Management Strategy

Meramu Proyek Teater Musikal

Meramu Proyek Teater Musikal

Pertunjukan nonstop ini melahirkan terobosan baru di bisnis pertunjukan. Apa tantangan dan kesulitan yang dihadapi dari sisi manajerial?

Setahun terakhir, pertunjukan teater musikal kian menggeliat. Sebut saja, Gita Cinta Dari SMA produksi Maera Panigoro, Onrop karya Joko S. Anwar, Diana garapan Garin Nugroho, dan tentu saja Musikal Laskar Pelangi (MLP) oleh Link Entertainment dan Miles Production. Desember 2010 sampai Januari lalu, banyak mata tumpah ruah menyaksikan pergelaran MLP. Selama beberapa minggu, masyarakat disuguhi teater musikal yang terbilang spektakuler. Lantas, lazimnya sebuah proses produksi dalam kurun tertentu, bagaimana project management-nya?

MLP dihadirkan sejumlah orang top di industri hiburan. Mira Lesmana dan Riri Reza punya passion yang sangat besar dengan pertunjukan seni teater musikal. Toto Arto dan Jay Subiakto berpengalaman pada produksi pertunjukan musik dan tari akbar. Begitu pula Erwin Gutawa, jagoan aransemen musik.

Toto, Direktur Pengelola Link Entertainment, berkisah, pihaknya mulai mendapatkan tawaran terlibat dalam pertunjukan MLP pada 2009. Waktu itu, saat Mira dan Riri sedang menyiapkan film Sang Pemimpi — sekuel film Laskar Pelangi — terbersit ide untuk menuangkan cerita Laskar Pelangi dalam format teater musikal. Link bersedia terlibat karena melihat dari sisi komersial, tema yang dipilih bisa langsung merengkuh minat penonton. Konsumen tentu tak asing dengan mahakarya Andrea Hirata itu. “Timbul pikiran, bagaimana kalau cerita ini dikemas dalam format teater musikal. Tema cerita Laskar Pelangi universal dan everlasting,” Toto mengenang.

Dari sisi pasar, MLP disasarkan untuk memberikan alternatif bagi anak-anak saat liburan sekolah. Target utama pertunjukan ini adalah anak usia sekolah (SD–SMA) yang sedang libur sekolah. Selama ini mereka lebih banyak disuguhi tontonan tokoh-tokoh kartun luar negeri seperti Spongebob dan Dora Emon. “Tentu ini peluang bisnis. Penonton dewasa juga bisa dijadikan pemirsa dengan menyuguhkan sebuah cerita yang temanya lintasgenerasi. Jadi, orang dewasa tidak sekadar menemani anak, tetapi juga menikmatinya,” kata Toto.

Toto tak menampik, MLP membuat tim penggagas — Mira, Riri, Erwin, Jay dan dia sendiri — harus belajar dari nol lagi tentang penyelenggaraan teater musikal akbar — walaupun sebelumnya mereka sudah berpengalaman di bidang masing-masing. Dalam hal ini, yang menjadi acuan tim MLP ialah pertunjukan Broadway. Kendati sangat menyukai drama musikal, Mira juga mengakui proyek terakhirnya ini merupakan hal baru baginya. “Ini tantangan baru dan berbeda,” ungkapnya.

Sedikitnya ada lima tantangan. Pertama, content. Tantangan yang berat adalah membuat acara yang tidak membosankan anak-anak yang tidak bisa duduk diam. Harus tersaji naskah cerita berdurasi 2-2,5 jam yang menarik. Tentu ini berbeda dengan naskah film layar lebar. “Kalau film, penonton bosan maka tinggal pergi keluar dari bioskop. Sementara kalau pertunjukan teater musikal harus bisa membuat para penontonnya duduk terpaku dari awal sampai akhir. Untuk itu, harus mampu menampilkan sesuatu yang spektakuler,” Toto menerangkan.

Dalam pertunjukan teater musikal, unsur musik memang punya porsi setara dengan pengadegan. Dialog-dialog dilakukan dengan bernyanyi. Tantangan bagi arranger musik sekaliber Erwin adalah tidak semua dialog bisa dimusikalkan dan tidak semua musik bisa didialogkan.

Tantangan kedua, context to deliver. Artinya, di mana dan bagaimana konten itu disajikan. Di sini, pemilihan gedung pertunjukan tak gampang dirumuskan. Kapasitas duduk gedung yang pas bagi sebuah pertunjukan teater musikal berkisar 1.200-3.000 kursi. Kurang dari kisaran angka itu bisa membuat pertunjukan kehilangan suasana spektakulernya. Sebaliknya, bila lebih dari kisaran angka itu – contohnya Gelora Bung Karno – justru akan menghilangkan feel para penonton karena terlalu luas. Pentas pertama MLP berlangsung di Taman Ismail Marzuki.

Tantangan ketiga adalah menyangkut SDM. Persisnya: recruiting and managing talent. Maklum, seperti dikatakan Mira, MLP melibatkan 100 pemain dan 50 musisi dengan kru yang sangat besar, mencapai 300 orang. Mereka dipersiapkan selama 6 bulan.

Proyek pertunjukan musikal teater tak semudah operet musik. Talent harus menguasai tiga kompetensi: seni peran (akting), seni suara yang musikal panggung di mana saat bernyanyi itu juga sebetulnya dia berdialog, dan juga seni gerak tari. Nada-nada yang dinyanyikan talent harus berhasil menggugah emosi penonton. “Yang kami utamakan kemampuan akting dulu. Terkait menyanyi, kami mencari talent yang suaranya berkarakter dan mendialogkan dalam lagu. Sementara soal gerak tari, kami bisa asah selama talent punya kemauan belajar. Bakat saja tidak cukup,” tegas Toto.

Untuk mendapatkan talenta terbaik, dilakukan audisi tertutup dengan cara memanggil talenta-talenta potensial. Dalam hal ini Link bekerja sama dengan sekolah-sekolah musik, kursus seni peran, dan tari anak-anak seperti Bina Vokalia, Purwacaraka, dan Elfa Seciora mengingat sebagian besar pemerannya memang anak dan remaja. Juga, dengan EKI Dance, untuk membina dan melatih anak-anak gerak tari, akting dan musik.

Pemilihan talenta sangat memperhatikan karakter dan kedisiplinan. Seluruh tim harus mau berlatih terus-menerus. Maklum, MLP tidak hanya dipertunjukkan pada Desember- Januari lalu, tetapi juga pada Juni-Juli dan Desember mendatang.

Yang menarik, MLP tidak mengandalkan seorang figur ternama. “Kami tidak memilih tokoh selebriti sebagai pemeran utama agar penonton tidak terpaku pada satu tokoh, namun tertarik pada keseluruhan jalan cerita, mulai dari akting, cerita, musik hingga gerak,” Toto menegaskan. Dia merinci, pihaknya membagi tiga lapis pemain. Masing-masing layer punya pemeran utama dan pendukungnya. Jadi, di saat layer yang satu tidak bisa main, pelapis berikutnya yang siap tampil – karena dalam satu hari, seperti pada akhir pekan, bisa dilakukan dua kali pertunjukan.

Mereka dibina juga dari sisi fisik (stamina) agar tidak mengganggu konsentrasi dan kualitas suara. Demikian juga aspek vokal dan tari, dilatih dengan memanggil guru olah vokal yang terpercaya. Stamina diuji karena ada 28 kali pertunjukan selama 2,5 jam. Sebab itu, semua pengisi acara harus selalu prima. “Walaupun tidak dikarantina, makanan dan kesehatan mereka selalu dipantau,” ungkap Mira. Untuk mengantisipasi perubahan suara, penyelenggara menyiapkan tiga dokter THT secara khusus.

Mira mengakui, dalam pelaksanaan ataupun persiapan, manajemen talenta merupakan pekerjaan sentral. “Ketika sekian banyak orang bersatu dan semuanya harus dianggap penting, pasti akan menimbulkan masalah. Tidak mudah mengenali karakter masing-masing dengan cepat. Butuh proses,” katanya tandas.

Dalam hal ini dia biasa menerapkan manajemen kekeluargaan. “Saya harus tahu satu demi satu nama pemain. Mengenal mereka dengan baik, mengetahui kekurangan-kelebihan masing-masing. Hampir dua bulan latihan berjalan, para pemain masih harus memakai tag nama. Saya paling tak nyaman bekerja dengan orang yang tidak saya kenal secara personal,” dia menjabarkan.

Tantangan keempat tak kalah besar: executive team work. Persisnya: menyinkronkan dan menyinergikan pentolan-pentolan produser itu sendiri yang notabene masing-masing merupakan pemimpin. Mereka adalah orang-orang besar di bidangnya. “Saya, Riri Reza, Erwin Gautawa, Jay Subiyakto, Hartati dan Toto adalah orang-orang yang sangat perfeksionis dan keras kepala. Tapi di saat yang sama juga sangat mencintai kerja, sehingga apa pun kendalanya kami berusaha mencurahkan segalanya,” Mira membeberkan kiatnya. Menurutnya, “Keseriusan kami menular ke seluruh pemain untuk menghasilkan suatu karya terbaik. Ego masing-masing kami kesampingkan. MLP merupakan karya bersama, sehingga bila ini dianggap sukses apalagi kemudian pada Juli depan akan dipentaskan lagi, itu merupakan kerja bersama,” katanya lagi. Dengan kata lain, fokus pada tujuan, menekan ego, menjadi kuncinya.

Tantangan kelima adalah model bisnis, tepatnya menyangkut revenue stream, termasuk dengan pihak sponsorship. Bila ditotal, persiapan pertunjukan MLP mencapai 10-12 bulan — pembuatan naskahnya saja butuh tiga bulan – dengan total investasi mencapai Rp 10 miliar lebih. Tingginya biaya produksi disebabkan sewa gedung dan infrastrukturnya, seperti lighting yang cukup mahal dengan hitungan sewa per hari. “Gedung pertunjukan teater di Jakarta belum ada yang memenuhi kebutuhan teater musikal. Desain belum di- set up sedemikian rupa, cocok untuk pertunjukan teater musikal. Untuk lighting pertunjukan pun, harus menggunakan vendor dari luar gedung,” Toto menceritakan.

Sudah pasti, yang tak kalah fundamental, memikirkan sisi bisnisnya, mencari pemasukan untuk membiayai proyek ini. Revenue diperoleh dari dua sumber: penjualan tiket penonton dan sponsorship. Tiket dibanderol Rp 100.000-750.000 per orang. “Awalnya tiket kami dianggap cukup mahal. Padahal harga tiket pertunjukan sejenis di luar rata-rata sudah di atas Rp 2 juta,” kata Mira.

Sebenarnya, tambah Toto, harga tiket bisa ditekan jika infrastruktur gedung pertunjukan dan prasarananya bisa mengakomodasi kebutuhan. “Tidak seperti sekarang, di mana per item-nya harus sewa ke vendor-vendor,” ujarnya. Yang pasti, untuk memuluskan penjualan tiket, pihaknya mengambil strategi menggandeng perusahaan yang bersedia membeli tiket yang kemudian dibagikan untuk masyarakat kurang mampu.

Karena tak mudah menjual tiket, pendapatan dari sponsor dikejar untuk menjadi andalan. Namun sayangnya, faktanya juga tidak mudah menggandeng sponsor sebagai mitra pendanaan produksi. “Para pemilik produk belum terbiasa format pertunjukan teater musikal,” kata Toto. Apalagi, pihaknya tak sembarang mencari sponsor dan bersikap tegas karena tidak mau dititipi nama produk dalam dialog teater. Begitu pula dalam tampilan scenery panggung dan pada arena pertunjukan. “Kami menghindari booth-booth produk yang bisa mengalihkan perhatian penonton dari lokasi jalan masuk hingga dalam arena pertunjukan. Di sinilah tantangan kami bagaimana membangun hubungan sponsorship yang win-win,” Toto menerangkan.

“Sebelumnya ada tim khusus untuk mencari sponsor, tapi ternyata tidak sesuai harapan sehingga saya harus mengambil alih,” Mira menimpali. Dia mengisahkan ketika pihaknya mengemukakan ide musikal ke calon sponsor, banyak yang belum paham. Selain itu, masih banyak juga yang ragu bahwa tontotan itu akan menjadi sesuatu yang besar dan diminati banyak orang. “Banyak pertanyaan. Apalagi saat kami nyatakan bahwa pertunjukan musikal ini akan dipentaskan hingga 28 kali dengan kapasitas penonton mencapai 20.000 tempat duduk. Syukurnya, saya berhasil meyakinkan sponsor,” ujar wanita yang sudah lama malang-melintang di dunia produksi film itu.

Lewat proses panjang, kelima tantangan itu akhirnya bisa dilewati. Sejauh ini, dilihat dari hasilnya, proyek ini mulai menunjukkan hasil. Toto menginformasikan, jumlah penonton MLP periode Desember-Januari lalu sebanyak 25.000 orang. Lumayan meski masih di bawah ekspektasi Link Entertaiment selaku penyelenggara acara. Dari kursi yang terisi, hampir sebagian besar terdiri dari penonton kelas 2 dan kelas 3. “Jujur, dengan penonton yang sebesar itu, return of invesment atau BEP belum tercapai,” jelas Toto

Apa yang terjadi pada MLP tidak mengejutkan Aiko Senosoenoto, Presdir PT Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI Dance Company), yang berpengalaman memproduksi teater musikal, Jakarta Loves Riot dan Miss Kadaluwarsa. “Amerika berhasil memaksimalkan potensi seni melalui film dengan Hollywood–nya dan Singapura membangun Esplanade yang menjadi daya tarik wisatawan. Indonesia sebetulnya punya potensi dalam menggarap kekayaan seni dan budaya. Namun, kelemahan manajemen telah membuat langkah untuk memaksimalkan potensi tersebut menjadi tidak mudah,” kata Aiko.

Aiko sendiri pada 1996 membentuk EKI Dance Company untuk merekrut anak-anak muda dari berbagai daerah yang punya kemauan dan bakat, melakukan audisi secara periodik, membangun sistem pendidikan dan manajemen profesial, serta menggelar pertunjukan tiap tahun sampai sekarang. Pertunjukan garapannya antara lain Laki-laki, Ken Dedes, Madame Dasima, Gallery of Kisses, Freaking Crazy You, Battle of Love, China Moon, dan Lovers and Liars, selain Miss Kadaluwarsa dan Jakarta Loves Riot.

Linda Hoemar Abidin, pengamat bisnis seni budaya, berpendapat, manajemen pertunjukan musikal akbar seperti MLP bisa sukses, terutama karena team work yang kuat. “Orang seni umumnya egosentris. Tim musikal MLP mampu meminimalkan egosentrisnya demi kemajuan bersama,” katanya. Hanya saja, Linda menyarankan agar durasi pertunjukan MLP dikurangi dari 3 jam menjadi 2 jam saja agar lebih menarik penonton. “Tentu tidak mudah mengedit karya yang awalnya berdurasi 3 jam menjadi 2 jam. Namun, jika menyasar kalangan keluarga yang didominasi anak-anak, sebaiknya pertunjukan jangan terlalu lama,” pesannya.

Tim MLP kini tengah mempersiapkan pementasan untuk kedua kalinya, Juni-Juli mendatang. Konsepnya tidak berubah, tetapi penyelenggara akan mengganti beberapa pemain di MLP 1 (Desember-Januari lalu). Nah untuk pementasan MLP nanti, penyelenggara mematok target yang cukup tinggi, meraih 30.000 penonton. “Kami juga ingin mementaskan MLP di beberapa kota tahun ini seperti di Surabaya, Yogyakarta, dan Makassar,” papar Toto. Bahkan, mereka pun akan mementaskan MLP di Kuala Lumpur, November mendatang.

Kendati sekarang MLP masih belum mencapai titik impas, Aiko melihat titik cerah. Dia menyimpan optimisme. “Bisnis ini sangat prospektif seiring meningkatnya taraf hidup. Terbukti dua tahun ini makin banyak penonton. Kami yakin apabila selalu dekat dengan masyarakat dan bisa membuat pertunjukan musikal yang bisa mengangkat fenomena sosial, kami akan selalu berhasil menarik minat penonton,” terangnya.

Jelas, ini sebuah tantangan baru bagi MLP. Akankah mereka mencetak 30 ribu penonton? Masih ditunggu jawabannya.(*)

Reportase: Ario Fajar dan Tutut Handayani

Riset: Sarah Ratna

BOKS:

5 Tantangan Proyek MLP

Mengelola bisnis pertunjukan musikal memiliki keunikan serta tantangan tersendiri yang harus ditaklukkan. Inilah tantangan di balik kesuksesan MLP.

1. Content: membuat acara yang tidak membosankan anak-anak yang tidak bisa duduk diam. Harus mampu menyajikan naskah berdurasi 2-2,5 jam yang menarik.

2. Context to deliver: di mana dan bagaimana content itu disajikan agar feel-nya (geregetnya) bisa dirasakan penonton.

3. Recruiting and managing talent: mendapat dan menggembleng talenta terbaik, menyiapkan mereka menguasai tiga kompetensi (seni peran, seni suara, seni gerak tari).

4. Executive team work: menyinkronkan dan menyinergikan para produser acara agar fokus pada tujuan bersama, melipat ego dalam saku masing-masing.

5. Business model: mendapatkan sumber pemasukan dan pendanaan dengan sponsorship.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved