Management Strategy

Dorong Investasi, BI Perlu Turunkan BI Rate

Dorong Investasi, BI Perlu Turunkan BI Rate

Ekonomi Indonesia melambat sepanjang kuartal I-2015. Dari data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini hanya 4,7%, lebih rendah dari realisasi pada kuartal IV-2009. Lembaga Studi Ekonomi dan Keuangan (Indef) menilai Bank Indonesia perlu mengambil peran strategis lewat kebijakan suku bunga (BI Rate). “Salah satunya melalui instrumen tingkat suku bunga. Ketika tingkat suku bunga ditujukan untuk mengantisipasi gejolak nilai tukar rupiah, jangan harap sektor riil akan menerima manfaat dari besaran suku bunga,” kata Peneliti Indef, Rusli Abdullah.

Menurut dia, penurunan BI Rate diharapkan diikuti penurunan suku bunga kredit, terutama kredit investasi. Investasi adalah salah satu motor paling kuat pendorong pertumbuhan ekonomi, setelah belanja pemerintah dan konsumsi masyarakat. Dengan catatan, pemerintah selaku otoritas fiskal juga menunaikan perannya, yakni mempercepat pencairan anggaran dan pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur penting, seperti jalan tol, perumahan, dan lainnya. “Realokasi APBN perlu dikaji ulang dari sisi efektivitas cakrawala waktu dan memperhatikan besar pengaruh variabel sumber pertumbuhan ekonomi. Juga diperlukan pragmatisme dan konservatisme perencanaan APBN,” ujarnya.

Meski begitu, BI jelas harus memikirkan masak-masak sebelum memutuskan menurunkan BI rate. Seperti halnya bank sentral lain di dunia, terutama di negara-negara berkembang, BI masih harus melihat keputusan Bank Sentral Amerika Serikat soal rencana tapering off untuk mendorong pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam. “Ekonomi AS membaik, dolar AS kembali ke Amerika. Pemulihan ekonomi Amerika pasca krisis 2008 menjadikan The Fed, akan melakukan pemangkasan quantitative easing. Salah satunya dengan menaikkan tingkat suku bunga,” kata Rusli.

BI logo

Bank Sentral menaikkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 7,75% pada 18 Nopember 2014, beberapa saat setelah pemerintah menaikkan harga BBM. Setelah bertahan selama dua bulan, BI memutuskan menurunkan suku bunganya sebesar 25 bps untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi pada 17 Februari 2015. Upaya memotong kedua suku bunga BI serta fasilitas simpanan tersebut dinilai UBS sebagai siklus pelonggaran yang berkelanjutan. April lalu, Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Deposit Facility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%.

“BI Rate dipertahankan tetap tinggi untuk menahan agar tidak terjadi capital outflow. Namun, dampak buruknya adalah suku bunga kredit di Indonesia adalah yang tertinggi di kawasan Asia. Penyaluran kredit juga menurun. Pada tahun 2011, kredit tumbuh 23,25%, pada 2014 hanya naik 11,56%,” ujarnya.

Rusli menambahkan, sinergi kebijakan fiskal dari pemerintah dan moneter dari BI harus terus ditingkatkan. Pemerintah bisa membantu upaya BI menjaga inflasi dengan cara stabilisasi harga bahan pokok seperti beras oleh Bulog. Komponen administered price (harga barang yang diatur pemerintah) seperti BBM, elpiji, dan listrik juga harus dikelola dengan baik. “Ketika BI sudah mentok dengan kebijakan suku bunganya, pemerintah juga bisa mengupayakan cara lain untuk mendorong penyaluran kredit, misalnya lewat subsidi bunga oleh pemerintah daerah, terutama untuk kredit UMKM di sektor-sektor yang strategis,” katanya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved