Management Strategy

Langkah Besar Sang Putra Mahkota

Langkah Besar Sang Putra Mahkota

Di tangannya, perusahaan tumbuh solid dengan integrasi bisnis yang kokoh. Apa langkah strategis yang diayunkan generasi kedua ini?

Generasi pertama merintis, kedua menikmati, dan ketiga menghancurkan. Pemeo sinis terhadap cara pengelolaan bisnis keluarga itu rasanya tak berlaku untuk menggambarkan kiprah Petrus Halim, Presdir yang juga generasi kedua pemilik PT Intraco Penta Tbk. (INTA). Lulusan MBA dari Boston University ini mampu membuat bisnis keluarganya bukan hanya bertahan, tetapi juga berjaya dan makin membesar.

Petrus yang sebelumnya mengawali karier di Credit Department Citibank NA (Jakarta), bergabung ke INTA sejak 1995, sebagai manajer keuangan. Sejak awal bergabung di perusahaan agen tunggal alat berat Volvo, Ingersoll-Rand, Bobcat, Mahindra Tractors dan SDLG ini, sejumlah langkah pembenahan dia gulirkan. Yang pertama adalah penekanan pada profesionalisme. “Saya sampaikan ke saudara (famili), jika Anda-anda tidak in the right job, ada skill gap, lebih baik jadi pemegang saham saja. Saya akan bayar dividen tiap tahun,” Petrus mengisahkan.

Waktu itu INTA sudah dua tahun go public di BEJ (terdaftar tahun 1993) dan kian menerima kalangan profesional. Toh imbauan ke beberapa sepupunya itu tetap dibungkus kesantunan demi menghindari konflik keluarga.

Profesionalisasi hanyalah satu langkah. Langkah krusial yang ditempuh Petrus adalah membuat perusahaan tetap prudent. Saat masih menjabat direktur keuangan, dia meyakinkan pemilik, Halex Halim, agar melakukan hedging (lindung nilai) pinjaman. Strategi itu sudah dilakukan pada tahun sebelum krismon 1998, dan dilakukan dengan belasan bank yang meminjami dana ke INTA. Kebijakan inilah yang meloloskan mereka dari jerat krismon. Bahkan strategi itu membuat nilai perusahaan melonjak dibanding kompetitor. Saat kompetitor berbenah dan sibuk mengurusi rumah tangga, INTA berlimpah uang. “Bank pun memandang dengan gembira. Utang bisa kami bayar di muka, karena punya uang,” katanya.

Ketika semua orang mengencangkan ikat pinggang, mereka justru bisa belanja murah. Mereka belanja tanah, alat berat, hingga membeli sistem yang mahal. Merek alat berat lain juga bergabung karena agen tunggalnya di Indonesia bangkrut, contohnya Ingersoll Rand. Alhasil, krisis menjadi momentum besar. Salah satu yang ketiban durian adalah jasa servis alat berat. Para pengguna alat berat yang kesulitan membeli alat berat baru, cenderung memperbaiki alat miliknya. Penjualan suku cadang INTA melonjak tinggi. Ini keuntungan besar penjualan suku cadang dan jasa perbaikan punya margin kotor yang lebih tinggi dibanding jual unit alat berat baru. Jual alat baru, margin kotornya hanya 10%, sementara jual jasa dan suku cadang bisa untung 35%.

Karena kondisi keuangan yang positif, INTA pun berinvestasi di bidang TI dengan membeli aplikasi SAP yang harganya US$ 2,5 juta. Ini bukan perkara enteng karena nilainya dan laba perusahaan yang mencapai Rp 25 miliar.

Selain menjaga sisi keuangan agar prudent, Petrus juga mencoba membenahi model bisnis untuk menggenjot pendapatan. Bila sebelumnya lebih banyak melakukan penjualan, dia membawa ke arah model solusi total. Gagasan “menjadi solusi bagi pelanggan” itu bahkan sudah dia kenalkan sejak 1996, sebagai bagian dari visi jangka panjangnya: INTA menjual solusi di bidang alat berat, mulai dari leasing, rental, kontraktor, hingga manufaktur sebagian komponen yang diimpor.

Pascakrismon, model bisnis ini pun digeber. Terlebih situasi memang memungkinkan. Pada tahun awal pascakrismon, para pelaku usaha, khususnya perusahaan kecil, kesulitan mendapatkan pinjaman bank sehingga banyak calon klien pengguna alat berat yang tak bisa begerak. Di sisi lain, otonomi daerah berkembang, memancing geliat pelaku bisnis daerah. INTA pun masuk dengan melakukan pembiayaan alat berat. “Mereka membutuhkan pendampingan seperti kami,” katanya. Maklum, investasi membeli alat berat memang mahal.

Agar bisnis makin moncer, Petrus yang dipercaya sebagai wapresdir, mendampingi ayahnya, Halex Halim (tahun 2000) mengembangkan strategi akuisisi. Tahun 2003 dia membeli perusahaan pembiayaan yang awalnya dibangun Grup Mashill, PT Intan Baruprana Finance. Perusahaan ini awalnya melakukan pembiayaan motor, kemudian diubah menjadi leasing alat berat setelah diakuisisi. Dengan akuisisi itu, INTA bisa melakukan solusi total yang lengkap: menjual, menyewakan, memberikan layanan, dan membiayai.

Mengubah model bisnis menjadi solusi total jelas bukan pekerjaan membalik telapak tangan. Dari sisi dana, diperlukan topangan fulus yang kuat, yang kadang menyedot kas. Contohnya ketika meretas bisnis leasing. Bisa dikatakan saat itu seluruh kas internal perusahaan diberdayakan. Kemudian, sisi mind set awak organisasi pun harus berubah: lebih berorientasi pelanggan. Mereka harus selalu aktif bertanya ke pelanggan, solusi apa yang bisa disediakan. Model bisnis solusi total memang bernapas customer driven.

Setelah tahun demi tahun berjalan, model bisnis ini bekerja dengan baik. Petrus yang didapuk menjadi CEO pada 2010, bahkan mengembangkan strategi untuk membuat INTA melesat lebih tinggi. Manuvernya adalah masuk ke industri hulu dengan menjadi penambang batu bara di tahun 2010. Alasannya cukup menarik, selain karena sudah memahami pengoperasian alat dan mengeluarkan batu bara, juga relasi dengan konsumen. Rupanya, banyak klien yang tidak mampu memasarkan batu bara dan bisnisnya tengah seret, meminta INTA mengambil batu bara sebagai pengganti cicilan kewajiban. Maka bisnis keluarga Halim pun terjun ke pertambangan.

Seperti bisnis lainnya, Petrus sangat serius setelah masuk ke tambang. Mereka kini sedang mengincar beberapa tambang batu bara di Kalimantan. Targetnya akhir tahun ini sudah rampung penandatanganan. Bisa dipastikan, bila bisnis tambang ini mulai jalan, dalam 2-3 tahun kontribusinya bisa menyaingi portofolio bisnis yang lebih dulu eksis. Bahkan ke depan, “INTA akan lebih menjadi perusahaan tambang, dibanding penyedia alat berat,” Petrus menjelaskan visi perusahaannya.

Dari solusi total hingga ke pertambangan. Sungguh perkembangan yang besar. Dan nyatanya, masuk ke bisnis tambang memang membuka peluang yang lebih besar lagi. INTA bisa menjadi penyedia jasa yang lebih luas, seperti solusi angkutan air, tongkang, logistik, infrastruktur, dan jasa penunjang bisnis batu bara lainnya. Kini Petrus bahkan sedang melirik bisnis power plant (energi). Sebenarnya saat ini mereka sudah punya bisnis sejenis dan masih terafiliasi, yakni sebuah power plant di Batam berkapasitas 130 MW, hanya saja usaha itu belum dimasukkan dalam grup.

Ferdinand Dion, partner bisnis Petrus sejak tiga tahun terakhir, mengatakan, Petrus mengambil bisnis batu bara bukan karena batu bara sedang naik, melainkan karena logical move. Sebab 60%-70% biaya tambang batu bara sudah ditangani INTA. “Saya pikir INTA sangat pengalaman. Ke depan untuk masuk PLTU pun mereka sudah mampu,” tutur Mitra Pengelola Irfindo ini.

Demi menggerakkan segenap sumber daya untuk perubahan dan perbaikan tersebut, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat. Petrus sendiri merasa dirinya perlu terus melakukan pemberdayaan ke tim. “Saya sebagai pendukung. Keahlian ada pada karyawan. Mereka diberi kekuatan mengambil keputusan. Saya mau ciptakan duplikat saya,” dia mengungkap gaya kepemimpinannya. Maka, Petrus berusaha menggunakan pendekatan kepemimpinan yang komunikatif, inklusif dan terbuka.

Menurutnya keberhasilan perusahaannya terletak pada budaya manajemen yang kuat: menggabungkan naluri bisnis pendiri dan manajemen profesional. Para profesional dianggapnya menjaga perusahaan dalam menggunakan naluri bisnis agar sesuai dengan knowledge. Saat ini terdapat sekitar 150 orang level manajer, belum termasuk direktur.

Willy Rumondor, salah seorang direktur yang sudah 29 tahun bekerja di INTA mengamini betapa manajemen memberi keleluasaan bagi tiap individu dalam pengambilan keputusan. Kelahiran 29 Oktober 1951 ini mengatakan, pemilik dan manajemen memiliki kekuatan dalam menjaga asas kekeluargaan. “Banyak teman yang bekerja hingga pensiun di INTA,” tutur pria yang sebelumnya bekerja di Clark Michigan Company ini.

Patricia Susanto, pemerhati bisnis dari Jakarta Consulting Group melihat tipe kepemimpinan Petrus Halim dapat dikategorikan sebagai tipe partisipatif dan situasional. “Melihat hasil dari INTA dan loyalitas karyawan yang cukup tinggi, maka gaya yang dianut Petrus Halim tepat untuk situasi saat ini,” Patricia menerangkan. INTA, menurutnya sudah on the right track dengan adanya diversifikasi yang dilakukan. Sudah on the right track?

Tampaknya tak salah kesimpulan itu. Total penjualan ditambah dengan order di tangan, hingga akhir Mei 2011 telah mencapai 1.027 unit. Artinya hampir mencapai 80% dari target penjualan 2011 yang dipatok sebesar 1.293 unit. Penjualan Mei bahkan melampaui total penjualan tahun 2010 sebesar 835 unit. Atas dasar kinerja yang cantik di kuartal pertama ini, serta kondisi pasar yang terus bergairah, Petrus yakin perusahaannya dapat melampaui target 2011.

Dari sisi keuangan, tahun 2011 ini penjualan ditargetkan mencapai Rp 2,99 triliun dengan laba bersih Rp 155,8 miliar. Selama kuartal I/2011 ini, pertumbuhan penjualan sangat signifikan, menjadi Rp 729,98 miliar. Yang juga menggembirakan, anak-anak usaha kini mulai menyumbangkan pendapatan. PT Intan Baruprana Finance (IBF) yang bergerak di bidang leasing, menyumbangkan 2%, PT Terra Factor Indonesia (penyewaan dan pemeliharaan alat berat) mengontribusi 6% dan PT Columbia Chrome Indonesia menyumbang pendapatan 3%.

Prestasi ini membuktikan Petrus telah membawa INTA di jalur yang tepat. Namun Patricia mengingatkan, layaknya sebuah bunga yang sedang mekar, pasti banyak lebah yang ingin mengisap madunya. Karena itu perusahaan yang sedang berkembang pesat pasti banyak dilirik untuk diajak kerja sama. “Itu perlu berhati-hati agar diversifikasi tidak mengalihkan fokus dari bisnis inti yang menjadi cash cow. Pembagian load of work, waktu dan pemikiran dari manajemen tim inti menjadi sangat penting agar cash cow tetap terjaga,” Patricia berpesan.

Pandangan dari sisi keuangan ini layak dicermati. Namun, dalam pandangan Willy, sesungguhnya kekuatan perusahaannya adalah kemampuan menjaga klien, baik dalam kondisi senang maupun sulit. “Pelanggan itu seperti ayam, dipelihara agar bisa menghasilkan telur. Selain telurnya bisa dimakan, telur itu juga bisa dierami untuk menghasilkan ayam lagi. Ayam tidak langsung dipotong setelah gemuk,” tuturnya. Inilah filosofi bisnis yang selalu dipertahankan INTA, termasuk oleh Petrus. Di balik langkah agresifnya, generasi kedua ini menjaga nilai-nilai bahwa sukses dibangun dengan memperhatikan kelestarian hubungan jangka panjang dengan mitra. Ini yang membuat pemeo sinis itu tak berlaku.

Reportase: Herning Banirestu

Riset: Dian Solihati

Infografis:

Lima Jurus Petrus

1. Profesionalisasi manajemen dan mengurangi peran keluarga.

2. Harmonisasi hubungan keluarga agar tidak terjadi konflik.

3. Modernisasi manajemen keuangan agar prudent.

4. Mengubah model bisnis menjadi solusi total untuk menggenjot pendapatan.

5. Diversifikasi bisnis ke pertambangan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved