Management Editor's Choice Strategy

Penerapan GCG di FIF Group Mendatangkan Kepercayaan Kreditor Mancanegara

Penerapan GCG di FIF Group Mendatangkan Kepercayaan Kreditor Mancanegara

Suhartono, Presdir FIF Group menuturkan usahanya banyak berkaitan dengan dealer, sehingga kerap ia menyambangi mereka untuk lebih dekat dan berbagi pengetahuan tentang penjualan. Sisanya dipegang GM, Kepala Wilayah dan orang-orang di bawahnya untuk turun menyambangi. Ia mengawasi 60-an dealer yang penjualannya di atas 5.000 unit per bulan. Itu sudah mempresentasikan sekitar 40% penjualan FIF

Group. Dealer level kedua ditangani oleh Direktur Marketing sekitar 200-an dealer yang penjualannya di atas 500 unit motor per bulan. Lalu yang di bawahnya dipegang oleh dibawahnya seperti kepala wilayah atau GM marketing itu penjualannya dibawah 200 unit per bulan. Total sekitar ada 1.800-an dealer yang berhubungan dengan FIF. Bagaimana penerapan GCG di FIF Group dan bagaimana kaitannya dengan kinerja usahanya, dipaparkan Suhartono, Presdir FIFGroup kepada Herning Banirestu.

FIF Group

(Ke-3 dari kiri) Suhartono, CEO FIF Group

Apa sebenarnya tantangan penerapan GCG di perusahaan Anda?

Definisi penerapan GCG secara garis besar perusahaan itu harus menuju pengelolaan yang profesional. Ada transparansi, akuntabilitas, ada medianya juga. Nah, tentu kendala ini ketika kita menjalankan hal itu, pertama faktor dari sisi regulasi sangat memengaruhi. Karena regulasi yang sifatnya harus kita ikuti. Dan ketika regulasi berubah-ubah, ini menjadi kendala.

Karena finance company sendiri belum punya undang-undang sendiri yang mengatur, dasarnya masih peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kalau PMK sifatnya masih short term. Padahal penyesuaian atas perubahan aturan seringnya tidak bisa secepat yang diinginkan, terutama dalam hal operation. Misalnya begitu ada peraturan X, otomatis sistem berubah, begitu juga operasinya.

Tapi buat kami, ketika ingin menjadi perusahaan besar, memang harus mengikuti regulasi, walau dengan susah payah. Kami tidak menjadikan itu sebagai alasan untuk tidak menjadi besar. Namun demikian kami tetap mendorong agar finance company ada undang-undangnya, tidak short term regulation, setidaknya medium. Ini memang sudah ditanggapi OJK, terutama perkembangan bisnis konsumer di finance company, terlebih asetnya makin besar. Sebagai finance company, FIF menggunakan asosiasi untuk menjembatani kesulitan itu. Sebab perusahaan besar dengan kecil, tuntutannya berbeda-beda. Daripada OJK bingung, maka APPI yang menjadi juru bicara perusahaan-perusahaan pembiayaan ini.

Kalau di internal sendiri apa kendala penerapan GCG?

Bicara transparansi, akuntabilitas dan semua syarat GCG, untuk perusahaan- perusahaan di bawah Astra Group bukan hal baru. Karena sejak awal Astra Group ingin anak-anak usahanya memiliki pola itu. Perusahaan yang berketetapan ingin menjalankan GCG, itu balik lagi saya pikir itu semua tergantung kesungguhan pimpinan, pemilik, dan karyawan, mau tidak mereka diajak untuk menjadi perusahaan yang profesional. Kalau saya selalu berpikir, jika FIFGroup ingin menjadi perusahaan besar, ya memang harus profesional dalam menjalankan bisnis.

Kalau tidak profesional, konsumen, owner atau stake holder lain akan bertanya-tanya, apakah ini perusahaan “benar”. Kita sebagai karyawan ingin jujur, justru owner punya “pandangan” lain dalam menjalankan usaha. Jadi tidak sejalan. Jika GCG dijalankan di mana saja di perusahaan, maka yang disampaikan kepada pemiliki jelas, laporannya jelas, pengawasan dan audit bisa dilakukan oleh mereka dengan baik, dengan demikian ada trust.Termasuk ada trust dari para investor.

Lalu, apa yang kemudian dirasakan perusahaan dengan penerapan GCG yang baik di FIF Group?

Kami baru saja menerbitkan obligasi, kami juga mendapat loans dari perbankan, dari investor luar negeri. Para investor itu percaya karena kami menjalankan usaha dengan benar. Struktur menjadi benar itu, ketika agendanya jelas, direksi memang harus dipilih dengan seleksi, proper, diuji Bapepam, ada komisaris independen. Semua kami penuhi. Bahkan audit independen pun kami gunakan, dengan memilih Price Waterhousecooper (PWC) sebagai auditor independen.

Kami dipercaya banyak bank di luar negeri, baik di Eropa, Jepang, Korea, Taiwan, mereka memberikan dana kepada kami. Itu timbul karena kepercayaan kepada kami yang dilihat memang menjalankan GCG dengan baik. Seperti bank dari Eropa, yang mereka lihat tentu performance perusahaan serta apa yang dilakukan organisasi kami. Tapi di luar itu, kepercayaan dan dasar mereka memberi pinjaman, adalah kala mereka datang ke konsumen, bengkel, kala kami menjual motor mereka tanya seperti apa yang dirasakan konsumen selama jangka waktu kredit. Adakah pengelolaan yang baik. Kedua, waktu pemberian kredit ke konsumen itu dasarnya apa setiap orang yang datang ke FIF diberi kredit.

Saya bilang juga ke mereka, kredit diberikan pada konsumen sangat selected, tidak hanya berdasarkan kemauan tapi juga kemampuan konsumen. Kemampuan ini menjadi penting, karena dipastikan mereka bisa membayar kreditnya. Jika asal beri saja, hanya untuk meningkatkan penjualan kredit, ini justru menjerumuskan konsumen, hanya karena mereka “punya kemauan” ambil kredit.

Tapi kalau orang itu mampu mengambil kredit, dia bisa dikembangkan untuk mengambil kredit lain. Jadi hal-hal seperti ini yang menjadi bagian pekerjaan kami, agar bagaimana tata kelola perusahaan menjadi benar dan baik. Efeknya, jika konsumen happy kembali akan mengalir kembali pada kami.

(ke-1 dari kiri) Suhartono, CEO FIF Group

(ke-1 dari kiri) Suhartono, CEO FIF Group

Apalagi yang dirasakan dengan berhasilnya penerapan GCG yang baik dalam perusahaan?

Kembali ke investor, kala kami menerbitkan obligasi, dengan data-data yang kami suguhkan benar, transparan, kami mendapatkan bunga yang lebih murah, dibanding perusahaan lain yang mungkin belum GCG.

Di Astra Group, kami yang pertama dan sampai hari ini masih menjadi patokan salah satu bank terbesar di Jepang, kala dia melakukan strategi baru yaitu memberikan kredit pada perusahaan non-Jepang, tapi menjual produk Jepang. Bank Japan incorporation ini yang untuk ketemu mereka saja hampir 8 bulan lamanya, tapi setelah clear, setiap kebutuhan dengan sangat mudah mereka oke. Hingga sekarang hampir Rp 4 triliun dana pinjaman terkucur sejak tahun 2011. Sangat sulit perjanjiannya dan sebagainya.

Tapi memang setelah melihat tata kelola perusahaan di FIFGroup ini baik, mereka menyetujui kredit yang kami ajukan. Meski demikian mereka juga memberikan masukan untuk banyak hal yang perlu diperbaiki, yang menurut saya itu wajar. Secara basic, kami dinilai sudah menjalankan perusahaan secara profesional, yang secara kultur orang FIF punya mentalitas yang bekerja di sini, berarti memberi kesempatan pada pihak di luar menjadi lebih baik. Apakah itu investor, perbankan, dealer ataukah konsumen. Contoh kecil, kala saya makan siang bersama dealer, sebagai perusahaan individu, mereka kurang informasi tentang tantangan 2014, karena kami menganggap mereka bagian dari kami, maka kami memberikan penjelasan bagaimana menghadapinya dan memiliki persiapan lebih baik di tahun depan.

Bagaimana sebenarnya penerpan GCG di FIFGroup sehingga berhasil? Apa peran pimpinan di sini?

Saya selalu berpikir dalam memimpin, pemimpin harus jadi role model atau magnet dan teladan atau panutan. Lepas dari kesalahan Pak Harto, sebagai Presiden RI kedua, saya lihat dia jadi teladan bawahan saat itu. Dan dia sukses membangun dengan Repelita, selama dua puluh lima tahun ada blue print pembangunan.

Di luar itu, bagi saya FIFGroup harus dibawa sebagai perusahaan yang memiliki attitude, memiliki energi yang bisa dicintai dan dibanggakan oleh karyawan, investor, konsumen dan masyarakat. Kedua, FIF harus punya komitmen tinggi terhadap pekerjaan yang “dijual”. Kami memang perlu uang, mencari orang yang mau kredit, perlu hubungan dengan dealer yang mau motornya dikreditkan melalui FIF ke konsumen, kami butuh partner untuk keamanan. Jadi, yang harus kami bangun adalah komitmen. Komitmen pada organisasi yang profesional.

Sebagai perusahaan yang high risk, bukan hanya jual terima uang selesai. Maka profesionalisme harus dijaga. Karena kala kita menjual kredit, paling tidak selama 36 bulan kami menunggu, uang itu kembali atau tidak. Maka kalau Anda menaruh uang di FIFGroup melalui obligasi, jika saya tidak punya komitmen, maka tidak ada yang mau percaya pada kami. Menurut saya komitmen itu sangat penting.

Komitmen itu bisa dijaga jika kami perhatikan kompetensi karyawan. Kami memahami kompetensi karyawan menjadi sangat vital. Maka itu penting bagi kami menyusun organisasi yang memiliki keahlian di bidang ini (pemberian kredit), menjaga perusahaan ini agar bagus dalam jangka panjang.

Bisnis ini merupakan bisnis long term, itulah pentingnya komitmen, yang didukung organisasi yang fokus pada bisnisnya. Selain itu harus didukung oleh laporan-laporan yang bisa dipercaya. Maka itu kami sangat perhatikan dalam setiap RUPS, sebagai bagian pertanggungjawaban direksi pada shareholder. Kita pun menggunakan tenaga dari luar dan independen yang diakui oleh negara untuk mengawal ini, dengan menggunakan auditor lima besar dunia, yang diakui secara internasional. Pilihan auditor besar ini pun menjadi komitmen kami pada investor dari luar negeri. Kami juga perhatikan bagaimana pelanggan-pelanggan kami. Know your customer well. Dan yang tak kalah diperhatikan, kami harus perhatikan risk management-nya.

Ini harus dikawal dengan baik. Jangan sampai uang yang kami kelola menyebabkan goyangnya ekonomi Indonesia. Maka itu faktor risiko yang harus menjadi perhatian kami.

Suhartono FIF

Bagaimana GCG menjadi bagian atau budaya perusahaan?

Misi kami adalah better life, better future. Dari sisi ini kami mengambil Catur Dharma Astra, artinya kami harus bermanfaat bagi bangsa dan negara. Ada dua hal penting yang diperhatikan. Dalam bisnis dan Non bisnis. Bisnis berarti, kami harus paham benar pelanggan kami, know your customer. Non bisnis berarti, bagaimana kami menyisihkan profit yang memiliki nilai untuk masyarakat. Kami bukan sekadar kasih uang dari profit untuk sumbang-sumbang saya. Tidak, kami mau capek-capek. Ini melalui empat hal yaitu melalui pendidikan, lingkungan, kesehatan dan IGA (Income Generated Activities).

Saya sangat terkesan dengan anak-anak FIF memperhatikan lingkungannya, kala petani-petani di Makasar, selesai panen, hasil sudah diijon. Berarti uang yang didapat petani sangat sedikit. Bahkan uangnya tidak ada, karena uangnya sudah dihutang dulu. Kala mau tanam, harga pupuk dan bibit naik. Nah ini dipikirkan oleh anak-anak di FIF, melalui penyampaian ide ke perusahaan. Mereka menganggap para petani ini konsumen FIF.

Mereka memikirkan bagaimana per 10 petani bisa digabung untuk bisa bersama beli pupuk dan bibit. Bagaimana cara membuat pupuk juga, kami bantu panggil konsultan untuk memberikan training ini. Akhirnya menjadi seperti perkumpulan “koperasi”, ide ini bahkan menjadi ide juara di Astra Group.

Untuk pendidikan, kami dan para karyawan, didorong untuk mengajar. Bahkan kami didorong memberi beasiswa, pada anak sekolah tapi bukan hanya itu, kami mendorong mereka yang mendapat bea siswa bukan saja sekadar terima uang, tapi juga memiliki spirit untuk maju dengan meminta mereka membuat makalah tulisan tentang masa depan mereka (dream ke depan) untuk mendapatkan bea siswa itu.

Untuk lingkungan, kami melakukan penghijauan di sekitar Gunung Rinjani, sekitar tol dan banyak lahan. Sedang dalam kesehatan, kami memberikan biaya operasi bagi mereka yang membutuhkan terutama mereka yang harus dioperasi dengan biaya yang sangat tinggi.Kami punya bis peduli sosial, per wilayah ada. Kami melihat dengan banyak kegiatan sosial itu, kami jadi dicintai masyarakat.

Justru dengan ini kami yakini orang melihat FIF sangat bermanfaat. Dan kami tidak munafik, ini berdampak pada bisnis kami karena nilai positif itu. Tata kelola perusahaan yang bagus, saya yakini jika dijalankan dengan konsisten akan menjadi kultur perusahaan. Saya selalu mengatakan, kultur FIF adalah berbagi. Kalau kita mau berbagi, FIF akan menjadi perusahaan yang disukai, profit dan dalam jangka panjang akan terus tumbuh.

Lalu apa kaitannya kegiatan sosial itu dengan GCG perusahaan?

Perusahaan yang mencapai untung, dengan cara yang baik, secara otomotis, bisa berbagi dengan baik pula. Berbagi ilmu, berbagi uang. Kalau kita tidak profit bagaimana bisa berbagi. Kalau kita tidak menjadi perusahaan besar, bagaimana bisa berbagi lebih besar. Kalau mau menjadi perusahaan besar, ya harus profesional, yang tata kelolanya baik. Yang diakui oleh pemerintah, investor, karyawan dan shareholder.

Banyak perusahaan yang kalau mau menyebut profit saja tidak berani, saya malah maunya disampaikan, ditulis, supaya jadi pemicu lebih baik. Dalam setiap pertemuan dengan karyawan saya sampaikan itu.

Tahun ini target profit-nya Rp 1,250 triliun, saya yakin ini bisa tercapai hingga akhir tahun ini. Hitungan saya sih bisa tercapai. Itu naik dibanding tahun lalu yang profit-nya mencapai Rp 1,150 triliun. Kami punya kultur sebagai the winner juga, paling tidak di ASTRA Group. Tahun ini kami masuk kelas A dalam pencapaian pendapatan, hampir empat tahun berturut-turut di ASTRA Group kami masuk kelas A. Didalamnya ada FIF, Astra Honda Motor, Astra Daihatsu Motor, Pama dan Toyota Asrtra Motor.

Bagaimana setiap orang memahami GCG yang mereka jalankan?

Karyawan yang baik kala ia paham arah perusahaannya. Termasuk bagaimana mencintai perusahaan. Untuk menjadi excellence, setiap orang harus menginternalisasi budaya perusahaan. People adalah SOP, ketika mereka bekerja, tidak disalahkan, harus ada penanggungjawabnya. Kalau tidak ada SOP-nya, atasan tidak pernah salah, ini sangat berbahaya. Presdir apalagi, tidak pernah disalahkan.

Tapi ketika ada SOP maka akan menjadi hak siapapun, untuk mengatakan saya benar, saya salah. Dalam people kami, sangat disadari kami harus mencapai achieving yang baik, bukan saja tinggi. Kinerja yang baik, itu beda dengan kinerja tinggi.Baik itu berarti kami menjual sesuatu itu harus wajar, kalau tinggi berarti kami harus ambil profit setinggi- tingginya, ini bisa dikomplain orang. Harus ada pertanggunjawaban dari apa yang kami jual. Jadi pencapaian harus tinggi tapi juga baik.

Lalu kami harus moving forward, perusahaan harus tumbuh. Agar people punya jalur karier yang pasti jika mereka memang ingin mencapai posisi tinggi. Maka itu harus ada upaya membesarkan perusahaan. Harus ada kreatvititas dalam bisnis. FIFGroup ini merupakan ide lucu, lah cuma jualan satu kok pakai grup? Ini memang upaya kami mengembangkan bisnis. Akhirnya memang kami bisa jualan elektronik dan pembiayaan lain karena ide ini. Line-line bisnis baru ini membutuhkan pemimpin baru. Ini harus dijaga di FIFGroup, harusnya bukan saja bertumpu pada orang, tapi menjadi bagian dari kultur FIF.

Dengan tata kelola yang baik, membuat kami lebih percaya diri. Kami mau bertemu siapapun kami percaya diri.Meski kami belum go public, kami justru sudah seperti go public. Saya sih mau saja go public, tapi kalau shareholder belum bilang iya, ya saya tidak bisa memaksa.

Astra Group membawahi 160 anak perusahaan, tapi kami masuk dalam empat besar di kelas A grup itu. Saya pikir itu membanggakan. Kala Krismon 2008 kami profit Rp 225 miliar, lalu setelah Krismon, pada 2009, kami membuat reengenering dalam bisnis (bukan transformasi). Kami membedah bisnis kami yang sama dengan cara yang berbeda mulai dari cara survei dan pengelolaannya. Itu membuat profit kami naik menjadi Rp 465 miliar lebih. Lalu tumbuh lagi menjadi Rp 825 miliar tahun 2010. Puncaknya pada tahun berikutnya kami mencapai Rp 1 triliun, termasuk pembiayaannya naik tinggi. Kami mencapai posisi peak (naiknya tidak terlalu tinggi).

Maka itulah dibutukan transformasi bisnis. Kami harus membedah kompetensi bisnis lain. Bisnis baru lain kami besarkan seperti new financing, seperti pembiayaan elektronik dan mobil-mobil bekas yang murah (di bawah Rp 80 juta).

Kami melihat BTPN itu tumbuh bagus, membiayai orang pensiun, yang bank lain orang ini tidak bankable. Padahal orang seperti itu, selalu berpikir, mampu nyicilnya tidak. Maka itu saya kok tertarik apa yang digarap BTPN ini sebagai new business. Kalau BTPN saja, saya puji, saya berharap FIF juga ada orang lain memuji karena langkahnya. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved