Management Entrepreneur Trends zkumparan

Kiat Sukses Pendiri Sour Sally, Donny Pramono Hadapi Krisis

Sharing session Sour Sally hadapi new normal bersama Donny Pramono, CEO Sour Sally Group (bawah). (foto: Jeihan Kahfi/SWA)

Memiliki pengalaman selama 12 tahun di industri food & beverages, menjadi hal yang paling berharga bagi Donny Pramono, Pendiri dan CEO Sour Sally Group, khususnya di masa krisis pandemi Covid-19 saat ini. Baginya, dari setiap krisis pasti akan ada pembelajaran dan peluang baru yang bisa diperoleh.

Donny mengaku bahwa selama menjalani bisnis di sektor ini, ia telah mengalami dua kali masa krisis. Pertama adalah tahun 2011-2012 ketika tren frozen yogurt dari produk Sour Sally mulai menurun yang berimbas pada penurunan sales. Dan kedua saat krisis yang dihadapi saat ini akibat mewabahnya Covid-19 secara global.

“Pada krisis pertama yang lebih bersifat internal, produk Sour Sally mengalami penurunan tren dan penjualan. Bahkan di masa itu kami sempat berutang kepada bank hingga Rp7 miliar. Namun akhirnya bisa bangkit kembali tahun 2014 dengan berbagai produk dan desain baru. Di tengah masa sulit itulah, saya mendapatkan pelajaran yang paling berharga. Jika saya tidak mengalami krisis itu mungkin Sour Sally Group tidak akan berdiri seperti sekarang,” kata Donny dalam sharing session yang diselenggarakan oleh Accelerice Indonesia via Instagram, (3/6/2020).

Pelajaran termahal yang diperoleh dari krisis tersebut adalah Donny kemudian menyadari pemahaman industri F&B secara menyeluruh. Menurutnya, industri F&B terdiri dari tiga fase, yaitu fase pertama adalah tren dan hype; kedua adalah fase kebiasaan/habit atau lifestyle; ketiga adalah fase culture atau budaya. “Setiap brand yang ingin sukses harus bisa melalui fase tren yang terkadang sedang viral. Tetapi tren tidak akan bertahan lama sehingga produk harus bisa berevolusi ke fase kedua: habit & lifestyle. Fase kultur adalah yang paling kuat, contohnya di Indonesia adalah nasi goreng, martabak, dan bakso,” jelasnya.

Di dalam krisis saat ini, lanjutnya, membutuhkan sebuah pendekatan baru dalam berbisnis atau business model yang berbeda. Orang yang bisa melihat dan memprediksi ke mana arahnya dialah yang akan meraup kesuksesan. Nah, di tengah penerapan lockdown yang bertujuan untuk mencegah penyebaran virus, dampak yang dirasakan adalah konsumen akan semakin terbiasa berbelanja secara online. Maka di situlah peluang yang harus diambil.

Donny telah menyiapkan strategi yang siap dieksekusi dalam jangka waktu satu minggu ke depan untuk keempat brand Sour Sally Group – Sour Sally, Gulu Gulu Cheese Tea, Fi:ka, dan Wowteg. Nantinya, Donny akan meluncurkan sistem kemitraan online bersifat revenue sharing, di mana masyarakat bisa menjadi frenchisee tanpa perlu menyewa toko atau buka outlet, tetapi hanya dengan memanfaatkan jaringan internet. “Tujuan kami adalah untuk membuka kesempatan bagi masyarakat dalam menambah channel pendapatan baru di tengah pasar yang sedang sulit, sekaligus membantu meningkatkan penjualan kami,” ujar Donny yang memiliki passion kuat di bidang branding, retail dan consumer.

Untuk diketahui, Sour Sally sebagai bisnis pertama Donny yang telah memiliki eksistensi selama 12 tahun kini memiliki sekitar 66 outlet. Kemudian Gulu Gulu Cheese Tea, brand kedua dari Sour Sally Group, kini telah memiliki 138 outlet dengan jumlah penjualan bisa mencapai 4,5 juta cup per tahun. Ketiga, Fi:ka adalah coffee shop yang sudah eksis satu tahun belakangan memiliki sekitar 40 outlet. Dan berikutnya adalah brand masakan rumahan khas Indonesia, Wowteg, yang baru diluncurkan sebelum pandemi dengan tujuh “cloud store” dan 70 lisensi waralaba yang akan dibuka usai pandemi berakhir.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved