Management Strategy

Mursason Wiguna, MT Garudafood Rekrut dari Dalam dan Luar

Mursason Wiguna, MT Garudafood Rekrut dari Dalam dan Luar

Di Grup Tudung, yang merupakan induk usaha dari Grup Garuda Food dan Grip SNS, sumber rekrutmen untuk kader-kader pimpinan perusahaan yang digembleng dalam program management trainee, berasal dari dalam, yaitu mereka yang berprestasi, dan merekrut dari luar. Proporsinya saat ini seimbang, tapi kelak diharapkan lebih banyak berasal dari dalam. Bagaimana pengelolaan SDM di Grup Tudung? Corporate Human Capital and Corporate Affair Director Grup Tudung, Mursason Wiguna, memaparkannya kepada Radito Wicaksono:

Kegiatan produksi karyawan Garudafood

Bagaimana kondisi supply-demand talent di industri Anda? Jenis talent apa yang sukar didapat?

Berbicara mengenai kondisi supply-demand di industri kami cukup menarik. Hal tersebut dikarenakan industri consumer goods/FMCG tidak tergantung dengan kondisi perekonomian suatu negara. Dalam artian, jika kondisi ekonomi sedang tidak begitu bagus, industri FMCG ini tetap bagus. Karena, sederhananya, setiap orang pasti makan. Orang tetap perlu makan.

Jadi kaitannya dengan tenaga kerja, ditambah kondisi akhir-akhir ini yang banyak bermunculan pemain baru dalam industri ini, otomatis pengaruh ke talent war pun juga ada. Dan kalau yang saya liat, paling utama terjadinya talent war itu terjadi di jobs inti di suatu perusahaan, seperti contohnya research&development, manufacturing, production, technic, dan lain-lain. Kebanyak terjadi di level-level menengah. Karena level-level tersebut yang berkaitan sekali dengan operasional dan strategic perusahaan. Sedangkan kalau di level-level atas karena “mengerucut” jumlahnya, jadi paling krusial justru di level menengah.

Bagaimana strategi Anda menyiapkan rekrutmen & seleksi yang tepat agar didapat the right talent?

Saya melihatnya, semua itu diibaratkan perang. Karena itu, kami harus buka aliran baru atau sungai baru. Jadi, jangan ikut permainan di perang tersebut. Kalau saya lebih cenderung from with in. Menurut saya hal tersebut paing efektif. Karena kita harus lihat dari sudut orang-orang yang ada. Karena kalau kami memasukan orang dari luar terus, mereka-mereka itu akan memiliki perbedaan secara kultural terutama. Jadi, kami lebih memilih buat program di dalam. Nah, itulah yang kami sebut real talent management. Istilah lainnya, kami develop dari dalam.

Namun, jika memang harus ada proses perekrutan, ada banyak faktor yang jadi pertimbangan. Tapi kalau saya lebih memilih orang yang kulturnya fit dengan kondisi di perusahaan. Kemudian juga kami perlu melihat target perusahaan ke depannya itu untuk berapa lama, dan apakah orang ini sesuai dengan target persusahaan tersebut. Jadi, kami tidak hanya mencari orang untuk saat ini saja kan, tapi long term- nya juga perlu diperhatikan.

Untuk itu, yang perlu dikembangkan adalah HR yang kami miliki harus allign dengan business needs. Itu yang kami butuhkan. Karena jika tidak, maka kami akan terlambat terus untuk setting orangnya. Langkah kongkretnya adalah, orang-orang di bagian HR harus orang-orang yang tahu bisnisnya. Jika di kami, ada dua hal besar dalam strategi HR untuk hal ini. Pertama, apa sih needs dari business leader, dan hal ini yang harus didahulukan terlebih dahulu. Sering kali yang terjadi tidak match antara keduanya. Karena HR itu sering berpikir bahwa “ini ilmu saya”. Kalau sudah tidak allign dengan bisnis, jadinya seperti menara gading. Tinggal di ketinggian tanpa diketahui orang banyak kegunaannya. Kemudian hal yang kedua adalah, kami pun harus meningkatkan kompetensi orang-orang HR. Jadi, ada sisi teknikalnya, dan juga dari segi opportunity busines nya, mereka harus tahu.

Karena saya berpikir begini, “Apa sih yang diperlukan oleh business leader?” Sebenarnya simple saja, mereka hanya ingin fulfill atau orangnya harus ada. Kemudian yang kedua, pimpinan bisnis biasanya menuntut orang-orang yang sudah tersedia tersebut untuk siap (ready). Baru yang terakhir jika sudah terisi dan sudah siap orang-orangnya adalah how to engage mereka. Jadi kalau saya tanya ke business leader, dan ketiganya ini sudah terpenuhi, sudah cukup bagi mereka, bahkan lebih dari cukup.

Untuk hal yang pertama atau fulfillment, itu sering kali orang kita hanya berpikir dari luar atau external candidate. Sedangkan kalau saya percaya dengan internal candidate. Jadi dua itu yang kami garap. Tetap, keduanya harus dikasih peluang. Secara internal, jika banyak orang berpikiran yang namanya management trainee itu harus ambil dari luar (young blood yang masuk ke kita), kalau kami juga ambil dari dalam. Jika ada orang dari dalam yang tertantang untuk masuk, kami persilakan dan kami ada program itu, namanya champions pool. Jadi, mereka-mereka yang sudah ada di dalam, dengan catatan mereka perform atau star, maka mereka bisa masuk ke program ini. Sedangkan untuk dari luar atau external candidate, kami lakukan rekrutmen seperti halnya rekrutmen lain dan kami sebut champion trainee. Saat ini proporsi keduanya masih seimbang. Kami mengharapkan ke depannya, lebih banyak yang berasal dari dalam ketimbang ambil yang dari luar.

Sedangkan untuk readiness, saya kembangkan hal yang simple juga. Jadi, ada dua hal untuk hal readiness ini yang harus kami kelola, yaitu para leader dan high potential. Kalau bicara keduanya paling hanya berjumlah 20% dari jumlah populasi yang ada di perusahaan. Sedangkan sisanya, simple saja. Pokoknya mereka orang-orang yang match requirement-nya. Seringkali kita bicara sophisticate saja. Tapi bagi saya, selama mereka sesuai dengan requierment sudah bagus.

Untuk engagement, kita harus tahu dulu apa itu engage. Engage itu kan keterlibatan. Nah, bagaimana orang bisa terlibat, yang harus dikembangkan adalah komunikasi. Komunikasi yang terbuka adalah kuncinya. Untuk itu, di kami ada dua langkah kongkret yang kami lakukan di sini. Pertama, komunikasi secara formal seperti gathering yang kami adakan empat kali dalam setahun. Jadi, di sana ada event kebersamaan, informasi kami sampaikan di sana. Jadi mereka itu terlibat. Kedua, adalah informal, di sini orang sering tidak ingin spent time. Kalau saya justru kebalikannya. Saya melihat justru dari aktivitas-aktivitas nonformal akan membuat dampak yang lebih positif. Terutama saat ini kita bicara young generation. Untuk generasi mereka, kami selalu mengikuti tren yang sedang berlaku di tengah-tengah mereka, seperti saat ini sedang tren X-Factor. Itu salah satu contohnya saja.

Kabarnya para profesional tidak lagi mengabdi para perusahaan, tapi pada profesi. Bagaimana kondisi di perusahaan dan industri yang Anda geluti? Bagaimana menyiasatinya?

Saya sangat setuju dengan kabar tersebut. Karena memang perubahan sudah terjadi. Kalau zaman dahulu, berbicara profesional berarti mereka yang paling lama berprofesi. Makanya, dengan tiga pendekatan saya tadi, fulfill, readiness, engagement, ketiganya adalah konsep yang saya juga berpikir sama. Buatlah mereka profesional di bagiannya masing-masing dan bangun loyalitas di pekerjaannya.

Dengan kultur kami di sini, di mana kultur di kami ini justru meminta mereka atau talent ini untuk menemukan di mana calling mereka. Kalau mereka sudah menemukan calling tersebut, mereka sudah mengarah ke profesional tadi. Hanya saja komunikasinya harus hati-hati. Misalkan ternyata calling mereka ingin menjadi pengusaha atau wirausahawan kan jadinya tidak sejalan dengan business needs kami. Calling yang dimaksud, adalah di mana mereka berada tersebut. Karena yang namanya Gen-Y, belum tahu bagaimana waktu-waktu kedepannya, dua atau lima tahun awal, bahwa mereka di profesi itu mereka ingin jadi profesional di situ. Sedangkan saat ini mereka sudah mencari sendiri, karena lingkungannya. Dengan kemudahan akses informasi di mana-mana. Untuk itu, kita harus ikuti pola mereka.

Sedangkan berbicara mengenai reward, merupakan hal yang sangat kompleks. Ini yang kami bawa mereka Gen-Y ke alam yang sama, bahwa reward tidak berdiri sendiri, tentunya terkait dengan hal yang lain. Kalau bicara reward janganlah kita berpikir semata-mata hanya finansial saja. Padahal non-cash juga harus diperhatikan. Makanya tadi, engagment dalam bentuk nonformal itu adalah bagian dari recognition. Jadi, mereka-mereka itu bisa feel at home. Sejauh ini, hal-hal tersebut masih sesuai dengan harapan kami dan membuat talents yang ada bertahan. Tapi kami juga masih harus membuat stabilitas, karena era selalu berbeda-beda.

Bagaimana dengan Generasi-Y di tempat Anda? Apakah mereka punya aspirasi yang berbeda dibanding para seniornya? Bagaimana Anda mengelola mereka?

Jangankan di tempat kami, di mana-mana saya rasa juga begitu, Gen-Y banyak yang memiliki aspirasi yang berbeda. Tidak usah begitu, di rumah saja bisa kita lihat, yang namanya orang tua dengan anaknya suka berbeda pendapat atau kebiasaan. Untuk itu harus ada plan yang sangat panjang untuk mereka. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan generasi-generasi yang dulu. Kita harus tahu perkembangan dan ikuti perkembangan mereka. Gen-Y dan Gen-X penanganannya berbeda. Untuk Gen-Y informasi sangat penting.

Lalu, bagaimana dengan system performance management di tempat Anda? Seperti apa sistem yang dibangun? Apa cara terbaik melakukan itu?

Untuk sistem performance, kami sudah banyak melakukan evolusi. Saat ini yang kami bangun, kami punya KPI (Key Performance Indicator). Maksimal KPI yang diberlakukan ke satu orang maksimal ada 8 KPI. 8 KPI itu terdiri dari 1 KPI yang sifatnya corporate, 6 bersifat departemen, dan 1 KPI bersifat insiatif bersama di tahun-tahun tertentu.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved