Management Strategy

Forum Pemred: Jangan Lagi Melepas Kesempatan

Indonesia memiliki sekitar 170 juta atau 68% penduduk usia produktif. Bonus demografi ini belum dimanfaatkan dengan optimal. Begitu pula dengan kelas menengah yang mencapai sekitar 60 juta. Dengan kebijakan yang tepat dan pengelolaan yang baik, ekonomi Indonesia mestinya bisa bertumbuh di atas 6% per tahun.

Indonesia memiliki sekitar 170 juta atau 68% penduduk usia produktif. Bonus demografi ini belum dimanfaatkan dengan optimal. Begitu pula dengan kelas menengah yang mencapai sekitar 60 juta. Dengan kebijakan yang tepat dan pengelolaan yang baik, ekonomi Indonesia mestinya bisa bertumbuh di atas 6% per tahun.

Harapan perbaikan sempat tersembul ketika dua pekan pertama sebagai Presiden, Jokowi-JK mengambil langkah tidak populis dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Langkah ini tepat karena sudah sekian lama subsidi BBM membengkakkan defisit neraca transaksi berjalan serta membuat Indonesia kehilangan kesempatan membangun infrastruktur dan sektor produktif.

Sayang, langkah yang baik ini tidak berlanjut. Ketika kondisi global kian memburuk, pemerintahan Jokowi-JK tidak segera merespon dengan kebijakan untuk menggerakkan dunia usaha dan mencegah penurunan daya beli masyarakat. Selain urusan non-ekonomi, energi para anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) tersita oleh masalah internal kementerian dan pemerintahan.

Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI) tidak segera berkoordinasi untuk mencegah dampak perlambatan ekonomi global yang sudah mulai menggerogoti perekonomian nasional. Sejumlah paket stimulus ekonomi baru diluncurkan setelah ekonomi Indonesia terkena dampak yang cukup serius. Potensi ekonomi Indonesia untuk tumbuh di 6% pun pupus akibat kelambanan merespons keadaan.

Indonesia memiliki sekitar 170 juta atau 68% penduduk usia produktif. Bonus demografi ini belum dimanfaatkan dengan optimal. Begitu pula dengan kelas menengah yang mencapai sekitar 60 juta. Dengan kebijakan yang tepat dan pengelolaan yang baik, ekonomi Indonesia mestinya bisa bertumbuh di atas 6% per tahun.

Indonesia memiliki sekitar 170 juta atau 68% penduduk usia produktif. Bonus demografi ini belum dimanfaatkan dengan optimal. Begitu pula dengan kelas menengah yang mencapai sekitar 60 juta. Dengan kebijakan yang tepat dan pengelolaan yang baik, ekonomi Indonesia mestinya bisa bertumbuh di atas 6% per tahun.

Laju pertumbuhan ekonomi kuartal I dan II 2015, masing-masing, hanya 4,71% dan 4,67% (sumber: BPS). Jauh di bawah asumsi laju pertumbuhan ekonomi 5,7% yang ditetapkan dalam APBN-Perubahan 2015 (dokumen APBN-P). Perlambatan ekonomi diperkirakan berlangsung hingga akhir tahun ini, bahkan sampai kuartal kedua 2016.

Pada Februari 2015, angka pengangguran terbuka mencapai 7,45 juta atau 5,81% naik dari 7,24 juta, Agustus 2014 (sumber: BPS). Dalam delapan bulan terakhir, pengangguran terbuka diperkirakan meningkat lebih dari 500.000 orang. Pada butir keenam Program Nawacita disebutkan, dalam lima tahun pemerintahannya, Presiden Jokowi akan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru atau rata-rata 2 juta per tahun. Tahun ini, peluang untuk menambah lapangan kerja baru kemungkinan sulit dicapai. Mampu mencegah pengangguran baru saja sudah hebat.

Jumlah penduduk miskin absolut selama Oktober 2014 hingga Maret 2015 membengkak 860.000 orang menjadi 28,59 juta atau 11,22% dari total penduduk (sumber: BPS). Diperkirakan dalam tujuh bulan terakhir, angka kemiskinan absolut sudah menembus 29 juta.

Kehadiran Badan Pengelola Jaminan Kesehatan (BPJS) memberikan manfaat nyata kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan kaum miskin. Namun, masih banyak masalah yang dihadapi, khususnya ketersediaan dana di tengah melonjaknya jumlah pasien. Jika tidak ada solusi yang tepat, BPJS Kesehatan bakal mengalami mismatch, yakni pembengkakan biaya pengobatan yang tidak diimbangi oleh pendanaan.

Buruknya perekonomian global memang berpengaruh tajam terhadap perekonomian nasional. Ekspor Indonesia periode Januari-September 2015 turun 13,3% dibanding periode sama tahun 2014. Neraca Perdagangan Januari-September 2015 surplus US$ 7,13 miliar. Tapi, capaian itu lebih disebabkan oleh merosotnya impor sebesar US$ 26,43 miliar atau 19,7% selama periode yang sama (sumber: BPS).

Perlambatan ekonomi kian dalam akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang terlampau tajam. Rupiah sempat melemah hingga 17% selama sembilan bulan pertama 2015. Namun hanya dalam dua pekan pertama Oktober, rupiah sekonyong-konyong menguat sekitar 10% dari 14.800 ke 13.300. Dari awal tahun hingga 16 Oktober 2015, rupiah melemah 7% terhadap dolar AS (sumber: BI).

Rupiah yang terlalu fluktuatif menyulitkan para pelaku usaha untuk menetapkan rencana bisnis dan bekerja sesuai rencana bisnis. Industri dalam negeri yang mengandalkan impor bahan baku dan komponen kesulitan mempertahankan usaha. Banyak perusahaan didera beban bunga dan cicilan utang luar negeri akibat penguatan dolar.

Dalam situasi ekonomi yang melambat, pemerintah menargetkan penerimaan pajak yang terlampau ambisius pada APBN 2015, yakni Rp 1.294 triliun atau 23% di atas realisasi penerimaan pajak 2014. Target yang terlalu besar mendorong aparat pajak melakukan tindakan yang membuat pelaku bisnis tidak nyaman (sumber: Kemenkeu)

Merespon perlambatan global, berbagai negara mengoptimalkan potensi domestik. Dunia usaha digerakkan dan pasar dalam negeri diberdayakan untuk menyerap produk lokal. Tapi, ketika konsumsi keluarga melemah, belanja pemerintah justru tetap lamban. Hingga September 2015, belanja modal dan belanja barang pemerintah pusat baru 32,2%. Sedang serapan belanja modal pemerintah daerah masih di bawah 20%. Sekitar Rp 270 triliun dana pemda masih diparkir di bank-bank pembangunan daerah (sumber: penjelasan Menkeu dan Mendagri).

Selain perlambatan pertumbuhan ekonomi, kesenjangan dan ketimpangan ekonomi juga melebar seperti terlihat pada rasio gini tahun 2014 yang sudah mencapai 0,413 dan pembangunan yang masih terkonsentrasi di Jawa. Pada tahun 2005, rasio gini masih 0,353. Sekitar 58% PDB dikontribusi oleh Jawa. Kontribusi Jawa dan Sumatera terhadap PDB mencapai 80% (sumber: BPS). Pembangunan Indonesia dari pinggiran dan kawasan Indonesia bagian timur masih sekadar wacana.

Meski PDB Indonesia tahun 2014 sebesar US$ 896 miliar, menempati peringkat ke-16 dunia, PDB per kapita bangsa ini hanya US$ 3.532 (sumber: BPS dan World Bank). Menurut perkiraan Bank Dunia PDB tahun 2015 sekitar US$ 895 miliar atau hanya tumbuh 0,78%. Dengan PDB per kapita sebesar itu, Indonesia berada di kategori lower middle income countries. Jika perlambatan ekonomi tidak dikelola dengan baik, Indonesia bisa terperangkap di level yang sama atau middle income trap. Tidak mampu naik ke kelas upper middle income countries, bahkan sebaliknya, bisa terjungkal ke lower income countries.

Empat paket stimulus ekonomi yang sudah digulirkan Pemerintah patut diapresiasi. Namun, paket kebijakan ekonomi itu akan lebih berdampak positif jika dilakukan lebih awal dan terkoordinasi. Pengumuman paket stimulus ekonomi itu tidak disertai peraturan pelaksanaan. Koordinasi dengan BI dan OJK tidak dilakukan dengan baik. Potensi tumbuh Indonesia sangat besar meski kondisi ekonomi global masih diwarnai ketidakpastian. Indonesia memiliki sekitar 170 juta atau 68% penduduk usia produktif (sumber: BPS). Bonus demografi ini belum dimanfaatkan dengan optimal. Begitu pula dengan kelas menengah yang mencapai sekitar 60 juta. Dengan kebijakan yang tepat dan pengelolaan yang baik, ekonomi Indonesia mestinya bisa bertumbuh di atas 6% per tahun.

Satu tahun pertama Pemerintahan Jokowi-JK merupakan pelajaran yang sangat berharga. Kita mengalami apa yang disebut “The lost of opportunity”. Sekarang waktu yang tersisa hanya 4 tahun. Pemerintah Jokowi-JK tidak boleh lagi membuang kesempatan yang dimiliki.

Sebagai bentuk tanggung jawab pers yang akan selalu mengawasi jalannya pemerintahan, pada satu tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Forum Pemred menyerukan: 1. Pemerintah perlu memperhatikan dinamika yang terjadi di tingkat global dan segera merespon dengan kebijakan yang tepat. Masalah internal pemerintahan, kementerian dan lembaga, pusat dan daerah, perlu segera dituntaskan agar pemerintah memiliki kemampuan yang cepat untuk merespon perubahan global. 2. Perlambatan ekonomi dan pergerakan kurs rupiah yang fluktuatif tidak boleh dibiarkan. Berbagai kebijakan ekonomi dan langkah konkret perlu segera diambil untuk mencegah situasi yang kian memburuk. Harus ada akselerasi dalam penyerapan anggaran belanja guna menggerakkan roda perekonomian. Perbaikan iklim investasi mesti dilaksanakan dengan lebih sungguh-sungguh. 3. Pemerintah seyogianya segera meningkatkan public trust agar investasi kembali mengalir. Berbagai janji perlu segera direalisasikan dan komunikasi politik sebaiknya dilakukan dengan lebih elegan guna membentuk persepsi positif masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan masa depan bangsa. 4. Paket kebijakan ekonomi yang sudah digulirkan harus segera diimplementasikan agar tidak menjadi macan kertas. Peraturan pelaksanaan yang lebih rinci perlu segera dirumuskan dan pengawasan di level eksekusi perlu lebih diintensifkan. Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran hanya bisa dicapai jika pertumbuhan ekonomi mampu didorong di atas 6% per tahun. 5. Kami mendesak pemerintah untuk memperhatikan daya beli masyarakat yang melemah dengan memberikan stimulus fiskal dan stimulus moneter yang lebih efektif, mengendalikan laju inflasi, mendorong perluasan lapangan kerja, mencegah PHK, dan memacu pertumbuhan ekonomi. Penggunaan dana desa dan pembangunan infrastruktur di daerah harus mengutamakan proyek padat karya. Kehadiran BPJS Kesehatan perlu diperkuat guna memberikan manfaat kepada seluruh rakyat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah dan kaum miskin. 6. Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih besar pada upaya mengurangi kesenjangan dan ketimpangan ekonomi dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan mendorong pembangunan ke luar Jawa. Pembengkakan angka pengangguran terbuka dan kemiskinan absolut harus dicegah. Proritas ketiga Nawacita, “membangun Indonesia dari pinggiran”, hendaknya tidak sekadar slogan, melainkan perlu benar-benar diimplementasi. 7. Kegiatan ekonomi domestik harus menjadi prioritas dengan memperkuat industri dalam negeri. Berbagai belanja barang pemerintah dan BUMN harus mengutamakan produk dalam negeri. Para elite politik mesti menjadi contoh bagi rakyat dalam mengonsumsi poduk lokal. Kami juga mendesak pemerintah untuk segera menyiapkan strategi terpadu dan langkah konkret mendongkrak ekspor untuk memperkuat neraca perdagangan. 8. Pemerintah hendaknya membangun koordinasi yang lebih baik dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global, pemerintah perlu segera membentuk Protokol Krisis dengan mengajukan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). 9. Meningkatkan kualitas dan memperkuat kekompakan kabinet agar terbangun sinergi dan bukan hanya kegaduhan yang diperlihatkan kepada rakyat. Presiden sebagai “CEO” mesti mengambil posisi yang jelas dan memberikan arahan yang terang kepada setiap menterinya. 10. “Kekacauan” data yang acap terjadi hendaknya segera dituntaskan agar berbagai kebijakan, termasuk impor pangan, dilandasi data yang akurat. Kesalahan data yang terus dibiarkan akan melumpuhkan kemampuan bangsa untuk berdikari di bidang ekonomi, satu dari semangat Trisakti yang selalu digaungkan Presiden. 11. Kami mendesak pemerintah untuk memperhatikan reformasi hukum di level produk hukum dan penegakan hukum di level pelaksanaan guna memberikan kepastian hukum kepada para pelaku usaha dan seluruh rakyat. Berbagai kebijakan pemerintah hendaknya sungguh-sungguh menjiwai dan mengimplementasi revolusi mental, amanat trisakti, dan prioritas program nawacita. 12. Presiden dan Wakil Presiden harus menjadi dwi-tunggal yang memimpin negeri ini dan jangan mudah terganggu oleh intrik-intrik yang merusak harmoni. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved