Management Strategy

Lino Dicopot, Perpanjangan Kontrak JICT Bisa Batal

Oleh Admin
Lino Dicopot, Perpanjangan Kontrak JICT Bisa Batal

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmy Radhi, mendesak pemerintah membatalkan perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Pelindo II. “Meski RJ Lino sudah dipecat sebagai Direktur Utama Pelindo II, pemerintah belum beranjak untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT,” ujar Fahmy saat dihubungi Tempo, Kamis, 24 Desember 2015.

Menurut Fahmy, lembaganya mencoba untuk ikut mendorong pemerintah melakukan pembatalan kontrak. Ia menilai perpanjangan kontrak tersebut jelas melanggar undang-undang dan merugikan negara.

Fahmy menceritakan, pada awalnya, 100 persen saham JICT dimiliki negara yang dikelola oleh PT Pelindo II sebagai representasi negara. Saat krisis moneter 1997 serta atas tekanan dan desakan IMF, pemerintah melakukan privatisasi dengan menjual JICT kepada perusahaan asing, Hutchison Port Holdings, yang berkedudukan di Hong Kong.

Direktur Utama Pelindo II, R J Lino

Direktur Utama Pelindo II, R J Lino

“Melalui pelelangan terbuka, JICT dijual dengan nilai US$ 243 juta,” kata Fahmy. Kemudian HPH menguasai mayoritas sebesar 51 persen, sedangkan Pelindo II sebesar 49 persen. Dengan jangka waktu konsesi selama 20 tahun, dimulai pada 2009 dan berakhir pada 2019.

Sejak 27 Juli 2012, Direktur Utama Pelindo II RJ Lino sudah merintis proses perpanjangan kontrak JICT. “Lantaran Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan pemerintah SBY tidak memberikan izin, Lino belum bisa memperpanjang kontrak saat itu,” tutur Fahmy.

Berbeda dengan sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno justru mengeluarkan izin prinsip perpanjangan kontrak pada 9 Juni 2015. Keputusan sepihak dalam memperpanjang kontrak JICT yang dilakukan Lino, yang didukung sepenuhnya oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, telah melanggar undang-undang.

“Kami mendesak juga agar Rini Soemarno mengundurkan diri sebagai menteri karena telah memberikan dukungan sepihak kepada RJ Lino,” ucap Fahmy.

Selain itu, Fahmy mendesak KPK mengusut tidak hanya pembelian crane, tapi juga usut keterlibatan Lino dalam perjanjian kontrak. Khususnya pelanggaran yang dilakukan Lino dan pihak lain. “Pengusutan KPK tidak sebatas pada penyimpangan pembelian crane, tapi yang penting adalah kepengurusan Lino,” ujarnya.

Tempo


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved