model bisnis ini, dapur dilengkapi dengan layanan pesan-antar (delivery) dan tempat untuk menerima pasokan bahan makanan.

Jadi, konsepnya sangat minimalis. Tak perlu lokasi strategis, tempat mewah, cozy, fasilitas duduk dan makan (kursi-meja) yang asyik punya. Yang penting: rasanya enak dan siap diantar dengan cepat. Kalaupun ada bangku dan meja, itu cuma menjadi tempat tunggu bagi para pengantar makanan (driver online) yang mendapat order makanan tersebut.

Di Indonesia, istilah cloud kitchen makin santer terdengar dalam beberapa bulan terakhir. Dan, Gojek tampaknya akan makin serius menggarapnya karena menggandeng Rebel Foods. Perusahaan ini tak bisa dianggap enteng. Ia bisa dikatakan merupakan pemain dapur satelit terbesar di dunia. Total, mereka memiliki 2.200 cloud kitchen di dunia: di antaranya 301 dapur satelit di 20 kota di India, dan beraliansi dengan 1.600 resto. Anda yang berada di satu kota, bahkan bisa memesan makanan dari resto sebuah hotel yang masuk ke jaringan Rebel Foods. Di India, setiap pekan ada 2 juta pesanan masuk ke dapur-dapur Rebel Foods.

Laiknya sebuah kesuksesan, Rebel Foods tak langsung meroket. Kisahnya dimulai pada tahun 2011. Founder-nya, Jaydeep Burman dan Kallol Barnerjee, membuat dapur virtual bernama Faasos Food Services Pvt. Ltd.

Namun, benih bisnis ini sesungguhnya sudah mereka tanam jauh sebelumnya, di tahun 2003. Mereka membuat resto layanan cepat. Tahun 2006, mereka sudah punya empat cabang. Namun seperti dikisahkan Jaydeep, membuka cabang resto ternyata membuat mereka nyaris bangkrut. Sebab, butuh investasi besar untuk lokasi, peralatan dapur, juga peralatan makan-minum yang menarik, termasuk interior agar orang datang dan nyaman.

Karena tak kunjung menunjukkan hasil positif, kedua sahabat ini lalu retret barang beberapa waktu. Mereka menimba ilmu. Jaydeep berangkat ke Prancis untuk mengambil MBA-nya yang kedua setelah dari IIM Lucknow. Kallol menyusul setahun kemudian. Setelah selesai, keduanya lalu menempuh jalan berbeda: Jaydeep ke McKinsey London untuk menjadi konsultan, sementara sahabatnya menjual enterprise software di Bosch, Singapura. Selama masa itu, kedua founder ini menyerahkan restonya software kepada dua sahabat lain untuk menjalankannya.

Tahun 2010, keduanya merasa terpanggil untuk menekuni kembali bisnis kulinernya. Mereka pun pulang, lalu mengibarkan bendera Faasos. Kurang-lebih arti nama ini adalah “bungkus dan makan”. Konsepnya masih resto. Namun, resto yang tidak terlalu besar. Hanya ada satu-dua meja.

Tak lama kemudian, lompatan itu pun mulai terjadi, Sequoia Capital mengucurkan US$ 5 juta pada Oktober 2011. Dana ini kemudian membuka jalan buat mereka untuk melakukan akselerasi secepat kilat. Dua tahun kemudian, Faasos sudah membuka 75 dapur di sejumlah kota besar di India.

Namun, ganjalan terjadi. Kadang lokasi yang tidak tepat atau harga sewa bangunan yang tinggi membuat mereka tak bisa sukses besar. Pertumbuhan mereka mandek.

Rebel Foods merupakan pemain dapur satelit terbesar di dunia yang memiliki 2.200 cloud kitchen di seluruh dunia. (Foto: Dhiraj Singh/Bloomberg)

Beruntung, di tahun 2013 itu konsep mengirim makanan menggunakan internet mulai muncul. Jaydeep dan Kallol pun segera bertindak. Mereka mengubah model bisnisnya. Mereka mendorong Faasos menjadi early adopter untuk membuat cloud kitchen.

Keputusan ini terlebih didorong oleh temuan mereka bahwa web mereka dan bisnis pengantaran lewat telepon ternyata tumbuh pesat. Juga, fakta bicara bahwa 70% pembeli ternyata tidak datang mengunjungi gerai Faasos. Begitu melihat data ini, mereka pun memutuskan menutup gerai-gerai resto, lalu menyewa ruangan murah meriah untuk diubah menjadi dapur dengan sistem online delivery. Maka, sejarah pun dimulai.

Perubahan ini membawa dampak besar bagi bisnis Faasos. Rasio biaya sewa turun dari 15% menjadi 4% dalam dua tahun kemudian. Dan yang lebih penting, mereka tak perlu disibukkan serta dikhawatirkan dengan urusan lelahnya menemukan lokasi strategis. Ini dua masalah yang selama ini membuat mereka sulit melakukan up-scaling untuk bisnisnya karena terbentur biaya dan lokasi.

Yang membuat Faasos kemudian menemukan keunggulaannya adalah dengan bergerak online, selain tak dipusingkan urusan lokasi serta biaya sewa, mereka juga terbebas dari apa yang disebut sebagai specialization strategy di dunia resto. Kalau kita mendengar McDonald’s, misalnya, bayangan kita akan membeli ayam goreng atau burger. Sementara Pizza Hut identik membeli pizza. Sebuah spesialisasi.

Di satu sisi, spesialisasi ini tentu saja bagus. Namun, bisa menimbulkan kebosanan. Inilah yang kemudian menjadi keuntungan Faasos. Dengan membuat banyak dapur yang produknya dikirim secara online, mereka bisa membuat banyak merek sehingga pelanggan pun tidak lagi dipusingkan dengan kejenuhan mengingat beragam menu bisa disajikan Faasos. Ingat, mereka tak lagi bergantung pada lokasi dan biaya sewa sehingga bisa bergerak cepat.

Maka, merek-merek pun meluncur ke pasar. Mulanya, pada 2016 diluncurkan Behrouz Biryani yang menggunakan platform teknologi milik pihak ketiga. Tak dinyana, dalam waktu singkat merek ini melesat. Dalam 18 bulan setelah meluncur, bisnis ini punya putaran hingga US$ 12 juta. Setelah itu, Jaydeep dan Kallol meluncurkan merek-merek lain: Firangi Banke (lasagna), Quesadillas (kesadia), dll. Hingga Oktober 2018, dua sahabat ini telah membangun 20 merek.

Perlahan tetapi pasti, Faasos pun merangsek ke banyak tempat. Dan di tahun 2018 itu pula mereka melakukan rebranding. Faasos diganti menjadi Rebel Foods Pvt. Ltd. Private, Limited. “Kami merasa perusahaan perlu nama baru,” kata Jaydeep.

Dan seperti namanya, Rebel, duet ini seakan memproklamasikan pemberontakan atas kemapanan dunia kuliner, terutama konsep dunia resto yang telah begitu lama mencengkeram kehidupan masyarakat di seantero bumi. Konsep yang mereka tawarkan sangat seksi, yakni “One Cloud Kitchen = Multiple Restaurant Brands”. Ambisinya: membuat 1.000 resto dalam 24 bulan lewat cloud kitchen.

Konsep ini memang dilahirkan sebagai antitesis untuk sebuah kemapanan. Mereka lalu menunjukkan alasannya: pertumbuhan industri, kata mereka, selalu berada dalam dua elemen, yakni merek dan distribusi. Inilah yang terjadi untuk beragam industri, mulai dari FMCG, pakaian, travel, hingga hiburan. Di dalamnya selalu ada pemilik merek (Unilever, Nike, Disney, Marriott) dan peritel kuat (Walmart, Amazon, Expedia, Netflix) sebagai jaringan distribusinya.

Di dunia kuliner, sudah lama sifatnya vertikal. Sang pemilik merek juga yang menjadi pihak distributor (bahkan delivery order pun pakai angkutan milik sendiri). Baru beberapa tahun terakhir dunia ini mengalami perubahan. Di samping pemilik merek resto, juga hadir para distributor produk resto (Swiggy, Zomato, Ubereats, FoodPanda, Doordash).

Kallol Barnerjee (foto: httpsi.ytimg.com)

Jaydeep dan Kallol sepakat bahwa akan jauh lebih efisien jika di satu sisi pihak resto fokus pada brand building, rantai pasok, inovasi menu, proses dan produksi menggunakan robotik, sementara pihak distributor fokus pada fleet management, drone, serta inovasi logistik. Dan, itulah yang kemudian dimanfaatkan habis-habisan oleh Rebel Foods. Mereka menunggangi momentum yang sebenarnya sudah diinisiasi pemain sebelumnya seperti FoodPanda yang menggunakan sistem delivery order via web.

Didukung internet, lalu sistem delivery yang cepat, duet ini pun kemudian merangsek ke banyak kota di India. Bahkan, ke Uni Emirat. Mereka membangun dapur, membangun tempat produksi, membuat menu, lalu menggemakan promosi. Mereka tak pusing dengan urusan lokasi, sewa gedung berikut peralatan makan, juga peranti distribusi. Dua sahabat ini pun segera menjadi penguasa cloud kitchen, ahli kuliner dan teknologi dapur di India.

Kategori merek dapur dibuat berdasarkan jenis makanan: biryani, pizza, Chinese food, makanan Eropa, dst. Kategori ini kemudian diturunkan menjadi ratusan menu. Menariknya, mereka juga proaktif untuk menyajikan menu-menu khas saat perayaan hari-hari agama di India.

Letak kekuatan Rebel Foods setidaknya terletak pada tiga hal: culinary innovation center, end-to–end tech platform, dan supply chain. Mereka punya pusat inovasi untuk mengatur menu. Lalu, dilengkapi teknologi terkini serta rantai pasok yang kontinyu.

Kekuatan inilah yang kemudian membuat Gojek tergiur. Nadiem dkk. menyuntik investasi senilai US$ 5 juta atau sekitar Rp70 miliar pada awal Juli 2019. Dan, kini, selang setahun kemudian, akan segera bergerak masuk merealisasikan rencana yang sudah dibuat.

Seperti disinggung di atas, Gojek dan Rebel Foods sudah membentuk PT Rebel Gofood Indonesia. Ke arah mana gebrakannya, kabar bertiup Rebel akan menyediakan biryani, pizza, dan Chinese food di tahap awal ini.

Yang pasti, masuknya Rebel Foods memperkuat ekosistem bisnis food delivery yang sudah dimiliki Gojek lewat GoFood. Dan yang pasti pula, pertempuran dengan GrabFood akan makin kencang karena Grab lebih dahulu membangun cloud kitchen di Indonesia. Di sini, menjadi menarik apakah peran Rebel Foods akan menjadi pengubah permainan (game changer) dengan kekuatannya sebagai raja cloud kitchen dunia. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved