Management

Jurus Dicky Sumarsono Orbitkan Jaringan Azana Hotels

Jurus Dicky Sumarsono Orbitkan Jaringan Azana Hotels

Di tengah dominasi operator hotel asing, Dicky Sumarsono mampu mengorbitkan jaringan operator hotel lokal yang mengelola lebih dari 50 hotel. Bagaimana strateginya?

Dicky Sumarsono, CEO dan pendiri Azana Hotels & Resorts (duduk ke-3 dari kiri), bersama dengan para general manager Azana Hotel & Resort.

Edwin Haryanto (43 tahun) cukup terkagum-kagum ketika mengunjungi Purbalingga, Jawa Tengah, awal April lalu. Ia kaget bahwa di kota bekas Karesidenan Banyumas itu sudah berdiri hotel bintang 4 yang cukup megah: Braling Grand Hotel By Azana, tepatnya di Jl. S. Parman.

Edwin cukup kaget karena hotel ini tak bisa dibilang kecil. Terdiri dari tujuh lantai, hotel bintang empat ini punya 140 kamar dan satu ballroom besar. Setelah ditelisik, rupanya kehadiran hotel ini tak lepas dari kolaborasi jaringan operator hotel Azana Hotels & Resorts dengan pengusaha setempat selaku pemilik properti, PT Sinergi Braling Propertindo.

Keberadaan Braling Grand Hotel By Azana di Purbalingga itu sejatinya hanya salah satu tonggak prestasi yang ditorehkan Azana yang dalam lima tahun terakhir memang tumbuh pesat. Diam-diam jaringan operator hotel lokal ini sudah mengelola 51 hotel, baik bintang empat, tiga, maupun dua.

“Nama jaringan hotel kami mungkin dikenal karena kebanyakan hotel kami di daerah walaupun kami juga mengelola beberapa hotel di Jabodetabek,” ungkap Dicky Sumarsono, CEO dan pendiri Azana Hotels & Resorts.

Selama ini kebanyakan hotel yang dikelola Azana memang di daerah, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebut contoh di sekitar Solo, Azana mengelola Facade Hotel (Tawangmangu, Karanganyar), Hotel Front One Cabin Slamet Riyadi (Solo), dan Grand Amira Hotel (Solo). Lalu, di Yogyakarta, portofolio kelolaannya antara lain The Cube Hotel, De Laxton Yogyakarta, Laxton Hotel Yogyakarta, dan Quin’s Colombo Hotel Yogyakarta.

Masih di Ja-Teng, juga ada Front One Hotel Purwodadi, Front one Inn Semarang, Azana Airport Hotel Semarang, serta Front One Inn Muntilan, Magelang. Adapun di Ja-Tim antara lain mengelola Viva Front One Hotel Kediri, Lotus Garden Hotel Kediri, Front One Hotel Pamekasan (Madura), Front One Inn Sidoarjo, dan Hersya Front One Inn Surabaya.

Azana bahkan juga mengelola sejumlah hotel di luar Jawa. Di Kota Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, Azana mengelola The Novena Hotel yang mengoperasikan 83 kamar. Masih ada Front One Hotel Jayapura (Papua), Megara Boutique Hotel Pekanbaru, dan Front One Inn Lahat, Sumatera Selatan. Memang luar biasa.

Kiprah bisnis Azana tidak bisa dilepaskan dari perjalanan kewirausahaan dan manajemen Dicky sebagai pendiri. Sebelum membangun usaha sendiri, ia berpengalaman panjang dalam pengelolaan bisnis hotel. Ia pernah bekerja sebagai Manajer F&B –lalu naik menjadi General Manager (GM)– Quality Hotel Solo, salah satu hotel terbesar di Solo, hotel bintang 4 dengan 139 kamar & grand ballroom terbesar di kota itu. Selepas dari Quality Hotel Solo, ia bergabung dengan The Sunan Hotel Solo sebagai GM, hingga kemudian menjadi Direktur.

Sebelum memulai usaha sendiri, tepatnya ketika masih bekerja sebagai GM hotel, Dicky merasa ruang lingkup pekerjaannya saat itu tidak memungkinkannya berkembang lebih luas lagi untuk menangkap peluang bisnis seputar resto dan perhotelan yang saat itu tumbuh pesat. Di satu sisi, ia merasa masih punya banyak ide yang bisa diwujjudkan. Di sisi lain, ia masih ingin mendapatkan banyak ilmu, melakukan inovasi, dan menimba pengalaman yang lebih luas.

Karena ingin punya usaha sendiri, Dicky sempat mengikuti seminar entrepreneurship beberapa kali. Hingga akhirnya, ia berani mendirikan Choice Plus Indonesia (CPI) pada 2004.

Ya, cikal-bakal Azana adalah CPI yang dirintis Dicky bersama istrinya, Anita Sari, tahun 2004. CPI adalah usaha konsultan restoran kecil-kecilan yang dimulai dengan hanya satu admin. Sejak awal, Anita membantu di bagian pengelolaan keuangan. Namun, istrinya ini tidak bisa membantu secara penuh sebab juga bekerja sebagai Notaris PPAT di Solo. “Proyek pertama yang kami kerjakan ialah membuat kafe kecil di Solo dengan kapasitas 10 tempat duduk,” Dicky mengenang.

Walaupun skalanya kecil, proyek itu penting bagi perkembangan CPI. Karena dengan portofolio dan pengalaman itu, CPI bisa mendapatkan proyek-proyek konsultan manajemen resto & kafe lainnya. Pada gilirannya, CPI kemudian mendapat proyek konsultan resto sekitar Solo, Madiun, Semarang, Yogya, dan Salatiga.

Proyek tersebut antara lain proyek Intro Lounge di Solo Grand Mall, Goela Klapa Restaurant, Omah Sinten Restaurant (Solo), The Bizztro Coffee (Salatiga, Semarang, Yogya, dan Solo). Serta I Club dan Ayam Kemangi Resto (Madiun). “Karena belum terlalu serius di bidang tersebut, fee yang kami dapatkan saat itu masih sangat kecil. Pokoknya, yang penting ada kegiatan dan pengalaman,” ungkap Dicky.

Dalam perkembangannya, CPI semakin berkibar dan dipercaya para investor dan pengusaha resto –lebih dari 30 resto, kafe, bakery shop, executive club, dan lounge di Indonesia. Salah satu yang monumental, CPI pernah dipercaya menjadi konsultan ChilliPari Catering milik Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Joko Widodo. CPI dua kali dikontrak ChilliPari dan berakhir setelah Jokowi mulai menjadi Presiden RI. “Kami sangat senang bisa bekerjasama dengan Gibran selama beberapa tahun,” ungkap Dicky yang lulusan American Hotel & Lodging Educational Institute dan Institut Pariwisata Trisakti ini.

Font One Hotel Airport, salah satu hotel yang dikelola oleh Azana Hotelk & Resort

Nah, berangkat dari semua pengalaman tersebut dan latar belakangnya sebagai hotelier senior, Dicky lalu terpikir mendiversifikasi usaha dengan masuk sebagai konsultan hotel management. Selain faktor usaha konsultan resto yang makin sulit, ia juga mengamati saat itu terjadi perubahan lanskap bisnis perhotelan di Indonesia.

Waktu itu, pertumbuhan bisnis hotel luar biasa, muncul dua hotel baru di Indonesia per hari. Maka, tahun 2008 Dicky melakukan transformasi bisnis konsultan F&B menjadi manajemen hotel, dengan tetap menggunakan merek yang sama, CPI.

Sebagai konsultan manajemen hotel, jasanya mulai dari membantu set-up hotel hingga hotel beroperasi dan berjalan dengan baik. Jadi, termasuk melakukan bantuan teknis; membuatkan feasibility study, SOP hotel, pola kerja, dan konsep hotel; membuat collateral standard, bujet & rencana target operasional hotel, manning guide karyawan, struktur penggajian, dan struktur organisasi; hingga melakukan rekrutmen, seleksi, dan pelatihan semua karyawan.

Biasanya, kontrak kerjasama sebagai konsultan hotel (waktu itu belum sampai menjadi operator hotel) hanya 18-24 bulan, dari mulai dibangun hingga beroperasi. Ini jelas berbeda dengan kontrak sebagai operator hotel yang biasanya 5-15 tahun.

Bisnis sebagai konsultan hukum ini berjalan baik. Namun setelah dua tahun berjalan, para klien meminta CPI untuk sekaligus menjadi operator hotel. Klien memintanya menjadi hotel operator yang durasi kontraknya sampai tujuh tahun sehingga bisa lebih total dalam mendampingi pemilik/investor hotel.

“Mereka ingin didampingi hingga hotel bisa berjalan dengan baik dan berhasil menciptakan profit berkelanjutan. Inilah kenapa kemudian kami bertransformasi menjadi operator hotel hingga sekarang,” kata Dicky yang juga Executive Chairman Victoria Hotel School ini.

Ia teringat beberapa klien hotel yang pertama bermitra dengan CPI, antara lain Grand Saraswati Hotel Semarang dan Royal Phoenix Hotel Semarang. Keduanya merupakan hotel kecil sekelas bintang satu yang masing-masing hanya memiliki 45 kamar. Lalu, tahun 2009 berhasil mendapatkan pengelolaan hotel yang lebih besar, yaitu Splash Hotel Bengkulu by Choice dan The Oxalis Hotel Magelang by Choice.

“Kemudian, baru tahun 2010 pertama kali menggunakan merek sendiri dengan kontrak hotel management selama lima tahun di Kota Pamekasan, Madura, dengan merek Front One Hotel. Hotel ini hasilnya luar biasa hingga saat ini,” ungkap Dicky.

Semua hotel di atas adalah hotel milik pribadi (perorangan), bukan milik pengembang/perusahaan kontraktor besar. Biasanya, pengerjaan proyek hotel dilakukan oleh kontraktor lokal setempat yang sudah disiapkan pemilik hotel.

Bisnis operator hotel ini berkembang baik sehingga tahun 2014 CPI bertransformasi menjadi Azana Hotels and Resorts Management. Dicky pun kemudian fokus dan serius mengelola Azana, sebagai CEO, dan mengundurkan diri dari pekerjaan lamanya sebagai direktur sebuah hotel di Solo.

Dari tahun ke tahun portofolio kelolaan Azana terus tumbuh. Di tahun 2012 baru mengelola sembilan hotel, sedangkan saat ini sudah 51 hotel. Indikator pertumbuhan lainnya tampak dari revenue dan profit hotel yang terus meningkat, juga jumlah member di aplikasi booking engine Azanahotel.id dan jumlah pengunduh Google Playstore. Data tiga bulan terakhir menunjukkan bahwa booking engine Azana ada sekitar 5.000 unique visitor, kurang-lebih 40% dari visitor tersebut menjadi member setia Azana.

Dicky menjelaskan, Azana memiliki positioning sebagai operator yang trendi, muda, dan dinamis. Target konsumennya: mereka yang muda, trendi, dinamis, dan updated dengan teknologi. Azana menyasar hotel-hotel kelas bintang 2 dan 3 di kota-kota kabupaten yang market size-nya sangat besar dan belum tergarap.

“Kami fokus mengembangkan budget hotel bernuansa ceria di kota kedua dan ketiga, yaitu kota-kota kabupaten yang belum banyak hotel atau malah yang belum ada hotel yang dikelola profesional,” Dicky menjelaskan strateginya. Jadi, pihaknya menjalankan flanking strategy, menggarap pasar dari pinggir, di kota kedua, bahkan kota ketiga.

Dalam hubungannya dengan pemilik hotel, pihaknya mengembangkan pola kerjasama bisnis yang fair dan jujur dengan mengedepankan kepuasan dan kenyamanan pemilik hotel. “Pelayanan, pola kerjasama, serta management fee kami buat supaya adil, hangat, santai dan berkelanjutan,” kata Dicky. Selama ini hotel yang dikelola Azana ada yang benar-benar baru dibangun, tetapi ada pula hotel lama yang kemudian pemiliknya meminta Azana untuk mengelolanya (takeover pengelolaan).

Untuk hotel baru, biasanya tim Azana mengawal sejak dimulai, dari pengurusan perizinan, perencanaan, konsep hotel, pembangunan, hingga pre-opening dan pengelolaan hotel selama enam tahun. Sementara untuk takeover management, biasanya Azana akan melakukan rebranding, fit & proper test karyawan, dan re-setup manajemen, pemasaran, dan akunting.

Pihaknya harus memastikan adanya kesamaan terhadap SOP, job description, pola kerja, dan working cycle sesuai dengan standar Azana. “Kedua pola ini kami tempuh karena sebagian besar investor belum paham mengenai standardisasi bangunan dan operasional hotel, termasuk arah investasi dan konsep hotel,” Dicky menerangkan.

Menurutnya, ada nilai plus bagi investor yang bekerjasama dengan Azana sejak awal perencanaan, yaitu unit hotel akan dibangun dengan standar perhotelan yang baik. Mulai dari tata letak, zoning ruangan, arus lalu lintas operasional, disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Dengan demikian, lebih tepat dalam hal konsep, nilai investasi, bank loan, dan pola operasional sehingga payback period-nya pun lebih cepat. Biasanya dalam pengelolaan hotel baru, Azana akan membantu dari awal perencanaan gambar desain, pembangunan hotel, sampai hotel dibuka dan beroperasi dengan baik.

Untuk hotel lama yang takeover pengelolaan, biasanya Azana akan menawarkan dua opsi. Opsi pertama, hotel tersebut di-rebranding atau di-repositioning dengan brand Azana, yaitu Front One One Cabin, Front One Budget, Front One Boutique, Front One Resort, Front One Hotel, Azana Style, atau The Azana Hotel sesuai dengan kondisi dan fasilitas di hotel tersebut.

Opsi kedua, menggunakan brand Votel Hotel yang digabung dengan nama lama hotel itu. Contoh, Votel Charis Hotel Tuban. Dengan memakai brand Votel, hotel hanya perlu renovasi minor. Perubahan yang dilakukan hanya seputar collateral standard, branding, dan manning guide karyawan

Terkait biaya investasi hotel, menurut Dicky, untuk investasi hotel bintang dua, biayanya Rp 250 juta-285 juta per kamar, sudah termasuk biaya fondasi, biaya pekerjaan sipil, MEP, arsitektur, dan interior. Namun, besaran investasi tersebut belum termasuk pengadaan tanah, perizinan, tambah daya listrik, operator, perlengkapan/peralatan hotel, dan pajak-pajak.

Investasi hotel bintang tiga sebesar Rp 360 juta-420 juta per kamar, sudah termasuk biaya fondasi, pekerjaan sipil, MEP, arsitektur, dan interior. Adapun investasi hotel bintang empat, Rp 550 juta-700 juta per kamar.

Jadi, misalnya ada investor yang ingin membangun hotel bintang tiga dengan 60 kamar, all in biayanya sekitar Rp 23 miliar, plus perizinan, tambah daya listrik, operator perlengkapan/peralatan hotel, dan pajak-pajak Rp 2,5 miliar. Sehingga, total investasi hotel bintang tiga tersebut Rp 25,5 miliar –di luar biaya pembelian tanah.

Sejauh ini, masih ada beberapa pemilik properti yang menggunakan uang pribadi hingga 100% dalam membangun hotel. Namun, Dicky menyarankan agar pemilik properti menggunakan kredit dari bank sebesar 50-60% dari total investasi. “Hal ini penting agar ada tanggung jawab dari manajemen uuntuk mengangsur bunga dan pokok utang setiap bulannya dan tentu penting untuk perhitungan pajak,” ia menjelaskan.

Azana, menurut Dicky, merupakan satu-satunya operator yang menerapkan free management fee apabila tingkat hunian kamar di bawah 50%. Jikaokupansi 50-59%, management fee 3% dari nett revenue, plus incentive fee 3% dari gross operating profit (GOP). Jika okupansi 50-100%, management fee-nya 4% dari nett revenue, plus incentive fee 3% dari GOP.

Selama ini, total kontrak manajemen yang diterapkan Azana tidak lebih dari tujuh tahun. Salah satu keunggulannya, memberikan fleksibilitas dalam hal pembayaran technical assistance fee dan joining fee oleh pemilik properti. Di Azana, biaya itu bisa dibayar berkala sebanyak 5-7 kali pembayaran dalam waktu maksimal delapan bulan. Tidak harus dibayar kontan semua sekali di depan.

Untuk melayani kliennya, Azana memberikan jaminan menciptakan business excellence dan operational excellence sesuai dengan KPI-nya (selama konsep, lokasi, dan investasinya tepat). Pihaknya juga melakukan kunjungan ke setiap hotel minimal 12 kali dalam setahun serta memberikan support backlink digital untuk meningkatkan traffic, brand awareness, dan valuasi hotel.

Lebih dari itu, Azana juga memiliki ekosistem lembaga pendidikan perhotelan bernama Victoria Hotel School –program enam bulan, D-1 dan D-3– yang telah berusia sembilan tahun dan telah meluluskan lebih dari 2.000 mahasiswa untuk menjamin suplai tenaga kerja ke setiap hotel Azana secara berkelanjutan.

Terkait digitalisasi, Azana pun telah memiliki platform e-commerce dan online booking engine dengan jaminan keamanan (SSL) yang diterbitkan oleh lembaga verifikasi yang tersertifikasi. Booking engine pembayaran kamar dapat dilakukan dengan kartu kredit, GoPay, dan melalui Alfamart.

Di luar itu, Azana juga membantu promosi hotel yang dikelola dengan rutin menganggarkan belanja iklan; di media konvensional, seperti koran dan majalah, serta di media online. Azana pun memiliki free magazine, yaitu Azana Traveller, yang didistribusikan ke 28 kota di Indonesia dengan jumlah cetakan 5.000 eksemplar setiap tiga bulan untuk mendukung penetrasi produk dan branding setiaphotel secara offline.

Di sisi lain, Dicky pun terus mengembangkan internalnya dengan melakukan serangkaian audit dan refreshment training ke setiap unit. “Kami selalu meng-update skill dan wawasan setiap unit agar bisa terus menyesuaikan diri dengan kondisi terkini,” katanya. Azana mewajibkan seluruh GM dan tim penjualan-pemasaran dari 51 hotel untuk membuat program leisure experience, dengan selalu membuat senang dan menciptakan wow experience yang otentik untuk semua pelanggansehingga bisa menjadi viral dari satu konsumen ke konsumen yang lain.

Azana rutin melakukan people development dengan menyelenggarakan event GM & Sales Marketing Meeting setiap tiga bulan sekali. GM dan staf pemasaran seluruh unit hotel Azana dikumpulkan untuk diberi arahan dan update perkembangan bisnis hotel. “Kami mengundang pakar-pakar sebagai pembicara, kemudian pembagian award kepada hotel dan GM yang memenangi beberapa kriteria, hingga kegiatan refreshment seperti outbond untuk menjaga kekompakan dan kepercayaan seluruh tim,” Dicky memaparkan. Beragam pelatihan juga diberikan ke karyawan, juga reward berupa bonus bulanan sesuai dengan pencapaian revenue.

Dicky merasa bersyukur, sebelum ada pandemi Covid-19, kinerja Azana tumbuh luar biasa: growth revenue per tahun selalu di kisaran 35-50%. Saat ini Azana memiliki total karyawan permanen dan kontrak sejumlah 1.000 orang, 460.545 tamu per tahun, dan 51 hotel di bawah merek Front One Cabin, Front One Budget, Front One Boutique, Front One Hotel, Front One Resort, Azana Styles, The Azana Hotel, dan beberapa white label brand yang menggunakan merek milik property owner dengan tambahan “managed by Azana”. Dicky mengakui wabahCovid-19 berdampak besar terhadapindustri hotel. Namun, ia yakin bahwa itu temporer, dan puhaknya sudah menyiapkan strategi normalisasi pascawabah Covid-19.

Dari semua unit hotel Azana yang dikelola, masing-masing punya kelebihan. Front One Resort Magelang yang berkonsep city resort hotel, misalnya, termasuk yang kinerjanya sangat bagus. Hotel di tengah Kota Magelang dengan lahan seluas 2 hektar itu memiliki 89 kamar dengan fasilitas olahraga yang lengkap, mulai dari kolam renang semiolimpiade, lapangan basket, lapangan tenis, futsal, hingga fasilitas outbound, grand ballroom, dan resto. Front One Resort Magelang berhasil membukukan year-to-date occupancy 80% dengan GOP 45%.

Ada pula hotel baru berskala besar, seperti Braling Grand Hotel by Azana di Purbalingga, yang sudah disebutkan di atas. Lalu, Azana juga punya sejumlah hotel yang manajemen dan pola operasionalnya paling simpel: cabin hotel. Konsep ini payback period-nya lebih cepat, karena bisa dimulai dari ruko, kantor, atau kos-kosan yang direnovasi menjadi cabin hotel. Namanya, Front One Cabin (FOC).

Dalam waktu kurang dari dua tahun, jumlah FOC di Indonesia sudah ada 10 hotel, yaitu di Yogya, Bengkulu, Bekasi, Lampung, Jakarta, dan Solo. Dan, saat ini juga sedang dibangun di Boyolali, Blitar, Tulungagung, Sidoarjo, dan Jakarta. Profit kotor yang bisa didapat dari operasional cabin hotel rata-rata 55-58% tiap bulan. Ini yang menjadi daya tarik bagi calon pemilik properti, apalagi nilai investasinya hanya Rp 175 juta per kamar jika dibangun dari tanah kosong, atau Rp 125 juta per kamar jika dibangun dari bekas ruko. Semuanya sudah all in, termasuk MEP, arsitektur, interior, dan perlengkapan hotel.

Terkait sukses bisnisnya, menurut Dicky, yang terpenting dalam pola kerjasama di bisnis ini adalahharus jujur dan fair, tidak boleh ada yang mau menang sendiri. “Harus bisa benar-benar memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh property owner dalam jangka waktu yang panjang karena durasi kontrak bisa 7-15 tahun. Harus sama-sama nyaman, susah-senang ditanggung bersama,” ungkapnya.

Karena itu, keterbukaan sangat penting. Hal itu harus dimulai dari awal ketika melakukan riset untuk membangun hotel. “Kita harus sampaikan apa adanya hasil riset ke property owner, termasuk konsep hotel seperti apa, kelas bintang berapa, jumlah kamar, dll., agar ketika hotel beroperasi, tidak sulit mengoptimalkan okupansi. Tidak memaksakan untuk membangun hotel dengan jumlah kamar yang lebih dari hasil riset,” kata Dicky seraya menambahkan, pihaknya menargetkan sudah mengelola 120 hotel pada tahun 2023.

Meski sejauh ini tampak mulus, bukan berarti Dicky dkk. tanpa jatuh-bangun. Ia teringat betapa sulitnya di awal-awal untuk meyakinkan pemilik hotel agar memercayakan manajemen hotelnya pada Azana. Pihaknya beberapa kali ditolak karena pemilik properti lebih memilih operator asing walaupun pihaknya sudah menunjukkan berbagai fakta prestasi dan pengalamannya. Walaupun timnya telah mengerahkan semua sumber daya, calon klien masih belum percaya sehingga tidak deal. Namun, Dicky dan timnya berpikir positif sehingga kemudian menambah investasi dengan meng-hire konsultan dan ahli untuk memperkuat tim.

Selain itu, pihaknya juga terus mendengarkan masukan dari luar, seperti dari tamu secara langsung atau review yang disampaikan melalui media online. “Keberadaan TripAdvisor, OTA Guest Review, dan Google Review menjadi salah satu tolok ukur kami mengevaluasi standar tiap unit. Bahkan, kami menjadikan hal ini masuk ke dalam salah satu KPI para GM dan HM,” kata Dicky.

Pihaknya terus memantau bagaimana para leader menangani review dan reputasi unit mereka di dunia digital. Penilaian customer terhadap hotel di dunia digital menjadi parameter yang dijadikan acuan terhadap pelayanan tiap hotel.

Achmad Setyo Hadi, pakar manajemen dari Prasetiya Mulya, melihat kemunculan operator hotel lokal sebagai hal yang sangat positif, mengingat industri pariwisata menjadi salah satu unggulan pemerintah untuk menangguk devisa. Industri pariwisata merupakan ekosistem yang memiliki berbagai unsur, antara lain perhotelan, transportasi, dan objek wisata. “Keberhasilan hotel tentu sangat bergantung pada dinamika unsur yang lain. Pengelolaan industri pariwisata yang terokestrasi dengan baik, termasuk dengan dinas daerah, akan menjanjikan hasil yang optimal,” kata Setyo Hadi.

Peluang bagi Azana masih terbuka karena masih akan terjadi pertumbuhan, terutama dipicu oleh seberapa atraktif potensi objek wisata (alam, budaya, spiritual, konferensi, dll.) serta kemudahan akses (transportasi). Azana perlu dukungan unsur lain dalam ekosistem pariwisata, mengingat perhotelan merupakan industri yang juga memiliki persaingan. Dalam hal ini, political will pemerintah daerah untuk mengelola potensi wisata menjadi sangat esensial.

Setyo Hadi melihat hotel Azana memiliki peluang untuk berkembang di berbagai daerah. Tantangannya, bagaimana memenuhi SDM secara lokal.

“Perlu disadari bahwa kualitas SDM belum merata, sedangkan untuk merelokasi dari daerah lain akan memakan biaya besar. Hal yang perlu dilakukan adalah menjalin koordinasi dengan dinas daerah dan SMK sebagai saluran untuk koordinasi dan mendapatkan pasokan SDM yang berkualitas,” katanya. Tentu saja, menjadi hal positif bila Azana punya sekolah tersendiri yang mampu memasok kebutuhan SDM di grupnya yang tumbuh pesat. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved