Management

Kiprah ANJ di Biogas

Kiprah ANJ di Biogas

Perusahaan perkebunan, terutama kelapa sawit, harus memutar otak untuk memperoleh energi listrik yang ramah lingkungan. Keberhasilan ini akan menjadi nilai tambah perusahaan di mata publik. Dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ) sudah berhasil menggunakan energi terbarukan dengan memanfaatkan cangkang dan serat kelapa sawit yang diolah dalam boiler untuk menggerakkan turbin. Sehingga, menghasilkan energi listrik.

Listrik tersebut digunakan untuk kebutuhan listrik pabrik, kantor dan perumahan karyawan. Perseroan juga mengembangkan listrik biomassa, yaitu biogas, sejak 2008 di Perkebunan Pulau Belitung dengan bendera PT Austindo Aufwind New Energy (AANE).

“Sekarang, seluruh saham dipegang oleh ANJ karena partner Jermannya mengundurkan diri. Mereka tidak meneruskan pengembangan teknologinya di Asia. Tetapi, sudah terjadi transfer of knowledge,” Imam Wahyudi, Head of Business Development, East & Renewable Energy ANJ.

Mereka mendirikan perusahaan tersebut dengan menggandeng investor dari Jerman, yakni Aufwind Schmack Asia Holding GmbH, pada 2008. Mereka mendapatkan izin usaha pembangkit listrik independen (IPP) dan memulai kegiatan operasinya pada 31 Desember 2013.

Perseroan meneken Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement-PPA) selama 15 tahun dengan PLN. Saat awal pendiriannya, kapasitas power pembangkit tersebut sebesar 1,2 MW dengan nilai investasi saat itu US$ 3,5 juta.

Lalu, ditingkatkan menjadi 1,8 MW pada 2015 dengan total investasi menjadi US$ 4,4 juta. Dari limbah yang ada, dari pabrik kelapa sawit ukuran produksi 60 ton per jam atau 60 PPH bisa menghasilkan kapasitas power 1,8-2 MW.

“Dengan satuan sambungan listrik per rumah 900 VA dengan produksi listrik IPP yang dibangun ANJ sebesar 1,8 MW itu bisa terdistribusi sekitar 2000-2500 rumah. Konstruksi IPP ini sekitar 12-15 bulan,” katanya.

Menurut Imam, perseroan sedang menegosiasi penyesuaian tarif karena sejak 2012 ada beberapa peraturan menteri yang dikeluarkan. Seperti pada 2016, berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 21/2016 sebesar US$ 13,56 sen per KWH atau harganya hampir dua kali lipat dari sebelumnya.

Pada 2017, lanjut dia, kebijakan pemerintah lebih fokus bahwa tarif renewable energi tidak melebihi biaya pokok regional setempat. Makanya, Permen ESDM No. 21 itu tidak bisa diimplementasikan. Meskipun permen baru dengan tarif baru belum dijalankan PLN, pihaknya tetap menjalankan sesuai dengan PPA selama 15 tahun.

“Jika bisa terjadi perubahan tarif, IPP yang kami dirikan bukan hanya sebagai sustainabilities business yang kami jalankan, tetapi juga mampu dijalankan sebagai bisnis meski bukan profit-minded, tetapi lebih sebagai bisnis yang bisa sustain dalam jangka panjang,” katanya. (Reportase: Herning Banirestu)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved