Management Trends

Priyantono Rudito: Tantangan Perusahaan adalah Bagaimana Segera Membangun Collective Growth Mindset

Priyantono Rudito: Tantangan Perusahaan adalah Bagaimana Segera Membangun Collective Growth Mindset

Dari hasil survei tentang HR Future Readiness yang dilakukan oleh SWA Media Group dan FTHR, terpilih 29 perusahaan untuk ditindaklanjuti dengan mengirimkan kuseioner untuk dijawab secara kualitatif. Pertanyaan yang diajukan kepada mereka meliputi aspek strategi, struktur, sistem, skills dan shared value yang dijalankan dan dipersiapkan oleh departemen human resources/human capital untuk menghadapi tantangan bisnis perusahaan di masa mendatang. Jawaban mereka kemudian dinilai oleh dewan juri, salah satunya Ir. Priyantono Rudito, MBUS, PHD.

Saat ini, Priyantono dipercaya Vice Chairman SEAL(Social Economic Accelerator Lab) AWS. Namun, sebelumnya dia sudah malang melintang di dunia SDM (sumber daya manusia). Dia pernah menjabat sebagai Direktur Human Capital Management PT Telkom Indonesia Tbk (2012-2014) dan Direktur Human Capital Management Telkomsel (2015-2017). Di samping itu, Priyantono juga pernah dipercaya sebagai Direktur Eksekutif Co-Branding Wonderful Indonesia, Kementerian Pariwisata RI (2018-2019) dan Strategic Advisor Menteri Pariwisata (2017-2019).

Untuk menggali insights yang disimpulkan dari 29 perusahaan tersebut, wartawan SWA Herning Banirestu melakukan wawancara tertulis dengan Priyantono. Berikut ini petikan wawancaranya.

Secara garis besar bagaimana Anda menilai tingkat HR Future Readiness dari 29 perusahaan yang Bapak/Ibu nilai terkait implementasi konsep 5S (strategy, structure, system, skills, shared value)?

Dari penyelenggaraan HR Future Readiness tahun 2021 ini dengan 29 perusahaan yang terlibat di dalam nya, diperoleh satu insight yang sangat penting untuk di-address sebagai suatu strategic context dalam membangun future readiness bagi setiap perusahaan. Strategic context tersebut adalah: terjadi nya suatu fenomena di era digital dimana setiap industri menghadapi dan tengah mengalami perkembangan tatanan ekosistem bisnis yang bergerak ke masa depan secara lebih cepat. Fenomena ini dikenal dengan the Future Mega Trend yang mendorong Plausible Future (bentuk masa depan industri yang dapat terjadi), Possible Future (mungkin saja terjadi) dan bahkan Impossible Future (tidak mungkin terjadi) bergerak menuju Probable Future (masa depan yang kemungkinannnya lebih besar untuk terjadi).

Driver atau akselerator atas terjadinya the Future Mega Trend adalah:

Dari perspektif implementasi konsep 5S, atas terjadinya Future Mega Trend ini, saya menilai sebagian besar peserta sudah memiliki awareness yang baik dan memahami atas apa yang terjadi di industrinya masing-masing. Namun demikian masih terdapat sejumlah perusahaan yang belum sepenuhnya memahami implikasi masa depan atas fenomena Future Mega Trend terhadap portofolio bisnis perusahaan yang saat ini dijalankan dan juga terhadap kesiapan HR (HR readiness). Hal ini ditunjukkan dengan belum dijalankannya sepenuhnya inisiatif strategis yang konkrit untuk menjadikan perusahaannya sebagai the Future Ready Organisation sesuai dengan strategic roadmap yang ditetapkan.

Apa saja hal-hal penting yang sudah mereka lakukan? Dan apalagi hal-hal yang masih perlu ditingkatkan?

Hampir semua peserta sudah menetapkan visi dan misi dengan orientasi ke masa depan yang sesuai dengan future trends yang terjadi di era digital di tataran lingkungan bisnis-nya. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan di Indonesia sudah memiliki hyper-awareness yang baik atas terjadinya dinamika perubahan yang terjadi ekosistem bisnisnya. Namun demikian, kita telah merasakan bersama bahwa di era pandemi ini, future mega trend yang ditandai dengan terjadinya digitalisasi bergerak sangat cepat. Mengalami akselerasi yang prosesnya dapat kita rasakan langsung dan kita jalani sendiri dalam kehidupan sehari hari.

Demikian pula halnya dengan yang terjadi di hampir semua ekosistem bisnis, terjadi pula proses percepatan digitalisasi tersebut. Untuk itu diperlukan penyiapan strategi yang tepat tidak saja untuk menghadapi tantangan di era pandemi, yang pada umum nya terdiri dari 3 tantangan utama (3S), yaitu Securing (employee wellbeing/kesehatan) dan Surviving (mempertahankan kinerja dengan baik), tetapi juga harus segera menyusun dan menyiapkan strategi Re-starting the business, yaitu menyiapkan aktivitas dan inisiatif-inisiatif bisnis di era post pandemy dengan intensitas yang lebih tinggi dan lebih efektif lagi. Strategi ini diperlukan memastikan business sustainability dapat tercapai dan terencana. Dan ini kenal dengan Sustaining. Dengan demikian, setiap perusahaan akan memiliki readiness yang lebih untuk menghadapi 3 tantangan tersebut atau sering saya sebut dengan Great 3S Leadership Challenge Era digital (Securing, Surviving dan Sustaining).

Apa temuan-temuan menarik dari proses penilaian tersebut?

Ada hal yang sangat menarik untuk kita amati, ternyata terminologi industri 4.0 yang selama ini digunakan lebih secara konteks teknologi manufakturing, ternyata saat ini telah juga menjadi term bahkan konsepsi yang digunakan untuk menggambarkan masa depan begitu banyak industri lainnya. Fenomena inilah dicirikan dengan terbentuk nya FUTURE FORWARD BUSINESS ECOSYSTEM: Ekosistem Bisnis yang bergerak cepat ke masa depan.

Untuk future ready organisation yang siap menghadapi the Future Forward Ecosystem tersebut, ditemukan pula bahwa diperlukan upaya serius untuk membangun Digital Leadership para pimpinan perusahaan di berbagai tingkatan organisasi. Digital Leadership diperlukan untuk menjadikan suatu perusahaan mau dan mampu membangun Future Ready Organisation dengan melakukan Transformasi Digital di saat yang tepat, yang diikuti dengan alokasi sumber daya yang mendukung untuk melakukan transformasi tersebut secara efektif.

Dari hasil penilaian di ajang HR Future ready ini, diperoleh temuan penting dan menarik yang menunjukan bahwa digital leadership terbentuk dari 3 cara berpikir (3 thinking style) dalam menghadapi era digital disruption. Dengan kata lain, digital leadership bersifat 3 dimensional. Ketiga thinking style tersebut adalah:

Ketiganya diperlukan untuk mampu mengelola bisnis hari ini (legacy/core business), business growth di jangka pendek sampai dengan menengah dan mengembangka portofolio bisnis masa depan yang menjadikan perusahaan tersebut future ready organisation di era digital.

Dari ketiga dimensi thingking style digital leadership tersebut, Exponential way of thinking belum tampak secara dominan men-drive terbangunnya kapabilitas digital yang diperlukan dan inovasi digital untuk menciptakan portofolio bisnis masa depan.

Menurut Anda, apa hal-hal utama yang perlu dipersiapkan/dilakukan perusahaan agar bisa menjadi HR Future Ready?

Merujuk pada Josh Bersin, ada 3 hal strategis yang perlu dilakukan untuk mengembangan Future Ready Oganisation, terkait dengan HR readiness, yaitu menjadikan perusahaannya menjadi: 1. HPO (High Performing Organisation)

2. ALO (Adaptive Learning Organisation)

3. HILO (High Impact Learning Organisation)

Sebagian besar peserta sudah memiliki kinerja yang baik. Dengan kata lain sudah mencapai HPO. Namun demikian, untuk memenangkan era digital dan menghadapi future mega trend, perlu pengembangan kapabilitas perusahaan untuk menjadi ALO (Adaptive Learning Organisation) dan kemudian menjadi HILO (High Impact Learning Organisation). Untuk menjadi ALO dan HILO, diperlukan Business Agility yang dapat dicapai dengan melakukan transformasi digital sesuai Corporate Strategic Scenario dan roadmap yang ditetapkan, khususnya, oleh top management.

Secara spesifik, di level HR, untuk mewujudkan HPO, ALO dan HILO dalam membangun Future Ready Organisation, diperlukan paradigm shift dalam pengelolaan HR, dengan 5 dimensi paradigm baru (HR sebagai Business Partner, Corporate Culture/Value System Developer, Future Capability Developer, Centre of Excellence dan Digital HR).

Menurut Anda, apa saja tantangan yang umum dihadapi perusahaan untuk mewujudkan HR Future ready?

Tantangan utama untuk mewujudkan HR Future Ready adalah “Bagaimana perusahaan dapat segera membangun Collective Growth Mindset yang menjadi dimensi core dari digital leadership”.

Growth mindset adalah pandangan, pola pikir atau orientasi yang terwujud sebagai suatu pemahaman dan kesadaran nyata yang meyakini bahwa kapabilitas organisasi termasuk, dan khususnya, human capital atau SDM perusahaan memiliki kemampuan untuk dikembangkan dalam mencapai pertumbuhan perusahaan yang sustainable, terkait dengan adanya dinamika perubahan lingkungan bisnis yang terjadi dengan cepat. Growth mindset berbeda, bahkan dapat dikatakan, berlawanan dengan Fixed Mindset. Fixed mindset cenderung menganggap bahwa kemampuan atau kapabilitas organisasi itu sifatnya tetap atau fixed sehingga sulit untuk dirubah dan dikembangkan.

Fixed mindset akan menciptakan suatu persepsi dini yang memandang hal-hal baru, perubahan ataupun trend baru lebih merupakan suatu suatu ancaman bagi bisnis kita saat ini, dan bukan sebagai sebuah peluang.

Growth mindset akan menciptakan dorongan terhadap seseorang untuk mengembangkan kemampuan dan kompetensi dengan melaksanakan proses learning dan akuisisi pengetahuan (knowledge) atas berbagai hal yang belum dipahami namun perlu untuk dikuasai dalam menghadapi tantangan sekaligus memenangkan peluang-peluang bisnis.

Jika dorongan untuk melakukan proses learning terjadi di lingkup tim, unit kerja bahkan perusahaan atau organisasi, maka akan terbentuklah Collective Growth Mindset. Sebagian dari kita terkadang menyebutnya dengan istilah kultur atau budaya perusahaan, dan pada perkembangannya, kultur inilah yang dikenal sebagai Growth Mindset Culture.

Dengan memahami implikasi kedua mindsets yang berbeda ini terhadap keberlangsungan hidup suatu korporasi, maka kitapun akan paham atas pentingnya membangun Growth Mindset Culture Platformdi dalam organisasi sebagai sebuah langkah awal yang sangat krusial, jika kita ingin memulai dan menjalankan program Transformasi perusahaan menjadi Future Ready Organisation dengan baik.

Dengan memiliki Growth Mindset Culture di tubuh perusahaan kita, ada 3 hal penting yang akan diperoleh:

Pertama, terbentuk nya digital leadership atau kepemimpinan digital yang mendorong top management untuk mengambil keputusan memulai inisiatif transformasi korporasi menuju Future Ready Organisation beserta program-program di dalamnya di saat yang tepat. Sehingga perusahaan tidak akan kehilangan atau terlambat dalam memanfaatkan window of opportunity yang ada. Dalam beberapa episode sebelumnya saya sering menyebutan dengan titik “A”, yaitu titik waktu yang menandai pengambilan keputusan untuk memulai transformasi digital pada saat perusahaan masih memiliki sumber daya yang memadai.

Kedua, mendorong terciptanya inovasi portofolio atau produk2 perusahaan yang dikembangkan dengan pendekatan model bisnis yang berbeda dengan sebelumnya, yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan bisnis yang sustainable di era digital disrupsi.

Ketiga, membangun kemampuan leaders dan SDM perusahaan untuk mengelola secara efektif bisnis perusahaan saat ini melalui program-program pencapaian target-target kinerja yang ditetapkan, dan di saat yang sama mampu mengalokasi sumber daya yang memadai untuk menciptakan masa depan perusahaan, melalui program transformasi digital, sehingga dapat menjadikan perusahaannya sebagai the Future Ready Organisation atau atau organisasi yang siap untuk menghadapi masa depan. Ketiga hal tersebut, jika dimiliki sebuah perusahaan, maka akan dapat mendorong terciptanya business agility yang diperlukan untuk dapat memenangkan era digital saat ini dan di masa yang akan datang.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved