Management Strategy

Mengapa Elektronik Belum Siap Hadapi MEA?

Mengapa Elektronik Belum Siap Hadapi MEA?

Asosiasi menilai daya saing industri elektronik dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) masih rendah karena dibebani biaya produksi yang relatif mahal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Ali Soebroto, Ketua Gabungan Pengusaha Elektronik(Gabel) biaya produksi yang tinggi menyebabkan daya saing produk elektronik nasional tidak kompetitif diantara 10 anggota MEA yang menjadi produsen elektronik, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. “Secara umum, daya saing produk elektronik kita masih rendah. Penyebabnya bermacam-macam yaitu biaya logistik yang mahal, suku bunga yang tinggi, UMR yang naiknya drastis, dan supporting industry-nya tidak terlalu kuat,” jelas Ali di Jakarta, Kamis (7/12/2016).

Ali menggarisbawahi peningkatan biaya operasional yang drastis bisa diminimalisir ke depannya oleh pemerintah. “Hambatan di dalam negeri harus diminimalisir agar daya saing produk elektronik nasional semakin bagus ke depannya,” tandasnya. Survei Bank Dunia mengenai Logistic Performance Index (LPI) 2014 menempatkan Indonesia di peringkat 53 dari 160 negara. Peringkat ini lebih rendah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Vitenam, misalnya, menempati posisi 48 dan Singapura yang berada di posisi lima. Dengan demikian, biaya logistik di Singapura dan Vietnam lebih efisien. “Kita harus membenahi sarana infrastruktur dan transportasi agar pengiriman barang semakin lancar, contohnya pengiriman yang tadinya sehari sekali bisa menjadi tiga hari sekali atau lebih dari itu,”jelas Ali.

Terkait pasar MEA, sambung Ali, memang cukup besar apabila melihat jumlah total penduduk 10 anggota MEA yakni sekitar 630 juta jiwa. Lebih lanjut, diamengatakan anggota MEA terkesan memproteksi pasarnya di negaranya masing-masing. Ali menangkap kesan seperti demikian karena para anggota MEA belum menyepakati harmonisasi dan standar tertentu di sektor elektronik. “Contohnya, Indonesia punya SNI, Malaysia dan Thailand juga punya standarnya sendiri. Masing-masing negara belum menyepakati lembaga yang dipilih untuk melakukan harmonisasi standar,” ucapnya.

Di era MEA, Ali mengemukakan daya saing elektronik Indonesia di produk tertentu ada yang bisa bersaing dengan produk sejenis dari negara lain. “Khususnya untuk produk yang ukurannya berdimensi besar, seperti kulkas dan AC rumah tangga,” ucapnya.Sebagai perbandingan, lanjut Ali, Thailand lebih kuat memproduksi AC System yang bisa dikustomisasi sesuai rancangan bangunan bertingkat atau perkantoran. “Sedangkan Indonesia lebih kuat di AC segmen rumah tangga,” cetusnya.

Walau daya saing elektronik nasional rendah dalam menghadapi MEA< namun kulkas dinilai Gabel sebagai salah satu produk elektronik yang daya saingnya kompetitif. (Ilustrasi foto : Dok SWA)

Walau daya saing elektronik nasional rendah dalam menghadapi MEA, namun kulkas dinilai Gabel sebagai salah satu produk elektronik yang daya saingnya kompetitif. (Ilustrasi foto : Dok SWA)

Sejauh ini, produsen elektronik di Indonesia lebih condong merakit komponen impor menjadi produk jadi. Basis produksi tidak didesain dari hulu sampai hilir karena bahan bakunya banyak yang diimpor. Namun, khusus AC dan kulkas, produsen lebih memilih memproduksinya menjadi produk utuh karena biayanya lebih murah daripada mengimpornya dari China. Kendati was-was menghadapi MEA, Ali optimistis nilai penjualan elektronik di tahun 2016 bakal naik 15%. “Target penjualan di tahun ini sebesar Rp 43 triliun dan bisa melebihi target di tahun lalu yang nilainya sekitar Rp 36,8 triliun,” ungkapnya. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved