Management Strategy

Mendesak, Hilirisasi Karet!

Mendesak, Hilirisasi Karet!

Harga komoditas karet di pasar dunia terus tergerus. Dari data Dewan Karet Indonesia, harganya sudah di level Rp 4.000 (US$ 1,2) per kilogram. Nasib petani karet semakin terpuruk. Dengan memperhitungkan biaya produksi, harga karet di tigkat petani minimal sebesar US$ 1,8 per kilogram.

Ketua Dewan Karet Indonesia, Aziz Pane mengatakan, krisis global membuat pasar komoditas terus anjlok. Sekitar 72% produksi karet dunia digunakan untuk memproduksi ban. Melambatnya pertumbuhan ekonomi akan memicu penurunan industri ban dan kendaraan bermotor. Imbasnya, ekspor karet ke Amerika, Cina, dan Jepang pun merosot tajam.

“Indonesia tak bisa lagi bergantung pada pasar karet dunia. Oleh karena itu, (perlu ada) massive demand di pasar domestik. Itu strateginya,” kata dia.

Sejauh ini, Dewan Karet Indonesia telah beberapa kali berdiskusi dengan Kementerian Perdagangan, yang saat itu masih dipimpin Rahmat Gobel. Pembahasan tentang penguatan pasar domestik untuk karet ini juga melibatkan stakeholder lain seperti Kementerian Perindustrian, BPPT, Kemenko Perekonomian, Bappenas, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pekerjaan Umum.

“Rancangan Inpres (Instruksi Presiden) sudah bagus. Namun, katanya tertahan di Kemenko Perekonomian. Padahal, konsepnya itu untuk meningkatkan domestic demand,” kata dia.

Jika pemerintah tidak cepat bergerak, Aziz khawatir para petani karet memutuskan menebang lahan karet miliknya karena tak kuat lagi menanggung beban hidup yang semakin berat. Dari data Badan Pusat Statistik, Nilai Tukar Petani perkebunan terus menurun, terutama yang terjadi pada petani karet dan cengkeh. Daya beli petani karet turun karena biaya pengeluaran lebih besar dari pendapatan.

pengolahan karet di PT Aneka Bumi Pratama

Proses Pengolahan Karet Manjadi Produk Setengah Jadi (Crumb Rubber)

Indonesia adalah negara penghasil karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand dengan produksi sekitar 4,3 juta ton. Luas perkebunan karet rakyat 3,9 juta hektare dengan produksi mencapai 2 juta ton. Sementara, luas lahan karet milik PTPN hanya 251 ribu hektare dengan produksi 260 ribu ton dan perkebunan swasta besar 306 ribu hektare dengan produksi 354 ribu ton.

Untuk meningkatkan permintaan domestik, lanjut dia, salah satunya lewat dock fender yakni pinggiran tempat berlabuh kapal yang harus dilapisi karet agar tidak melukai body kapal akibat gesekan. Indonesia sebenarnya memiliki pabrik yang memproduksi dock fender seperti di Bogor, Cirebon, dan Sidoarjo.

Sayangnya, produksinya bukan untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sehingga, 18-20 juta petani karet masih harus bergantung pada ekspor. Jika akhirnya mereka menebangi pohon karetnya dan beralih ke komoditas lain, eksistensi Indonesia sebagai penghasil karet nomor dua terbesar di dunia terancam.

“Biaya hidup petani tergantung harga komoditas karet global. Yang ideal, harga di kisaran Rp 10-11 ribu tidak seperti sekarang Rp 3-4 ribu per kilogram. Pemerintah harus membantu. Kalau di Thailand dan Malaysia, saat harga karet rendah, dibeli oleh pemerintah, mirip Bulog,” katanya. (Reportase: Raden Dibi Irnawan)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved