Management

Eka Sari Lorena Soerbakti, “Pebisnis Harus Beradaptasi dan Agile”

Eka Sari Lorena Soerbakti, CEO Grup Lorena,

Eka Sari Lorena Soerbakti adalah seorang pengusaha dan CEO Grup Lorena, perusahaan transportasi yang didirikan oleh ayahnya, G.T. Soerbakti. Perempuan kelahiran Jakarta, 3 Juni 1969, ini sangat menguasai bidang bisnis yang digelutinya. Tidak mengherankan, ia pernah didapuk menjadi Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda), masa bakti 2010-2015.

Lalu, bagimana pandangan dan wisdom bisnisnya dalam menghadapi kondisi sekarang? Berikut ini penuturannya:

Krisis Covid-19 merupakan krisis yang saya percaya dalam 99 tahun ini tidak pernah ada. Orang mengatakan krisis seperti ini terjadinya 100 tahun sekali. Jika saya tanya Ayah atau orang yang lebih senior, mereka mengatakan bahwa tidak pernah ada krisis seperti ini sebelumnya. Krisis ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia, benua Amerika, benua Asia, atau beberapa negara saja, tetapi merata di seluruh dunia. Jadi, ini krisis yang sangat luar biasa dan terjadinya di seluruh dunia.

Jika dibandingkan dengan krisis 1998 tentu sangat berbeda. Ketika itu pure hanya krisis ekonomi yang disebabkan masalah ekonomi. Namun, krisis kali ini disebabkan suatu pandemi karena virus yang membuat orang tidak bisa bergerak, banyak orang meninggal, sehingga orang harus berhati-hati. Jadi, banyak kekhawatiran, banyak korban, dan vaksinnya belum ada. Karena itu, tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi krisis ini juga berdampak pada mental, kesehatan, dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Di 1998, hal-hal tersebut tidak terjadi sehingga sangat berbeda.

Kami memiliki grup usaha transportasi penumpang, barang, dan nontransportasi. Transportasi merupakan industri yang sangat terpukul, karena selama pandemi ini orang tidak diizinkan bepergian, kita pun tidak diizinkan beroperasi. Kami tidak beroperasi hampir empat bulan. Ketika diizinkan beroperasi juga banyak keterbatasannya, dan masih banyak orang takut bepergian. Tentunya, keadaan ini masih sangat tidak normal. Jumlah kendaraan yang beroperasi untuk angkutan penumpang pun masih sangat kecil walaupun berangsur meningkat.

Selama masa transisi atau new normal ditetapkan prosedur yang harus diikuti agar penumpang ataupun orang-orang yang melakukan kegiatan operasional ini tetap aman dan sehat. Itu notabene menambah beban biaya. Namun, jika kita menambah biaya (harga tiket) juga tidak sampai hati karena saat ini banyak orang yang terkena PHK, pendapatannya berkurang; banyak usaha yang terpukul karena tidak bisa melakukan kegiatan secara normal.

Kegiatan ekonomi bisa dilakukan apabila kita bergerak, tetapi saat ini tidak mudah orang untuk bergerak. Apalagi, virus ini kan tidak terlihat dan kita tidak tahu ada di mana saja. Kita juga tidak tahu secara konkret mengapa sampai terjadi pandemi ini.

Bisnis logistik untuk korporasi juga terpukul karena banyak pabrik yang tutup, karyawannya tidak boleh masuk sehingga tidak ada kegiatan bisnis. Yang tetap bisa berjalan adalah bisnis online, e-commerce, tetapi itu pun saya melihat jumlah yang dibelanjakan tidak sama. Mungkin saat ini frekuensinya lebih sering, tetapi jumlahnya tidak sebanyak dulu. Dulu, sekali beli bisa sepuluh; sekarang, mungkin hanya dua.

Bisnis nontransportasi kami juga tidak mudah. Siapa yang mau menginap di hotel? Siapa yang mau mengadakan rapat di hotel? Tidak ada lagi. Orang mau pernikahan atau pertunangan di hotel juga dibatalkan. Jadi, hospitality industry ini sangat terpukul.

Maka, kita harus beradaptasi, memikirkan apa yang kita punya, resources apa yang kita miliki, dan apa yang bisa kita lakukan dengan tidak menambah beban, sambil melihat bagaimana dalam keadaan gelombang yang besar ini kita bisa mengarunginya sehingga pada akhirnya kita tahu cara mengatasinya. Saat ini saya percaya semua orang sedang belajar bagaimana bisa bertahan dan mengatasi keadaan saat ini.

Sebenarnya, krisis itu sering kita hadapi dalam hidup. Krisis ini kan hubungannya dengan tantangan, kendala, masalah. Namun, level krisis itu macam-macam, mulai dari yang biasa, berat, hingga sangat berat. Hal yang bisa dipelajari dari krisis 1998 itu, pertama, kita harus berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk bisa bertahan dan bangkit kembali dengan melihat resources dan tim yang kita miliki.

Kedua, harus mampu beradaptasi dan mengadopsi hal-hal yang baru/berbeda dengan memaksimalkan resources yang kita miliki. Kita harus melakukan hal-hal yang berbeda dengan sebelumnya. Sebab, setiap keadaan pasti memerlukan cara yang berbeda pula untuk menyelesaikannya atau memperbaikinya sehingga bisa keluar dari masalah tersebut.

Ketiga, tetap membangun rasa persatuan tim. Jika kita tidak kompak, tidak merasa menjadi satu institusi yang ingin bersama-sama keluar dari permasalahan, itu akan lebih menyulitkan bagi organisasi untuk bisa bertahan atau bangkit dari tantangan yang dihadapi. Persatuan dan kesatuan tim sangat penting untuk kita bisa bersama-sama berpikir bagaimana solusi terbaik untuk menghadapi tantangan ini. Kita juga harus berusaha membawa hal yang positif untuk satu sama lain. Hal-hal itu yang kita petik dari krisis tahun 1998 dan diterapkan di krisis kali ini.

Selain beradaptasi, kita juga harus agile. Jika kita berubahnya lambat, akan keburu tenggelam. Jika sudah tenggelam, untuk bangkit kembali akan lebih sulit. Ombaknya mungkin jauh lebih besar sehingga akan lebih menyulitkan bagi kita untuk bertahan dan keluar dari permasalahan yang kita hadapi.

Dan, jika saat ini usahanya memang kurang dibutuhkan, hal yang harus dihindari adalah berinvestasi. Misalnya, membeli kendaraan baru, membuat gudang baru, atau membuat produk baru. Kecuali, bisnis yang berhubungan dengan FMCG dan medis ya, karena saat ini mereka dibutuhkan sehingga investasi resources dan development yang lebih lagi menjadi penting.

Namun, bagi industri atau kegiatan usaha yang saat ini permintaannya tidak banyak, bahkan cenderung sangat turun, jangan melakukan investasi. Yang harus dilakukan adalah petakan resources apa yang kita punya sehingga kita bisa melakukan perubahan atau kegiatan usaha yang berbeda. Dengan catatan: tetap menggunakan resources yang kita miliki. (*)

KUTIPAN

“Selain beradaptasi, kita juga harus agile. Jika kita berubahnya lambat, akan keburu tenggelam. Jika sudah tenggelam, untuk bangkit kembali akan lebih sulit.”

Wisdom Bisnis Eka Sari Lorena Soerbakti

Dede Suryadi dan Vina Anggita


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved