Management

Dua Kendala Wanita Capai Puncak Karier

 Dua Kendala Wanita Capai Puncak Karier

Tommy Sudjarwadi

Untuk menjadi pemimpin atau leader, wanita perlu effort lebih besar ketimbang laki-laki, karena pengaruh kultur Indonesia. Sebenarnya, apa saja kendala wanita untuk mencapai posisi puncak karier? “ Kalau menilik saat ini, kendala yang dihadapi oleh wanita untuk menjadi leader di Indonesia sudah relatif sangat berkurang dibandingkan 10-15 tahun yang lalu. Bahkan di beberapa industri (media, komunikasi, kreatif, fashion, dsb) preferensi wanita untuk dijadikan leader sudah terbentuk dengan kuat,” ujar Tommy Sudjarwadi, Partner Dunamis Organization Services.

Kalaupun masih ada hambatan, lanjut Tommy, biasanya terkait dengan dua hal. Pertama, budaya laki-laki harus lebih superior dibandingkan wanita. Ini lebih sering berlaku di lokasi geografis di luar kota-kota besar seperti: Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar. Kedua, tuntutan pekerjaan yang membutuhkan kehadiran fisik/sosok laki-laki seperti di industri pertambangan, perkebunan, kehutanan dan industri yang sejenisnya.

Perlukah keberpihakan kepada wanita? “Tidak perlu,” tukas Tommy dengan tandas. Menurutnya, wanita akan menjadi leader dengan sendirinya dengan segenap potensi dan kelebihannya. Kalaupun perlu diberi kuota untuk wanita, lebih diarahkan untuk membangkitkan semangat para wanita di luar kota besar.

Beberapa hal perlu dilakukan perusahaan agar wanita yang punya talenta bagus bisa terus mengembangkan karier, di antaranya memberi kesempatan yang sama dengan karyawan pria. Terutama, dalam mengelola skeptisisme di saat-saat awal para wanita diberi kesempatan tersebut. Singkat kata: beri kesempatan para wanita untuk membuktikan kemampuannya dalam 1-2 tahun pertama, jangan diintervensi selama periode tersebut.

Iklim seperti apa yang harus dikembangkan sebuah perusahaan agar potensi wanita bisa muncul secara optimal? Kata Tommy, iklim yang toleran terhadap keterbatasan-keterbatasan wanita. Maksudnya, soal cuti melahirkan. Hal ini jangan dijadikan faktor yang membebani perempuan. Misalnya saat evaluasi tahunan, performa wanita jangan dilihat dari segi volume sebab ini sangat mungkin wanita akan tertinggal bila dalam tahun tersebut dia mengambil cuti melahirkan. Yang perlu dijadikan bahan evaluasi adalah kualitas bukan volume. Juga soal “tradisi” berlama-lama di kantor bahkan lembur hingga pagi. Nah, ketika perempuan pulang cepat, jangan dijadikan beat count. Selama hasil karya bagus dan pekerjaan selesai, pulang cepat jangan dijadikan masalah. Hal-hal yang sifatnya operasional tersebut tanpa disadari sering menjadi batu sandungan. (Sigit A.Nugroho/EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved