Management Strategy

PR Besar Perbankan Hadapi MEA

PR Besar Perbankan Hadapi MEA

Perbankan Indonesia mesti segera menyiapkan diri menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), meski implementasinya di industri jasa keuangan ini baru akan dimulai tahun 2020 mendatang. Staf Pengajar di Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Widigdo Sukarman, Indonesia harus mampu memegang peranan karena RI menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi setara 34% PDB ASEAN, 38 persen dari populasi ASEAN, 50 persen luas wilayah ASEAN, serta rasio kredit terhadap PDB terendah (29,6%, dibanding rata-rata ASEAN 67,2 persen).

Indonesia akan menjadi sasaran pasar bagi negara-negara ASEAN. Para pelaku dan pemangku kepentingan sektor perbankan harus segera bersiap, terutama dalam penyediaan permodalan, infrastruktur teknologi, efisiensi, kualitas dan sistem pengelolaan sumber daya manusia. Infrastruktur teknologi adalah elemen penting untuk mendukung interkonektivitas sistem keuangan, memperkuat sistem pembayaran, dan pengembangan produk. Pemanfaatkan teknologi juga penting dalam memperluas akses keuangan (branchless banking). Singapura, kemudian Korea dan Taiwan sudah maju dalam hal ini. Malaysia dan Thailland pun sudah mempersiapkan diri dengan baik.

Staf Pengajar Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UGM, Widigdo Sukarman (kiri)

Staf Pengajar Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UGM, Widigdo Sukarman (kiri)

Namun, perbankan nasional masih sibuk menata struktur suku bunga dalam mendorong mobilisasi dan alokasi dana secara efektif dan efisien. Rasio BOPO adalah ukuran efisiensi bank dengan membandingkan biaya operasional, termasuk biaya bunga dengan pendapatan operasional bank. Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio BOPO per Januari 2015 masih tergolong tinggi 82% bila dibandingkan rata-rata ASEAN yang hanya 56%.

Penguatan modal juga masih menjadi masalah di banyak bank di Tanah Air. Bila dibandingkan dengan bank-bank besar di kawasan ASEAN, seperti CIMB, DBS Bank, OCBC Bank, Maybank, dan Bangkok Bank, modal bank lokal masih sangat kecil. Tak heran, wacana untuk mempercepat konsolidasi perbankan terus bergulir. Harapannya, Indonesia memiliki satu atau dua bank besar yang mampu bersaing di kancah regional. Modal yang kuat memang penting bagi bank untuk mempertahankan ekspansi secara berkelanjutan.

“Tapi, komitmen pemilik bank untuk terus memperkuat modal, diantaranya lewat kebijakan dividen payout ratio, juga harus dihargai,” katanya saat meluncurkan buku “Liberalisasi Perbankan Indonesia” Suatu Telaah Ekonomi Politik, Rabu (18/3).

Menurut dia, pemerintah sebagai pemilik empat bank besar, yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN harus bisa memilih apakah akan membentuk satu-dua bank besar dengan modal kuat atau dibiarkan seperti sekarang dengan prioritas penguatan modal secara organik. Saat ini, pangsa pasar bank BUMN sudah jauh tergerus bank-bank swasta. Jika di tahun 1990-an pangsa pasar bank BUMN masih 70%, sekarang hanya tinggal 30%. “Apa perlu, kita menjadi besar lagi? Kalau terjadi apa-apa, semua harus siap. Bank besar itu kan too big too fail,” katanya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved