Management Strategy

Menata Ulang Manajemen Perguruan Tinggi

Menata Ulang Manajemen Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi, khususnya negeri, semakin tampak menjadi institusi bisnis. Bagaimana pengelolaannya bisa seperti itu? Apa yang mesti ditata?

Suryono (40 tahun), seorang dokter asal Bantul yang buka praktik di sebuah kota di Jawa Tengah, hanya bisa geleng kepala. Menghadapi pasien yang bandel? Bukan, melihat mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN). Tak terkecuali di almamater tercintanya, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia ingat, sewaktu lulus dari SMA Negeri 1 Bantul lebih dari dua dekade lalu, orang tuanya yang menjadi petani di Bantul masih mampu menguliahkannya, membayar uang pangkal Rp 250 ribu dan biaya per semester Rp 100 ribu. Untuk membayar uang pangkal, orang tuanya masih bisa pinjam sana-sini, sementara buat biaya hidup sehari-hari, Suryono menyambi menjadi tentor (pengajar) di beberapa lembaga bimbingan tes di Yogyakarta.

Namun, itu kenangan yang tak akan terulang. Kini biaya kuliah melesat bak meteor. Uang masuk FK UGM sudah di atas Rp 100 juta, bahkan ada yang Rp 150 juta – tergantung pada kesanggupan memberi sumbangan. Beban pun terasa makin berat lantaran ditambahi biaya semesteran dan praktik/lab. Tak perlu kejeniusan bagi Suryono untuk membayangkan kalau dirinya lulus SMA di zaman ini: dia tak bakal sanggup kuliah. Maklum, sekeras apa pun bekerja sambilan, entah itu menjadi pengajar bimbingan tes, penyiar radio, pekerja percetakan, atau profesi sambilan lain yang bisa dilakukan seorang mahasiswa, rasanya tak akan cukup untuk mengejar biaya kuliah yang seakan-akan berlari mengejek orang-orang menengah-bawah seperti dirinya. Tak ayal, Suryono pun hanya bisa masygul mengingat banyak remaja SMA berotak brilian tetapi berada di desa-desa miskin di seputar Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul. Dia yakin mereka hanya dapat melihat bangku kuliah dari kejauhan, memandang status mahasiswa PTN hanya sebatas angan yang menerbitkan liur.

Komersialisasi pendidikan. Itulah momok yang kini sangat menakutkan. Sayangnya, biaya kuliah yang mahal itu tak hanya terjadi di UGM, tetapi merata di semua PTN, termasuk yang dulu digadang-gadang sebagai center of excellence (Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor — selain UGM).

Suryono sesungguhnya tidaklah sendirian menjadi orang yang masygul. Ada banyak calon mahasiswa dan orang tua yang mengeluhkan mahalnya kuliah di PTN saat ini. Namun, mereka sebatas diam atau bergumam karena tak punya akses ke proses pengambilan keputusan, baik di level negara maupun di level manajemen operasional institusi PT. Hanya sarkasme berikut yang mewakili jeritan hati mereka: “Orang miskin dilarang kuliah!”

Celakanya, fakta itu terkonfirmasi. Hanif Saha Ghafur, pengajar UI yang juga penasihat Menteri Pendidikan Nasional (Special Advisor for the Minister), mengakui akses masyarakat terhadap perguruan tinggi memang rendah. Pada 2010, hanya 17% yang diterima masuk PTN. Selebihnya, kelas menengah-atas. Tragisnya, persentase itu terus turun menjadi 15%-16%. Darmaningtyas, pakar pendidikan dari Perguruan Tinggi Taman Siswa Yogyakarta, malah melihat kondisi sesungguhnya jauh lebih parah. Menurutnya, jumlah golongan miskin di PTN dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) tahun 2010 tinggal 4% saja.

Realitas itu bisa dilihat langsung di kampus. Di UGM, salah satu universitas yang dulu disebut-sebut sebagai PTN-nya wong ndeso, misalnya. Ichlasul Amal, guru besar yang juga mantan rektornya, mengakui di UGM kini kebanyakan mahasiswanya menengah-atas yang tampil trendi. Semakin jarang terlihat mahasiswa encer dari keluarga miskin. ”Kini banyak yang kuliah dengan mobil mewah, mengalahkan mobil dosennya,” kata Amal seraya berkelakar.

Amal melihat sistem yang kini dijalankan telah menjauhkan akses orang miskin. Tidak hanya dari biaya kuliah, tetapi juga cara pendaftaran yang harus online. ”Cara ini tidak adil bagi calon mahasiswa yang tidak punya akses Internet. Dan mereka itu umumnya calon mahasiswa yang tidak mampu karena komputer dan Internet masih menjadi barang mahal. Di negara maju tak jadi masalah, tapi di negeri ini?” ujar mantan Dekan Fisipol UGM yang sempat menjabat sebagai Ketua Dewan Pers itu.

Dari sisi biaya, kini baik uang pangkal maupun SPP memang semakin mahal. Ambil contoh untuk kuliah di Teknik Perminyakan ITB, pada semester I seorang mahasiswa harus membayar Rp 55 juta. Lalu, di semua jurusan di Fakultas Teknik UI (ekstensi) pada semester I harus membayar Rp 41,2 juta – sementara biaya per semester Rp 7,5 juta. Biaya-biaya ini sangat tergantung pada universitas dan jurusan yang diambil. Jurusan yang biayanya paling mahal tentu saja kedokteran umum yang di beberapa PTN bahkan mesti membayar uang pangkal di atas Rp 100 juta. Yang juga menggelitik, besaran uang pangkal juga ditentukan kemampuan wali siswa untuk menyumbang sehingga besaran rupiahnya berbeda-beda. Pada titik inilah setiap perguruan tinggi ditengarai bisa ”bermain” untuk menaikkan besaran uang pangkal.

Mengapa komersialisasi ini bisa terjadi?

“Karena diprivatisasi dalam bentuk PT BHMN, mereka lalu ingin cari untung karena berpikir bantuan pemerintah sewaktu-waktu dapat distop. BHMN berpikir cari dana abadi sehingga bayarnya mahal,” papar Darmaningtyas, pengurus Majelis Luhur Tamansiswa.

Pendapat Darmaningtyas dibenarkan Amal. Perubahan besar terjadi setelah beberapa lembaga pendidikan menyandang status BHMN mulai 2003. Status ini membuat manajemen lembaga PT harus kreatif menggali dana dari calon mahasiswa berhubung pasokan dari pemerintah terhitung minim. Apalagi, dengan status BHMN mereka diberi keleluasan melakukan seleksi mahasiswa sendiri. Tak mengherankan, manajemen PT pun kemudian membuat kebijakan menyaring mahasiswa plus-plus: pintar secara akademis dan mampu di sisi finansial. “Kesalahan berada di pihak pemerintah yang menerapkan kebijakan BHMN, bukan pada PT-nya,” Amal melempar tunjuk. Lho, kok begitu? Bukankah manajemen PT juga kebablasan mengelola organisasinya?

Dia lalu memberi contoh. Dulu UGM bersemangat mengikuti program ini karena pemerintah berjanji menyuplai berapa pun dana yang dibutuhkan UGM untuk mencetak sarjana. ”Dulu hitung-hitungannya jelas. Semua biaya yang kami keluarkan akan diganti pemerintah,” Amal mengenang. Namun, kenyataannya komitmen pemerintah tak dipatuhi sehingga UGM pun kelabakan. Manajemen PT ini pun memutar otak untuk melanjutkan misi pendidikannya. ”Akibatnya seperti sekarang, yang bisa masuk hanya yang memiliki duit walau tetap harus melalui seleksi ketat,” kata Amal.

Sebenarnya angin segar sempat tertiup setelah pada 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi UU No. 20/2003 dan UU No. 9/2009 tentang Sisdiknas dan Badan Hukum Pendidikan. MK menyatakan UU No. 9/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan mengeluarkan PP No. 66/2010.

Masyarakat gembira, PP itu mengoreksi berbagai kebijakan sebelumnya di level negara. Antara lain, mewajibkan PTN menyeleksi mahasiswa baru minimal 60% melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Aturan ini merupakan jawaban karena sebelumnya para pengelola BHMN memang berlomba menjalankan seleksi mandiri — dan menetapkan uang pangkal serta biaya kuliah sendiri tentunya. Sebelum ada aturan itu, kuota mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN terlalu kecil dan variatif. Di UGM, ambil contoh, kuota mahasiswa baru melalui seleksi bersama hanya 10%, sedangkan Universitas Airlangga Surabaya mengalokasikan 54%.

Tak hanya itu, PP No. 66/2010 juga positif karena mewajibkan PTN dan BHMN mengalokasikan minimal 20% dari jumlah kursi baru bagi calon mahasiswa yang kurang mampu ekonominya. Bahkan, mewajibkan pemberian beasiswa kepada minimum 20% dari jumlah mahasiswa yang diterima. Tak lain, semua aturan seleksi mahasiswa baru ini ditujukan untuk memperbesar akses golongan miskin.

Apakah misi regulasi baru itu berjalan efektif? Sayang, harapan masyarakat masih sebatas mimpi. Manajemen organisasi PTN tampaknya sangat agresif dalam menarik dana sehingga napas bisnisnya terlalu kental. Meski sudah terbit PP No. 66/2010, realitasnya calon mahasiswa yang dinyatakan lolos seleksi bersama (SNMPTN) masih harus membayar banyak uang. Di banyak PTN, untuk masuk fakultas kedokteran tetap harus membayar uang pangkal di atas Rp 100 juta dan untuk jurusan ekonomi-bisnis sekitar Rp 50 juta. “Itu membuat masyarakat bingung karena seleksinya bersama tapi uang masuknya berbeda-beda, tergantung tingkat penghasilan orang tua. Apa bedanya dengan masuk ujian mandiri?” ujar Darmaningtyas. Di ITB dan UGM yang 100% mahasiswanya tahun 2011 diterima melalui SNMPTN, misalnya, biayanya juga masih mahal.

Harus diakui, kebijakan BHMN di tahun-tahun lalu telah membawa dampak komersialisasi PTN dalam skala massif. Betapa tidak, memang awalnya hanya beberapa perguruan tinggi yang menentukan uang pangkal dan biaya kuliah dengan nilai tinggi. Namun, tanpa disadari para pembuat kebijakan, apa yang dilakukan sejumlah BHMN diam-diam telah menciptakan standar pasar baru yang kemudian diikuti perguruan tinggi lain, baik yang negeri maupun swasta. Mereka ikut-ikutan menaikkan biaya masuk kuliah. Inilah dampak yang kurang diperhitungkan sebelumnya.

Tentu ini sebuah ironi. Betapapun akses pendidikan tinggi harus diperluas karena merupakan pilar kemajuan bangsa ke depan. Bila komersialisasi pendidikan terus berlangsung dan warga miskin makin terpinggirkan, Indonesia diprediksi akan kehilangan SDM unggul dalam jumlah besar di masa depan. Kondisi yang tragis mengingat akses pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah. Dari 237 juta penduduk RI, baru 5,2 juta orang yang mampu kuliah.

Firmanzah, guru besar dan Dekan Fakultas Ekonomi UI, juga mengamati mahalnya pendidikan tinggi di Indonesia. Biaya kuliah sebelum 1997 dinilainya justru lebih murah. Mengapa? “Karena, pemerintahan saat itu konsisten. Semua perguruan tinggi negeri hanya dipungut Rp 250 ribu per semester. Sisanya ditanggung pemerintah,” kata lelaki yang akrab disapa Fiz itu seraya menyarankan seharusnya hal serupa dilakukan pemerintahan sekarang.

Alhasil, Firmanzah pun memahami keputusan sejumlah PTN menaikkan bayaran. “Anggaran pendidikan RI, berapa sih yang masuk ke perguruan tinggi? Padahal, seperti NUS (National University of Singapore) dana risetnya tahun 2008 mencapai Rp 4,1 triliun, sedangkan UI Rp 1,2 triliun, itu untuk keseluruhan operasional, termasuk pengadaan alat fisik,” paparnya. Seharusnya pemerintah menanggung beban dana dan tidak bisa begitu saja menyerahkan pencarian dana operasional ke PTN.

Firmanzah menjelaskan posisi pengelolaan organisasi PT. “Kami dituntut bersaing dengan NUS, tapi biaya pendidikan tidak boleh mahal, itu sulit. Kalau peringkat universitas turun, diprotes masyarakat. Padahal untuk mencapai peringkat bagus, butuh biaya penelitian, konferensi internasional, dan berlangganan jurnal penelitian yang mahal,” katanya. Dia juga melihat sejauh ini peningkatan anggaran pendidikan tidak signifikan memengaruhi gaji pengajar PTN. “Walaupun subsidi dinaikkan, tapi masuknya ke mana? Jangan-jangan pendidikan tinggi bukan prioritas?” dia balik bertanya.

UI tidak sendirian. Kalangan PTN memang cukup dipusingkan dengan pencarian dana, selain persoalan belajar-mengajar. Di Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, misalnya, pengelolanya harus mencari Rp 100 miliar dalam setahun karena dari total anggaran operasional Rp 350 miliar per tahun, hanya Rp 250 miliar yang datang dari pos bantuan pemerintah. Di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo, juga setali tiga uang. Tahun 2011, UNS butuh dana Rp 567 miliar, dan dari jumlah itu hanya Rp 360 miliar yang dipenuhi APBN. Jadi, ada Rp 207 miliar yang harus dicari sendiri melalui sumbangan pembinaan pendidikan dan usaha lain. Bisa dibayangkan, betapa tak mudahnya mencari dana sebesar itu di daerah.

Lalu, bagaimana solusinya?

“Pemerintah harus menanggung semua biaya. Kemudian SPP dipatok, misalnya tidak boleh lebih dari Rp1 juta,” Firmanzah menyarankan. Dia lalu merujuk pada pendidikan master dan doktoral yang ditempuhnya di Prancis. Saat itu dalam setahun biaya per semester yang harus dikeluarkannya – jika dikonversi ke rupiah – hanya Rp 5 juta. Padahal, biaya riil mencapai 15 ribu euro atau hampir Rp 160 juta. Kekurangan itu disubsidi Pemerintah Prancis. “Dekan di sana tidak perlu lagi memikirkan bagaimana cari uang. Tinggal memikirkan kualitas pendidikan,” katanya mengulas.

Pendapat Firmanzah selaras dengan usul Darmaningtyas. Terkait dengan manajemen PTN sebagai sebuah organisasi pendidikan, pemerintah harus mengambil alih kembali perannya sebagai representasi negara dalam pembiayaan pendidikan tinggi. ”Yang seharusnya diberikan pemerintah ke PT BHMN/PTN itu adalah otonomi pengelolaan keuangan, bukan otonomi pencarian dana. Kalau yang diberikan adalah otonomi pengelolaan dana, berarti kebutuhan dana harus dicukupi negara,” Darmaningtyas menguraikan. Sebab itu, bila ingin melakukan pembenahan, agenda pertama harus dimulai dari kebijakannya dulu: menjadikan PTN sebagai lembaga yang mencerdaskan masyarakat dengan mengembalikan fungsinya dari BHMN kembali menjadi PTN. Titik!

Darmaningtyas juga menyarankan agar sistem penerimaan mahasiswa baru kembali memakai dua model saja: tes bersama (SNMPTN) serta Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) sebagaimana pada masa Orde Baru. Kedua sistem itu terbukti mampu menjaring mahasiswa baru dari segenap lapisan masyarakat sehingga yang kaya ataupun yang miskin punya hak sama. Selama masih dalam pengelolaan gaya BHMN, otoritas ada pada pimpinan PT BHMN sehingga pemerintah tidak bisa mencampuri terlalu dalam.

Tak hanya itu. Pemerintah perlu membuat batasan maksimal biaya masuk ke PTN dan biaya perkuliahan. Misalnya, dengan membatasi uang masuk melalui jalur mandiri maksimal Rp 30 juta dan Rp 10 juta bagi jalur SNMPTN. Selama ini biaya masuk ke PTN, terutama yang favorit, nilainya tinggi dan berbeda-beda. Pungutan tinggi juga berlaku pada mahasiswa baru yang dijaring melalui SNMPTN. Standardisasi melalui pembatasan biaya maksimal sangat diperlukan untuk mengendalikan tingginya pungutan uang pangkal. Cuma itu?

Tidak. Pemerintah perlu membuat cetak biru yang jelas dalam penyelenggaraan jurusan-jurusan favorit yang punya nilai strategis. Contoh yang sekarang menggelinding menjadi bola liar ialah pengelolaan fakultas kedokteran yang tak jarang menjadi ajang cari dana bagi PT. Kalangan PTN kecil dan swasta pun ikut-ikutan bermain di wilayah ini.

Dalam hal ini pemerintah tak perlu malu meniru sistem di sejumlah negara yang sudah mapan dan terbukti berhasil. Beberapa negara Eropa Barat, misalnya, konsisten menjadikan PTN sebagai institusi publik yang dapat diakses semua warga. Kuliah gratis, tetapi pihak universitas tetap punya kebebasan akademis dan manajemen. Di Prancis, misalnya, semua universitas negeri disubsidi penuh 100% oleh negara sehingga biaya kuliah sangat murah dan banyak yang benar-benar gratis.

Pemerintah Iran, contoh lain, menjadikan fakultas kedokteran dan sastra Persia sebagai fakultas termurah. Fakultas kedokteran dibuat murah karena lulusannya akan melayani masyarakat. Agar pelayanan masyarakat tidak komersial, biaya kuliah dibuat murah. Adapun fakultas sastra Persia murah agar masyarakat mau mempelajari dan menjaga peradaban bangsa.

Dibanding beberapa negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, Indonesia bahkan cukup tertinggal dalam manajemen PT. Malaysia, misalnya, selain menawarkan banyak program beasiswa (dari pemerintah ataupun swasta), pemerintahnya juga menyubsidi biaya kuliah hingga 90% untuk universitas negeri. Di Malaysia pos anggaran pendidikan mencapai 32% dari APBN yang sebagian besar digunakan untuk menyubsidi biaya pendidikan. Lalu, untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat, di Malaysia juga dibuat program kredit lunak melalui Tabungan Pendidikan Tinggi Nasional bagi mahasiswa swasta ataupun negeri.

Negara jiran lainnya seperti Singapura dan Thailand juga menerapkan skema pembiayaan pendidikan serupa, melalui pemberian pinjaman kepada mahasiswa. Mereka kemudian membayar pinjaman setelah lulus dan bekerja. Dulu Pemerintah Indonesia juga bisa melakukan hal semacam ini secara nasional. Namun, tak berjalan mulus dan tak diteruskan dengan alasan banyak kredit yang macet.

Hanif Saha Ghafur tak setuju dengan isitilah komersialisasi pendidikan. “Tidak ada komersialisasi pendidikan, sebenarnya. Kesalahan bukan pada sistem. Terkesan pemerintah (Kemendiknas) lepas tangan membiarkan hal ini terjadi. Kami sudah merumuskan program dan sistem yang selalu kami perbaiki. Kami akui kekurangan selalu ada, tapi kami juga tidak menutup mata,” ujar Hanif.

Hanif tak menampik adanya tren penurunan jumlah mahasiswa miskin yang kuliah. Sebab itu, dikatakannya, pemerintah kemudian mengeluarkan beasiswa Bidik Misi (Beasiswa untuk Mahasiswa Miskin) sebesar Rp 700 ribu per bulan dan bebas SPP. “Memang baru bisa untuk PTN. Ada 23 PTN di bawah diknas dan 22 PTN di bawah Kemenag,” katanya. “Pak Menteri wanti-wanti para rektor jangan sampai ada mahasiswa punya potensi yang tidak bisa kuliah. Tahun 2011, totally 30 ribu mahasiswa kurang mampu yang dibantu,” lanjutnya.

Menurut Hanif, pengelolaan perguruan tinggi dihadapkan pada dua dilema: memperkuat mutu atau memperluas akses. Kalau alokasi dana diutamakan untuk memperluas akses, mutu tentu menjadi nomor dua. “Atau apakah akan memperkuat mutu, sementara akses untuk masyarakat akan berkurang,” ujar Hanif sembari menyebutkan, kini pemerintah mencoba memilih lebih memperluas akses. Sejauh ini sulit bagi pemerintah untuk menyubsidi anggaran semua PTN.

Hanif melihat biaya PTN menjadi mahal karena harus melakukan riset. “Kalau sekadar teaching dan learning kampus akan murah. Menjadi mahal karena harus ada riset,” katanya. Karena itu, ia menekankan pentingnya PTN bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar untuk membiayai riset. “Bukan dengan membebani mahasiswa, dan tidak bisa mengandalkan subsidi pemerintah semata.”

Pada kondisi yang ideal, bisa jadi saran Hanif agar kalangan PTN mencari dana melalui kerja sama dengan BUMN dan perusahaan besar akan jalan, khususnya bagi PTN besar yang ada di pusat bisnis seperti UI. Namun, itu sulit bagi universitas lain. Di UI, hal seperti itu sudah dijalankan. Firmanzah menjelaskan, ada banyak kerja sama UI dengan pihak lain. Misalnya, dengan bank-bank. “Bahkan, para alumni yang tergabung dalam Iluni FE UI juga mengelola reksa dana yang dinamakan Makara Prima dan hasilnya untuk memberi beasiswa,” katanya. Persatuan orang tua mahasiswa juga menggalang dana, antara lain dengan membuat event turnamen golf yang tahun ini ditarget mampu mengumpulkan dana Rp 1 miliar.

Namun sekali lagi, hal itu baru berjalan baik di UI, itu pun belakangan memantik kontroversi luas dari civitas academica-nya. Di PTN lain hal itu tidak mudah sehingga masih mengandalkan sumbangan mahasiswa. Karena itu, jalan terbaik memang melalui subsidi yang mencukupi dari pemerintah ke PTN dan pembatasan biaya maksimal untuk masuk kuliah sehingga pendidikan tinggi menjadi murah kembali dan semua warga bisa mengaksesnya. Tanpa perubahan di level itu, sulit melahirkan Suryono-Suryono baru yang datang dari Bantul.

Reportase: Aziz Fahmi Hidayat, Gigin W. Utomo, Rias Andriati dan Tri Wahyuni

Riset: Rachmanto Aris D.

Solusi atas Rendahnya Akses ke PTN

Mengembalikan PTN ke konsep awal sebagai lembaga publik, bukan BHMN yang cenderung ke pola swastanisasi

Pemerintah menyubsidi semua kebutuhan dana operasional PTN, dan pengelola PTN fokus pada kualitas pendidikan

Mematok biaya SPP maksimal dan standardisasi biaya masuk PTN di berbagai program kuliah

Mengembangkan usaha di setiap PTN untuk menopang kebutuhan dana serta riset

Menggunakan dua pola saja dalam seleksi mahasiswa baru: ujian bersama dan PMDK seperti pada masa Orde Baru

Mengembangkan fasilitas kredit pendidikan tinggi bagi mahasiswa


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved