Management Trends zkumparan

Indonesia Soroti Tata Kelola Laut di Sherpa PTT

Indonesia Soroti Tata Kelola Laut di Sherpa PTT

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menghadiri Sherpa Panel Tingkat Tinggi (PTT) untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Pertemuan Sherpa kali ini membahas mengenai Kertas Kerja atau Blue Papers, khususnya Kertas Kerja 14 tentang Holistic Ocean Governance dan Kertas Kerja 15 tentang IUU Fishing and Crimes Related to Fisheries.

Kertas Kerja merupakan kajian dari 47 ahli dari berbagai negara untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan potensi laut beserta sumber dayanya, mengidentifikasi faktor-faktor penyebab permasalahan laut, dan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi aksi untuk memanfaatkan ekonomi laut secara berkelanjutan.

Dalam pertemuan kali ini, Indonesia mendukung reframing Kertas Kerja 14 tentang Holistic Ocean Governance. Hal ini mengingat pengelolaan sumber daya laut selama ini dinilai masih dikelola secara terpisah oleh beberapa organisasi seperti FAO yang mengurusi sektor perikanan, International Seabed Authority yang mengelola sektor tambang bawah laut, dan IMO di bidang pelayaran.

“Kertas Kerja 14 harus dapat menjawab isu efektivitas pengelolaan sumber daya laut di bawah organisasi yang berbeda-beda dan melihat apakah dibutuhkan pembentukan badan permanen PBB untuk mengawasi sumber daya laut secara terintegrasi”, ujar Menteri Susi.

Selain itu, ia juga mengingatkan forum mengenai isu pelanggaran HAM, perdagangan orang, dan perbudakan yang kerap terjadi di atas kapal penangkap ikan di laut lepas. “Kita bisa melihat fakta di lapangan bahwa praktek Illegal, Unreported, dan Unregulated Fishing (IUUF) seringkali bersangkutan dengan isu perdagangan dan perbudakan manusia. Sayangnya, berbagai kebijakan dan kelembagaan internasional yang mengatur perikanan yang sudah ada saat ini tidak menyertakan aspek tenaga kerja di dalamnya,” ujar Menteri Susi.

Menurutnya, laut lepas merupakan tempat yang sangat rentan bagi para pekerja di sektor perikanan karena mereka cenderung jauh dari jangkauan daratan selama bertahun-tahun. Hal itu menyebabkan para pekerja seringkali mengalami tekanan, baik secara fisik maupun mental.

Lembaga Regional Pengelola Perikanan atau RFMOs dinilai belum dibekali dengan otoritas untuk menginspeksi kebutuhan tenaga kerja berdasarkan Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. “Mempererat RFMOs dengan otoritas yang menangani aspek tenaga kerja kapal penangkap ikan bisa menjadi solusi untuk permasahan ini,” ujarnya. Oleh karena itu, Indonesia mendorong agar Kertas Kerja 14 menimbang keterkaitan antar berbagai isu kelautan. Di antaranya perikanan, isu ketenagakerjaan, pencemaran laut, kemanan maritim, dan perubahan iklim.

“Kami percaya bahwa Kertas Kerja 14 bisa menjadi titik awal untuk mengevaluasi seluruh tata kelola manajemen sumber daya laut, baik secara regional maupun global. Rekomendasi yang dihasilkan nantinya bisa digunakan untuk memperkuat berbagai kebijakan dan lembaga yang sudah ada untuk mengelola sumber daya kelautan,” kata dia.

Selain menyoroti poin-poin dalam Kertas Kerja 14, Pertemuan Sherpa turut membahas beberapa isu prioritas yang akan menjadi agenda utama PTT di tahun 2019 yaitu IUUF dan Tindak Pidana Terkait, Perubahan Iklim dan dan Subsidi Perikanan. Indonesia turut mengawal proses penyusunan Kertas Kerja 15 tentang IUUF dan Tindak Pidana Terkait. Penyusunan Kertas Kerja 15 ini akan dipimpin oleh perwakilan Indonesia, Hassan Wirajuda, yang tergabung dalam Kelompok Ahli PTT. “Kertas Kerja 15 ini sangat penting untuk membahas beberapa permsalah dalam IUUF yaitu transshipment di tengah laut, pendaratan ikan di port of convenience, penggunaan flag of convenience, tindak pidana yang terkait dengan IUU Fishing, serta lemahnya transparansi dan teknologi aktivitas perikanan,” ujar Menteri Susi.

Menurutnya, setiap isu tersebut harus diuraikan melalui berbagai temuan dan norma yang berlaku. Hal ini mencakup ketentuan tentang penegakan hukum dan sanksi, pengaturan lembaga, serta metode pemantauan dan pengawasan. Kertas Kerja 15 akan menjadi sangat penting untuk memberikan pengetahuan ilmiah sebagai dasar dari dokumen kebijakan yang tengah diusulkan.

“Kami sangat mendukung gagasan untuk memasukan poin ‘tindak pidana terkait lainnya’ ke dalam Kertas Kerja 15. Dokumen ini nantinya akan menunjukkan lebih banyak bukti tentang keberadaan dan betapa beratnya kejahatan terorganisasi internasional dalam industri perikanan global. Indonesia bisa memberikan beberapa contoh kasus yang sudah pernah kita tangani, seperti yang terjadi pada kasus Viking, STS-50, Hua Li 8, dan Benjina” ucap Menteri Susi.

Ia juga menyatakan bahwa Port State Measures Agreement yang telah diratifikasi oleh 30 negara bukan satu-satunya perangkat yang dapat memberantas IUUF. Menteri Susi mengajak negara-negara untuk menerbitkan kebijakan yang tegas, menyediakan anggaran untuk memperkuat kapasitas penegakan hukum, dan mengambil tindakan tegas dalam melawan IUUF. Ia juga mengajak negara maju untuk membantu negara berkembang dalam memperkuat kapasitas penegakan hukum untuk memberantas IUUF dan tindak pidana terkait perikanan.

Indonesia merekomendasikan Kertas Kerja 15 untuk mengevaluasi tata kelola perikanan laut lepas, baik secara regional maupun global, sebagai upaya untuk memperkuat implementasi akan UNCLOS, UN Fish Stock Agreement, Konvensi ILO No. 188, Konvensi RFMOs, dan konvensi-konvensi internasional terkait lainnnya tentang manajemen perikanan berkelanjutan. Hasil dari Kertas Kerja 15 diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan IUUF dan tindakan kriminal terkait lainnya.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan isu perubahan iklim, Susi menyampaikan bahwa Indonesia akan sangat terdampak oleh kenaikan air laut yang akan mengancam kehidupan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. “Indonesia melihat perlunya mendorong investasi untuk membangun infrastruktur pesisir yang dapat beradaptasi terhadap dampak iklim, penyediaan asuransi terhadap dampak perubahan iklim, dan pengembangan kapasitas komunitas pesisir untuk menghadapi dampak perubahan iklim,” ujarnya. Sementara terkait isu subsidi perikanan, Indonesia mendukung pelarangan subsidi perikanan yang berkontribusi terhadap IUUF dan tindak pidana lainnya yang terjadi di laut. Namun, Menteri Susi menyatakan bahwa ketentuan pelarangan penyediaan subsidi perikanan harus mengecualikan bantuan terhadap nelayan kecil dengan kapal sebesar 5-10GT.

Dalam akhir intervensinya, Menteri Susi menyarankan penambahan isu tata kelola laut lepas atau governance of the high seas dan hak laut atau ocean right sebagai paradigma baru tentang hubungan laut dengan manusia. Kedua isu tersebut dapat menjadi bagian dari Kertas Kerja yang sedang disusun oleh Kelompok Ahli PTT. Ia menekankan pentingnya kerjasama antar negara untuk menjaga keberlanjutan kebijakan tentang pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan.

“Kebijakan merupakan instrumen politik yang dapat diganti kapan saja. Oleh karena itu, dukungan dan tekanan dari negara lain untuk membuat, mempertahankan, atau memperkuat kebijakan pengelolaan laut secara berkelanjutan menjadi sangat penting,” kata Menteri Susi.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved