Management Editor's Choice Strategy

Kota Surabaya: Jumlah Penduduk Bertambah, Sampah yang Masuk TPA Malah Berkurang

Kota Surabaya: Jumlah Penduduk Bertambah, Sampah yang Masuk TPA Malah Berkurang

Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, menuturkan kebijakan pengeloaan lingkungan di Kota Buaya itu kepada Sigit A. Nugroho dari SWA Online. Berikut penuturannya: Penduduk Surabaya sekitar 3 juta dengan luas wilayah 330 km pesegi. Saya berupaya menjadikan Kota Surabaya sebagai eco-city. Untuk mewujudkan itu paling penting adalah mengajak warga Surabaya untuk mengerti dan mencintai lingkungan. Karena kalau hanya dari pemerintah saja, tidak akan bertahan lama. Saya ini kebetulan cinta lingkungan. Kalau tidak melibatkan masyarakat, begitu saya turun ya selesailah program tentang lingkungan tersebut.

Dulu pernah ada walikota Surabaya yang peduli terhadap kesehatan karena beliau seorang dokter. Tapi karena pendekatannya berupa pendekatan kedinasan, akhirnya ketika beliau selesai ya programnya ikut selesai.

Nah, sekarang yang saya lakukan adalah bagaimana warga Surabaya mencintai lingkungan. Caranya dengan mengajari warga agar peduli lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Untuk tahap awal, pokoknya yang penting bersih dulu. Warga mau peduli lingkungan. Lalu mereka menata kampung. Kalau level-nya sudah tinggi ada kampung yang sudah mengelola air limbah sendiri, punya bank sampah. Bahkan tidak itu saja, mereka akhinya bisa menjual tanaman, bibit buah-buahan, kompos, dan sebagainya. Air limbah rumah tangga tersebut mereka olah supaya bisa digunakan lagi. Misalnya untuk menyiram tanaman, mencuci motor, bahkan digunakan untuk hydrant kebakaran. Akhinya mereka bisa menghemat pengeluaran antara 15-20%.

Pengelolaan air limbah ini juga kami buat di Puskesmas-Puskesmas, rumah-rumah susun, sentra pedagang kaki lima, di taman-taman supaya bisa digunakan kembali.

Tri Rismaharini1

Kami memiliki 180 bank sampah, nasabahnya lebih dari 10 ribu. Hingga tahun 2011, sudah ada 158 kelurahan yang sudah mereduksi sampahnya. Total, rata-rata reduksi sampah rumah tangga lebih dari 150 ton/hari. Pengolahan sampah berbasis masyarakat ini menghasilkan UKM recycling business di Surabaya. Untuk kompos dari sampah organik berhasil melahirkan Rumah Kompos. Rata-rata produksinya lebih dari 3 meter kubik/hari. Bila dirata-rata, omset dari seluruh bank sampah itu antara Rp 250 ribu hingga Rp 67 juta per bulan. Semua dinikmati masyarakat pengelolanya.

Dengan masyarakat mengelola sampah sendiri, terjadi penurunan signifikan pada pengiriman sampah ke TPA. Bahkan jumlah penduduk berbanding terbalik dengan jumlah sampah. Penduduk semakin meningkat, tapi pengiriman sampah ke TPA justru turun drastis.

Tahun 2005 jumlah penduduk 2.740.490 jiwa; realisasi sampah ke TPA 1.819 m3. Jumlah itu terus menurun hingga 2011. Rinciannya, berturut-turut: 2006 (2.784.196 jiwa : 1.641 m3), 2007 (2.829.552 jiwa : 1.480 m3), 2008 (2.903.382 jiwa : 1.259 m3), 2009 (2.938.382 jiwa : 1.229 m3). Tren turunnya realisasi sampah ke TPA berlanjut di tahun 2010 (2.929.528 jiwa : 1.242 m3) dan 2011 (3.024.321 jiwa : 1.150 m3).

Selain itu, Surabaya juga membuat rumah-rumah kompos. Hasilnya untuk memupuk tanaman di kampung-kampung maupun digunakan petani di Kota Surabaya sebagai pertanian organik. Juga ada rumah kompos yang bisa menjadi pembangkit listrik. Nantinya akan dibuatkan sentra rumah kompos yang lebih besar. Hasilnya digunakan untuk memupuk taman-taman di seluruh Surabaya.Kebutuhannya jelas sangat besar, karena saat ini ruang terbuka hijau Surabaya mencapai 20,34%.

TRirisma (tegak)

Surabaya terus memperluas RTH dengan membuat taman. Taman kota dilengkapi dengan Wi-Fi dan juga perpustakaan. Taman-taman tersebut juga memiliki tema. Seperti Taman Lansia, Taman Persahabatan, Taman Ekspresi, Taman Skate & BMX. Ada juga taman untuk olahraga yang di dalamnya ada fasilitas climbing, fitness. Dan, semuanya gratis. Bahkan Pemkot membuat taman di sepanjang aliran sungai yang membelah Kota Surabaya.

Kami juga membuat jalur hijau untuk menambah areal RTH. Seperti jalur hijau di Jln. Yos Sudarso, Jln. Soekarno-Hatta, Jln. Raya Darmo, Jln. DR Soetomo, Jln. Margomulyo, dan lainnya. Malah ada jalan yang mediannya ditamani pohon Tabebuya Putih. Jadi kalau bulan Oktober, seperti jalanan bersalju karena bunga putihnya rontok.

Kami membuat hutan kota karena Surabaya tidak punya hutan asli, kecuali hutan mangrove. Sudah ada delapan hutan yang berhasil dibuat. Seperti di Kebun Bibit Wonorejo, Balasklumprik, Pakal, Bundaran Mayjen Sungkono, Prapen Tenggilis dan lainnya. Pohon di hutan-hutan kota didapat dari warga Surabaya sendiri. Kami juga setiap tahun membuat lapangan sebanyak 4 – 6 lapangan.

Bekas areal tempat pembuangan sampah Keputih bakal disulap menjadi taman bunga. Luasnya 60 hektare. Dibangun secara bertahap. Nantinya semua bunga yang ada di Indonesia akan ada di taman tersebut.

Kami juga lakukan urban farming untuk membantu perekonomian warga Surabaya. Seperti kampung budidaya padi dan lombok di Kelurahan Bangkingan dan Kelurahan Made. Setiap hari cabenya dikirim ke Tangerang dan Palembang 40 ton. Bahkan, beras dari Kampung Bangkingan bisa tiga kali panen dalam setahun. Semuanya organik.

Untuk penanganan sampah terpadu, Pemkot Surabaya membangun TPS (tempat pembuangan sampah) di seluruh kota, membangun bank sampah, gerakan eco school, campus & office, sertagerakan Merdeka dari Sampah (MDS) yang diikuti 360 RT, Surabaya Green & Clean diikuti 1942 Rukun Tangga. Tiga bulan sekali melakukan kerja bakti, peserta 50 ribu sampai 75 ribu. Selain itu, kerja bakti juga dilakukan tiap hari jumat untuk skala lebih kecil.

Kami sedang menyiapkan transportasi massal seperti MRT dan trem yang dibarengi dengan peremajaan angkutan kota. Kami juga sudah siapkan lahan parkir sepeda untuk kemudian masyarakat melanjutkan dengan MRT.

Saya tekankan pada seluruh staf, bahwa harus bekerja keras untuk melayani masyarakat dengan baik. Kalau nanti ada penghargaan, itu bonus. Saya ikut IGRA ini untuk mendapat masukan. Karena saya tidak bisa melihat punggung saya sendiri.

Pemimpin harus mau terlibat langsung dalam semua lini, termasuk dalam hal pengelolaan lingkungan. Saya sering turun sendiri ke lapangan untuk memunguti sampah. Tangan saya pernah keseleo karena kepleset di kali saat memungut sampah. Pimpinan itu harus memberi contoh dan bekerja untuk masyarakat.

Kenapa saya mau melakukan itu semua? Itu karena tugas dan tanggung jawab saya. Tanggung jawab pemimpin bukan pada masyarakat saja. Yang lebih berat adalah tanggung jawab kepada Tuhan. Kelak akan ditanyakan apa saja yang telah saya lakukan pada Surabaya. Saya katakan ini ke seluruh kepala dinas dan SKPD. Saya tidak pernah meminta apa-apa pada kepala dinas. Saya hanya minta bekerja dengan sebaik-baiknya, karena pertanggungjawaban ke Tuhan itu berat. Jadi dengan demikian mereka bisa punya visi yang sama dengan saya. Saya itu tidak pernah menyuruh kepala dinas kerja hari Sabtu atau Minggu. Tapi mereka mau melakukan itu.

Saya mau bekerja dengan sebaik-baiknya. Misalnya, kalau musim hujan begini. Saya tidur bareng HT. Biar bisa memantau kondisi dan memudahkan koordinasi. Kalau memang memerlukan saya, saat itu juga saya akan keluar. Meski jam 1 malam, saya langsung turun ke lapangan untuk memastikan kondisi baik-baik saja.

Pendekatan ini juga saya lakukan kepada masyarakat Surabaya. Saya ingin membangun Surabaya dengan memanusiakan manusia. Saya ini punya 1.186 orang gila. Saya tahu itu orang gila buangan. Dulu pernah, staf menyarankan agar mengembailkan mereka. Artinya, orang gila itu dibuang kembali. Mereka itu lho juga manusia. Kenapa harus dibuang begitu? Ya, akhirnya saya punya 1.186 orang gila itu.

Di Surabaya tidak ada pengamen. Mereka sudah dikontrak oleh Pemkot. Sekali main Rp 2,5 juta. Mereka main di taman-taman. Mereka boleh menaruh kaleng, tapi tidak boleh memaksa. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved