Management Strategy

Investor Migas Perlu Kebijakan yang Jelas

Investor Migas Perlu Kebijakan yang Jelas

Pesatnya pertumbuhan industri dan meningkatnya permintaan otomotif membuat kebutuhan minyak di Indonesia terus meningkat. Dari sisi cadangan minyak di Indonesia hingga 12 tahun ke depan diperkirakan tersisa 3,6 miliar barel. Hanya saja produksinya justru terus mengalami penurunan. Tahun ini, misalnya, pemerintah hanya menargetkan lifting minyak sekitar 840.000 barel/hari. Padahal produksi minyak nasional sebenarnya bisa ditingkatkan hingga 1 juta barel per hari (bph).

Migasfoto

Namun, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Indonesia harus mengimpor bensin premium sebanyak 18 juta kiloliter (KL)/tahun. Selain itu juga harus mengimpor solar sekitar 5 juta KL/tahun untuk mencukupi kebutuhan solar nasional. Mahalnya harga minyak seperti sekarang, berdampak terhadap impor minyak mentah dan BBM semakin terasa memberatkan. Apalagi dengan adanya berbagai masalah di hulu migas membuat produksi minyak sulit ditingkatkan dan akan semakin membebani keuangan negara.

Di tengah upaya mengenjot produksi minyak dan gas (migas), sejumlah masalah justru membebani sektor hulu migas, misalnya mulai dari ketidakpastian perpanjangan kontrak yang sudah habis masanya, hingga masalah hukum yang menimpa kontraktor. Contoh yang paling sederhana adalah tuduhan korupsi proyek bioremediasi yang melibatkan beberapa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Sejak awal, kasus ini sebenarnya sudah jelas tidak ada korupsi yang merugikan negara dalam proyek bioremediasi.

Menurut Edward Omar Syarief Hiareij, Guru Besar Hukum UGM, kasus bioremediasi CPI bukanlah kasus pidana. Alasannya, bioremedia merupakan bagian dari cost recovery yang menjadi bagian dari perjanjian bisnis antara CPI dengan pemerintah.

Dian Puji Simatupang, pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, menambahkan, bioremediasi aturannya berkaitan langsung dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) justru dinilai salah oleh penegak hukum. Padahal aturannya sendiri dibuat oleh KLH, tapi penegak hukum justru menyalahkan aturan itu. Ini namanya suatu keanehan. “Akibat penataan hukum yang memiliki aturan tidak terstruktur, maka sejumlah lembaga memiliki tafsir sendiri dalam menentukan sebuah regulasi,” kata Dian disela-sela Talkshow Kontroversi Bioremediasi (8/10) di Jakarta.

Akibat sering ganti kebijakan, tentunya akan berdampak terhadap iklim investasi dan tidak menutup kemungkinan investor asing akan hengkang dari Indonesia karena iklim investasinya tidak menarik.Maka tak heran bila sektor hulu migas dalam beberapa tahun terakhir seolah jalan di tempat, akibatnya, produksi migas pun sulit digenjot.

M. Udiharto, pakar Bioremediasi Lemigas menambahkan pelestarian lingkungan sudah tertuang dalam ketentuan hukum. Begitu pula kaitannya dengan industri hulu migas. Jika kegiatan itu berpotensi mencemari lingkungan, maka harus menjalankan pengembalian lingkungan pascaeksplorasi atau eksploitasi. “Karena itu bioremediasi merupakan suatu hal yang penting dijalankan,” katanya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved