Management Strategy

Pemerintah Sulit Ambil Alih Tambang Freeport, Kenapa?

Oleh Admin
Pemerintah Sulit Ambil Alih Tambang Freeport, Kenapa?

Keinginan mengembalikan tambang PT Freeport Indonesia ke negara dinilai agak sulit. Sebab, menurut Said Didu, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah terikat kontrak karya 1991 yang dinilai menyulitkan pemerintah Indonesia. “Mereka punya kontrak karya yang agak mengikat,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Said Didu, di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat, 20 November 2015.

Menurut Said, dalam kontrak karya 1991 ada klausul yang menyatakan Freeport bisa kapan saja meminta perpanjangan kontrak dan pemerintah tidak bisa menghalangi tanpa alasan yang jelas. Selain itu, ada pasal lain yang menyatakan kedua belah pihak sepakat hukum yang berlaku adalah hukum yang sudah ada tahun 1991. Ini membuat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) pada 2009 tidak berlaku. “Itu yang membuat posisi Indonesia kalau dibawa ke arbitrase agak lemah,” kata Said.

Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu

Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menyatakan tambang Freeport akan dikembalikan ke negara jika kontraknya telah habis. Saat dimintai tanggapannya, Said menyatakan tak mau menanggapi pernyataan Luhut. “Saya tidak menanggapi dia, jangan ditanggapi.”

Selain soal kontrak karya yang mengikat, ada hal lain yang membuat pengambialihan aset Freeport tidak bisa dilakukan begitu saja. Menurut Said, ada perbedaan antara eksplorasi migas dan tambang. Eksplorasi migas menggunakan sistem cost recovery. Ini membuat semua aset yang ada di tambang migas jadi milik negara.

Sementara di tambang, yang jadi milik negara hanya cadangan yang ada di perut bumi. “Semua fasilitas adalah milik perusahaan. Jadi kalau memperlakukan hal yang sama agak susah, pasti mereka minta ganti,” kata Said.

Lebih jauh, Said mengingatkan lima hal yang harus diperhatikan dalam pembicaraan kontrak karya Freeeport. Lima hal itu adalah kedaulatan negara, penerimaan negara yang harus optimal, kepastian hukum, geopolitik keamanan, dan masalah sosial ekonomi masyarakat Papua. “Kita harus pertimbangkan kalau tambang ini berhenti sementara dampaknya apa di Papua. Kita tahu di Timika itu 94 persen uang beredar itu dari Freeport,” katanya.

Tempo


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved