Management Strategy

Rekomendasi Tony Prasentiantono Terkait Depresiasi Rupiah

Rekomendasi Tony Prasentiantono Terkait Depresiasi Rupiah

Ketidakpastian kebijakan stimulus di Amerika Serikat (AS) ternyata menyebabkan terjadinya pelepasan aset untuk ditukar ke Dolar AS. Akibatnya, Dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang dunia, termasuk Rupiah yang kini berada di level Rp 11 ribu per US$.

IMG_0140Melemahnya Rupiah (depresiasi) terhadap Dolar AS sebenarnya tidak terlalu buruk dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya. Depresiasinya hanya sebesar 8%, jauh dibanding depresiasi Rupee (India) yang sebesar 19% atau Yen (Jepang) yang mencapai 33%.

Meski begitu, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada (UGM), Tony Prasentiantono, meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah kebijakan untuk menyelamatkan Rupiah agar tidak terdepresiasi lebih dalam lagi. Apalagi, pelepasan aset surat berharga menjadi Dolar AS sepekan ini telah mengakibatkan indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok.

“Sekarang ini kan pada nyabut untuk beli Dolar AS, saham dijual untuk beli dolar. Bahkan sekarang ibu rumah tangga juga beli Dolar AS,” ujar Tony Prasentiantono dalam diskusi Prospek Investasi 2014 OCBC NISP di Jakarta, Kamis (22/8).

Langkah kebijakan yang yang harus segera dilakukan menurut Tony adalah Bank Indonesia (BI) agar menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate. Dia memperkirakan BI Rate sebaiknya naik 50 basis poin menjadi 7%.

“Inflasi YoY (year on year) Indonesia 8,61% tidak berimbang dengan BI Rate saat ini yang 6,5%, akibatnya likuiditas Rupiah ditukar ke valas,” jelasnya.

Meski pemerintah perlu menjaga Rupiah agar tidak terlalu dalam, namun Tony menilai mata uang ini harus dijaga di atas Rp 10 ribu per US$.

“Baru-baru ini dalam RAPBN 2014 dipatok Rp 9750 per US$ , ini tidak realistis. Karena neraca perdagangan kita kan defisit. Karena defisit perdagangan yang lemah, maka Rupiah perlu dijaga agar tidak terlalu terapresiasi. Prediksi saya Rupiah 2014 masih di atas Rp 10 ribu per US$.”

Defisit Anggaran

Menanggapi defisit anggaran yang belakang semakin membengkak akibat defisit perdagangan di mana impor jauh lebih besar dibanding ekspor, Tony merekomendasikan agar pemerintah melakukan restrukturisasi utang.

Apalagi dalam waktu dekat banyak utang korporasi maupun pemerintah yang jatuh tempo, jika rekstrukturisasi tidak dilakukan, maka defisit akan semakin membengkak. Restrukturisasi utang bisa dilakukan dengan meminta diskon bunga dan perpanjangan pembayaran utang.

Jika restrukturisasi utang berat dilakukan, maka Tony menyarankan agar pemerintah meminta pinjaman jangka pendek. “Pemerintah bisa memanfaatkan Chiang Mai Initiative (CMI). Ini dilakukan untuk meningkatkan cadangan devisa yang semakin berkurang. Tercatat saat ini cadangan devisa negara yang tersisa adalah US$ 92,7 miliar. Indonesia bisa meminjam cadangan devisa dari negara-negara Asean, China, Korea dan Jepang. Yang paling memungkinkan adalah pinjaman jangka pendek dari China. Cina adalah yang paling potensial karena mereka punya cadangan devisa terbesar yakni US$ 3,3 triliun.” (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved