Management Strategy

Jurus AP I Genjot Pendapatan Non-Aeronautika

Jurus AP I Genjot Pendapatan Non-Aeronautika

Sebagai pengelola bandar udara, sumber pendapatan terbesar PT Angkasa Pura I memang masih berasal dari service charge passenger berupa landing dan take off pesawat (aeronautika). Namun ke depannya, pengelola 13 bandara ini tidak mau menggantungkan nasibnya pada pendapatan aero saja, tetapi juga menggenjot pendapatan non-aeronautika. Seperti apa?

Robert D. Waloni, Direktur Pemasaran dan Pengembangan Bisnis AP I (istimewa)

Robert D. Waloni, Direktur Pemasaran dan Pengembangan Bisnis AP I (istimewa)

Sebagai operator plat merah, AP I berkeinginan untuk memperbesar pemasukan dengan mengoptimalkan penerimaan dari bisnis non-aeronautika. Sumber pendapatan non-aeronautika didapat dari sewa ruang ritel di sejumlah bandara yang dikelola. Selama ini penerimaan dari non-aero, menurut Robert D. Waloni, Direktur Pemasaran dan Pengembangan Bisnis, AP I, masih terbilang kecil di mana kontribusinya tidak mencapai 40%.

Namun, sejak tahun 2011, perusahaan yang telah berganti logo ini kian gencar menggerakan penerimaan dari bisnis ini . “Dulu kami memang dapat uang, tapi hanya uang receh. Namun sekarang, uang itu berkembang makin besar,” ujar Robert mencontohkan.

Saat ini penerimaan AP I dari bisnis aero mencapai 57%, sisanya disumbangkan dari non-aero. Untuk meningkatkan komposisi non-aero, tandas Robert, pihaknya akan merancang sejumlah langkah strategis. Pertama, menambah kapasitas bandara berupa ruang ritel yang luas, nyaman dan strategis sehingga penumpang yang dari dan ke bandara akan berbelanja di bandara. Langkah ini sudah dijalankan di Bandara Ngurah Rai Bali dan Juanda, Surabaya.

Kedua, bekerja sama dengan operator duty free mancanegara sehingga pengelolaannya bisa berstandar internasional. Ketiga, menggandeng tenant besar dan lokal untuk meningkatkan jumlah transaksi pembelian barang di bandara. “Pengelola bandara yang sehat dan efisien itu justru lebih banyak disumbangkan dari bisnis non-aero ketimbang aero. Liat saja Changi dan Kuala Lumpur, ” Robert menambahkan.

Jurus mengoptimalkan penerimaan non-aero itu ternyata berbuah manis. Dalam kurun waktu 5 tahun (Q3 2009 vs 2014), penerimaan non-aero naik 6 kali lipat dari Rp 119 miliar menjadi Rp 690 miliar. Pendapatan non-aero Bandara Ngurah Rai Bali, naik 15 kali dari Rp 6 miliar menjadi Rp 92 miliar. Sedangkan, Bandara Juanda, Surabaya, naik 193 kali lipat dari Rp 32 juta menjadi Rp 6,2 miliar.

Ke depannya, perusahaan tidak hanya mengandalkan Bandara Ngurah Rai, Bali dan Juanda, Surabaya, tetapi juga bandara lain seperti Balikpapan, Makasar dan Ujung Pandang. Robert menargetkan komposisi penerimaaan akan berubah menjadi 60% dari non-aero dan sisanya disumbangkan dari bisnis aero. “Benchmark kami adalah Bandara Kuala Lumpur di mana mereka juga mengelola beberapa bandara dan rapor mereka sangat baik. Kami menargetkan bisa menjadi salah satu pengelola bandara terbaik di Asia, “harapnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved