Management Strategy

Hadapi MEA, Industri Karet Perlu Industri Pendukung

Hadapi MEA, Industri Karet Perlu Industri Pendukung

Ketua Dewan Karet Indonesia, Aziz Pane, mengungkapkan, para pengusaha karet di Indonesia belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlangsung tahun 2016 ini. Hal ini dikarenakan harga komoditas tersebut di tingkat dunia yang terus tergerus, tidak adanya industri pendukung untuk pengolahan karet.

Dari data Dewan Karet Indonesia, harga karet saat ini di level Rp 4.000 (US$ 1,2) per kilogram. Padahal seharusnya harga karet di tingkat petani minimal sebesar US$ 1,8 per kilogram. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global menjadi salah satu pemicunya. Akibatnya ekspor karet terbesar seperti China dan Amerika menurun.

Perkebunan karet di Indragiri Hilir, Riau

Perkebunan karet di Indragiri Hilir, Riau

Azis menilai saat ini pemerintah belum melakukan upaya apapun untuk dapat mengerek harga karet di tingkat petani. Walaupun belum lama ini, pemerintah sempat berencana menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) mengenai hilirisasi karet namun tak kunjung terealisasi.

“Jadi bagaiamana menghadapi MEA ini, kita kelihatannya ada yang yang kita tunggu yaitu Instruksi Presiden (Inpres) untuk membuat industri karet sampai sekarang Inpres nya belum keluar. Jumlah masyarakat di Indonesia ini kan banyak, kalau tidak siap, maka Indonesia akan menjadi pasar,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui di negara-negara ASEAN yang salah satunya Indonesia merupakan salah satu penghasil karet terbesar di dunia setelah Thailand, kemudian Vietnam dan Malaysia. Menurut Aziz, dengan adanya MEA, tentu persaingan semakin ketat sehingga perlu adanya inovasi-inovasi baru di bidang industri karet untuk memberikan nilai tambah karet alam sehingga menghasilkan produk yang mempunyai nilai daya saing. Pasalnya di Indonesia produksi karet alam 3 juta ton per tahun, dan 450.000 ton dimanfaatkan produsen ban global sedangkan sisanya diekspor.

“Jadi di ASEAN ini kita kuat karet, karena sama-sama kuat, karet kita akan bersaing antar kita, makanya yang paling betul mengembangkan industri darikomudiatas karet itu, ini yang belum ada,” ujarnya saat dihubungi SWA Online.

Namun, untuk menghasilkan produk-produk berbahan dasar karet, masih membutuhkan bahan baku impor dalam jumlah yang cukup besar. Kebutuhan bahan baku impor dalam produk karet nasional, seperti produk ban mencapai 62 persen. Dengan kondisi nilai rupiah yang masih rendah dibandingkan dolar AS. Hal ini membuat harga produksi menjadi tinggi dan produk-produk yang dihasilkan menjadi mahal.

Ia meminta pemerintah mengupayakan ada investor yang mau membangun industri bahan baku yang dibutuhkan sektor perkaretan di Indonesia, karena hingga saat ini produksi barang yang berasal dari karet masih mengimport bahan konten lainnya karena tidak ada industri pendukung ditengahnya.

“Sekarang saat ini harusnya kita mencari investasi di bidang industri pengelohaannya, di hulu kita kuat, targetnya kan hilir untuk eksport tapi ditengahnya itu kita belum siap,” tandasnya.

Di lain pihak, China justru sangat agresif berinvestasi di Laos, Kamboja dan Myanmar untuk membuka lahan karet seluas lima juta hektare dan tujuh ribu pabrik karet di Laos. Sehingga Indonesia harus mulai mewaspadai perkembangan perkebunan karet di beberapa negara Asia Tenggara lainnya dan berbenah diri agar mampu menghadapi tantangan kedepan yang diprediksi akan semakin sengit mengingat akan ada pesaing baru di sektor ini.

“Saat ini Vietnam sudah diperingkat tiga produsen karet dunia, sementara itu Laos dan Myanmar, berkat pesatnya investasi China di kedua negara tersebut, membuat sektor perkebunan karet mereka perlahan-lahan mulai bangkit, ” tutupnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved