Management Strategy

Mengulik Rahasia Promosi Pariwisata Indonesia

Mengulik Rahasia Promosi Pariwisata Indonesia

Berbicara soal pariwisata, khususnya destinasi wisata di Indonesia tidak akan ada habisnya. Mulai dari Pulau Salaut Besar di ujung barat hingga Pulau Liki ujung timur, Pulau Rondo di utara hingga Pulau Dana di Selatan negara ini.

Seringkali kita mendengar ungkapan “Tidak perlu jauh-jauh ke negara lain, wisata di Indonesia pun tidak habis dalam 1 kali perjalanan” atau “Alam Indonesia itu indah, masih aja di rumah?”. Qoute seperti itu sering didengar dalam tayangan-tayangan televisi dalam program bertema travelling, dimana tujuannya ialah lokasi wisata yang belum terjamah banyak orang.

Namun masalah lain muncul, ketika tempat wisata yang masih sepi pengunjung itu kemudian ramai dikunjungi turis dalam dan luar negeri, tetapi tidak dijaga dengan baik. Sebagai contoh banyaknya sampah di Danau Ranupani Gunung Semeru dan baru-baru ini yang menjadi trending topic adalah rusaknya taman bunga Amaryllis di Gunung Kidul Yogyakarta.

Pariwisata Indonesia mengalami pertumbuhan pada sebesar 3,38 persen pada kurun Januari-Oktober 2015. Hal ini disampaikan oleh Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI. Pertumbuhan ini tergolong besar jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura. Selain itu pemerintah memiliki target 10 juta wisatawan mancanegara hingga akhir Desember 2015.

Menanggapi fenomena itu kemudian pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar kekayaan wisata Indonesia dapat dikenal luas tetapi alamnya tetap terjaga?

Achmad Alkatiri, founder Baronda Maluku saat berbicara mengenai Baronda Maluku di IYC 2015

Achmad Alkatiri, founder Baronda Maluku ketika menjadi pembicara dalam IYC 2015

Peran Anak Muda

Masalah pariwisata bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga masyarakat luas. Apalagi destinasi wisata umumnya dekat dengan pemukiman masyarakat. Sehingga peran masyarakat pun memiliki andil besar dalam mempromosikan dan menjaga kawasan wisata.

Dalam Indonesia Youth Conference 2015, masalah pariwisata pun menjadi salah satu topik yang diangkat dan menarik antusiasme peserta konferensi.

Dalam kesempatan itu, Achmad Alkatiri, founder Baronda Maluku mengatakan bahwa Maluku memiliki potensi wisata yang sangat bagus. Banyak destinasi wisata disana yang tidak kalah dibanding Eropa dan masih belum banyak diketahui. Masalah datang ketika terjadi konflik di wilayah tersebut, dimana menyebabkan menurunnya jumlah kunjungan wisata.

Ia pun tidak tinggal diam. Tahun 2013, bersama beberapa temannya yang juga aktif dalam travelling seperti Bary Kusuma (travel fotografer), Riyanni Djangkaru (Presenter dan Campaign Director Saveshark Indonesia), dan 10 orang lainnya melakukan re-branding Maluku melalui Program Baronda Maluku. Nama Baronda diambil dari bahasa Maluku yang artinya jalan-jalan.

Mereka melalukan promosi pulau yang terkenal dengan sebutan Ambon manise ini melalui social media. Tim yang berjumlah 10 orang ini berasal dari latar belakang profesi yanh berbeda, seperti fotografer, influencer (orang yang banyak memiliki followers), penulis, dll. “Kami melakukan trip ke Ambon, mengunjungi spot wisata baru dan membuat itenerary (panduan perjalanan wisata). Kemudian tim melakukan promosi melalui social media,” ungkap Alkatiri.

Masing-masing memiliki pembagian tugas. Influencer selama perjalanan bertugas me- tweet dan meng-upload foto di instagram. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan awareness netizen bahwa wisata di Maluku tepat menjadi rekomendasi, sehingga mereka akan mencari info lebih banyak tentang destinasi wisata Maluku. Kemudian ada tim konten yang berugas menulis detail perjalanan seperti biaya transportasi, info tempat tinggal, dll. Adapula tim dokumentasi perjalanan yang memiliki keahlian mengambil angle foto yang bagus. “Ya kami bisa disebut one integrated. Ada social buzz, travel articles, travel photos, travel videos,” tambahnya.

Hal lainnya disampaikan oleh Titania Febrianti, Editor National Geographic Traveller Indonesia, kekuatan pemuda juga berperan dalam melestarikan pariwisata Indonesia.

Berdasarkan observasi yang ia lakukan ketika bertugas di lapang, nelayan di ujung kulon mengambil ikan menggunakan bom ikan. Sudah pasti bukan hanya ikan yang seharusnya tidak ditangkap yang mati tetapi juga merusak tumbuhan laut lainnya, seperti koral. Padahal pertumbuhan koral sangat lambat hanya 1 cm per tahun.

“Pemuda di sana pun melakukan transplantasi koral sejak tahun 2011. Sampai saat ini sudah 4000 karang yang ditanam,” ungkapnya. Selain itu terdapat program pariwisata yang ditawarkan ke turis untuk menanam terumbu karang.

Ada pula cerita dari Goa Lawa di Gunung Kidul Desa Unggul Rejo. Masyarakat di sana melakukan penambangan guano atau kotoran kelelawar. Sebanyak 2000 ton berhasil dikumpulkan. Tetapi aktivitas penambangan tersebut justru membuat goa tersebut rusak. Masyarakat disana pun memiliki kesadaran untuk melakukan preservasi goa.

“Travelling itu menyenangkan tapi jangan sampai ‘menyenangkan yang kelewatan’ sampai merusak alam. Anak muda punya peran besar disini,” tutup Alkatiri. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved