Management Strategy zkumparan

Jatuh Bangun Dedi Priadi Membangun Bisnis Analisis Sidik Jari

Dedi Priadi saat ini bisa sedikit tersenyum. Bisnis yang ia geluti, Priadi Psychological Fingerpints (P2F) telah dipercaya oleh banyak perusahaan sebagai salah satu piranti assesment.

Banyak perusahaan besar, bahkan lembaga negara pernah menjajal tes potensi genetik berbasis analisis sidik jari besutan Priyadi. Deretan klien-klien P2F antara lain, Kementerian Kuangan, PLN, Kimia Farma, Sriboga Ratu Raya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pupuk Kaltim, Telkom, OCBC NISP dan sebagainya.

Namun dibalik pencapaiannya tersebut, lulusan dari ITB ini , bercerita, tidak jarang ia harus mengenyam pengalaman pahit. Banyak pihak yang meragukan bahkan sinis dengan metodologi yang ia kembangkan . “Saya sadar, memang tidak mudah untuk meyakinkan orang,” ujar dia.

Ia bercerita pernah ada seorang profesor bidang psikologi yang secara blak-blakan di harian cetak mempertanyakan validalitas piranti assesment miliknya.

Sang profesor mengatakan tes sidik jari tidak valid lantaran mengukur kepribadian manusia yang dinamis dengan alat yang statis. “Beliau meragukan hasil tes, dengan mengatakan bagaimana mungkin bisa mengukur kepribadian seseorang yang dinamis dengan tools sidik jari yang statis,” ungkapnya mengenang.

Namun alih-alih kebakaran jenggot, Dedi tetap tenang. Ia memaklumi mungkin memang banyak orang yang masih belum paham tentang tes sidik jari ini. Berbeda dengan anggapan umum yang mengatakan bahwa perilaku sesorang itu dinamis ibarat roda berputar, Dedi justru melihat sebaliknya. Bagi dia dinamika sebuah kepribadian tidak bisa dilihat seperti itu. “Saya percaya setiap orang punya self identity, atau jati diri lingkungan bisa saja memengaruhi, namun dalam hal ini tidak mengubah,” ujar dia memberi penjelasan.

Dalam satu kasus misalnya ia memberi contoh, lingkungan mencoba mempengaruhi seseorang, namun orang tersebut tidak merasa nyaman. Nah, yang biasanya terjadi, kata dia, orang tersebut akan cenderung menghindar atau kembali ke tempat ia merasa nyaman atau kondisi awal. “Setiap orang punya ambang batasnya masing-masing untuk merespon sebuah pengaruh, lingkungan bisa memengaruhi, tapi pada batas terntentu tidak merubah,” ujarnya.

Tes sidik jari Priadi Psychological Fingerprints, kata dia, merupakan produk riset multidisiplin untuk mengenali, menganalisis, dan memberikan panduan tentang kecenderungan potensi bawaan dan karakter lahir seseorang berdasarkan perpaduan pola sidik jarinya. Ia mengklaim telah penelitian dan riset yang panjang. Selama bertahun-tahun ia telah melakukan tes dengan berbagai algoritma dan menggunakan banyak data.

Ia pun bahkan rela terbang ke Amerika untuk mendalami ilmu psikologi, di Universitas Arizona, untuk lebih mendalami ilmu dari psikolog tersebut. “Saya s1 dan s2 di ITB. Nah ketika saya daftar ke UNPAD untuk ambil psikologi, saya ditolak, karena background saya tidak ada. Maka itu kemudian saya belajar di luar,” ungkap dia.

Adapun hal yang membuat ia sangat tertarik untuk mendalami mendalami psychological fingerprints ini berawal dari kegelisahan dirinya untuk mengetahui potensi anaknya yang bernama -Elhurr Zohaeri Nur Muthahhari. Metode observasi pemetaan potensi psikologis anak yang ada pada saat itu tidak terlalu meyakinkan dirinya untuk bisa melihat potensi alamiah psikologis Elhurr secara akurat dan komprehensif. “Karena lain observer, seringkali lain pula simpulan psikologisnya. Sebagai orangtua, saya butuh satu panduan yang lebih firm, lebih meyakinkan, sehingga bisa menjadi panduan saya dan istri saat melakukan pendampingan berkala kepada anak kami yang tengah tumbuh kembang,”bebernya.

Tanpa mendukung ataupun meragukan metode yang dikembangkan oleh Dedi, SWA mencoba mencuplikan bagaimana akhirnya ia memperoleh kepercayaan para klien. Cara terbaik untuk meyakinakan orang-orang yang meragukan metodenya, menurut dia, ialah dengan membiarkan mereka mencoba langsung alat assestment miliknya. “Kalau sudah coba biasanya akan bilang kok bisa bener ya?,” ujarnya bercerita.

Klien-klien yang saat ini pernah dilayani oleh Dedi kebanyakan menurut dia mengetahui P2F dari mulut ke mulut. Dedi tidak banyak melakukan aktivitas marketing yang berlebihan. “Saya memaknai usaha kami membuat Tes Sidik Jari ini sebagai perjuangan mencapai mimpi. Saat ide itu pertama kali tercetus, saya memulai riset dengan keraguan, dengan data dan basis teori yang sangat minim. Lambat laun, seiring waktu dan kedewasaan, kami menyikapi permasalahan dalam proses inovasi ini, kami bisa mencapai impian yang dicanangkan: menciptakan piranti asesmen psikologi untuk semua usia yang akurat, cepat, dan mendalam bahasan psikologisnya,”katanya.

Salah satu anggita American Psychological Association (APA) ini menceritakan pengalaman uniknya di bidang pekerjaannya. Suatu waktu ia bercerita diundang melakukan pemetaan dan training Inborn Character Management – training khusus terkait hasil analisis Tes Sidik Jari Priadi— kepada sekitar empat puluh orang di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Nah, setelah menjelaskan, seorang peserta training dengan nada gurau langsung bertanya, ”Pak, bisa ditunjukkan di antara seluruh peserta training ini yang paling emosional menurut hasil tes sidik jari?”

Semua orang tersenyum mendengar pertanyaan rekan mereka, tapi kemudian mereka terdiam penasaran setelah mendengarkan jawabannya. “Saudara A, kata saya. Mendengar jawaban saya, semua peserta training bergemuruh, menunjukkan rasa terkejut sekaligus tertawa lepas,” ujarnya.

Ternyata jawaban Dedi tepat, yang bersangkutan dipandang oleh mereka sebagai seorang yang emosional dan cenderung menyerang saat berargumentasi dalam keseharian bekerja di perusahaan tersebut. “Ini cara-cara yang biasa saya lakukan, saya langsung praktek saja. Tak jarang saya ambil sample, kemudian hasilnya saya buka. Mereka kan semua pasti tahu sifat temannya seperti apa, nanti tinggal dicocokan apakah akurat tidak,” jelasnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved