Management

Revitalisasi Coach

Revitalisasi Coach

Di tengah penjualan yang terus merosot serta kepungan kompetitor, tindakan cepat segera diambil. Merek ini pun siap menjadi lebih hebat.

Jika Anda menyukai tas tangan atau dompet berkelas, tentunya tak asing dengan Coach. Ini merek legendaris dan salah satu ikon Amerika. Yang mungkin tak banyak disadari, termasuk oleh mereka yang menjadi penggemarnya, dalam tiga tahun terakhir merek besar ini tengah merevitalisasi diri, yang jika itu berhasil dilakukan, akan mengangkat dirinya dari posisi “good” menjadi “great”. Ya, Coach berusaha melakukan turnaround untuk menjadi lebih hebat setelah lebih dari tiga dekade menikmati pasar handbag, dompet, serta aksesorinya.

Coach

Tahun fiskal 2017 total penjualan mencapai US$ 4,5 miliar. (Foto https://djx5h8pabpett.cloudfront.net)

Berdiri pada 1941, Coach mulanya hanya sebuah bengkel kecil di Manhattan, New York, yang mempekerjakan 6 orang tenaga penyamak kulit. Mereka membuat dompet dan billfold (tempat kartu nama atau kredit). Masuknya ahli kulit dan produsen bisnis tas tangan kulit, suami istri Miles Cahn dan Lillian ke dalam perusahaan di tahun 1946 membawa perubahan. Dengan pengetahuan produksi dan bisnis kedua suami istri tersebut, Coach pun menjadi lebih modern.

Tahun 1950, Cahn sepenuhnya mengambil alih bisnis Coach. Dengan keahliannya, dia melihat peluang bisnis untuk membuat sarung tangan bisbol dari kulit yang bermutu. Terbukti, produk ini laris. Sementara itu, Lillian muncul dengan ide menambah lini produk untuk wanita, dengan membuat tas tangan kulit. Produk ini juga disambut pasar.

Victor Luis, yang didapuk menjadi CEO Coach pada Januari 2014, berhasil merevitalisasi Coach. (Foto: Fortune.com)

Kontan, duet suami istri ini membawa Coach terkenal di seantero Amerika. Tapi melejitnya merek ini baru terasa di tahun 1961 setelah seorang desainer ternama, Bonnie Cashin, bergabung untuk memperkuat lini produk perempuan. Wanita kelahiran 1915 ini menciptakan apa yang kemudian menjadi ikonik, tas Coach.

Coach pun segera menyeruak sebagai merek mewah. Dompet, tas, money clip buatan Coach menjadi hadiah untuk seseorang yang menyelesaikan studinya atau mendapat kerja pertama. Semua karena desain serta kualitas bermutu. Cashin sendiri hanya sampai tahun 1974 berkarya di Coach. Setelah itu, perempuan yang juga dianggap pelopor desain pakaian olahraga ini aktif lewat yayasannya, Innovative Design Fund yang memberikan bantuan bagi desainer yang ingin mentransformasikan idenya menjadi produk yang bisa dipasarkan.

Ditinggalkan Cashin tidak membuat perusahaan limbung. Richard Rose, VP penjualan yang bergabung di tahun 1965 menjadi pilar perusahaan untuk terus merangsek AS. Richard pula yang disebut berandil membuat merek ini kian populer karena menempatkan produk di dept. store baik di AS maupun di mancanegara.

Terjun Bebas

Tapi bukan Richard yang membawa Coach berjaya. Adalah Lewis Frankfort yang membuat perusahaan berkode COH di Bursa New York ini melambung tinggi. Tak lama bergabung di tahun 1979 sebagai VP Business Development, Frankfort segera menjadi CEO untuk kemudian mengukuhkan diri sebagai legenda. Memimpin selama lebih dari 3 dekade, lelaki kelahiran Bronx ini mengangkat perusahaan ke level lebih tinggi. Di tangannya, pendapatan melonjak dari US$ 6 juta di tahun 1979 menjadi US$ 5 miliar di tahun 2013, meningkat 800 kali lipat.

Namun, memang tak ada yang abadi di dunia ini. Di tengah ekspansi gerai yang terus dilakukan, laju penjualan ternyata menurun. Sejak kuartal akhir 2013, pertumbuhan penjualan terus terjun bebas, bergerak di bawah minus, bahkan hingga minus 21% pada kuartal 3/2014.

Puncak prestasi Coach tercapai pada 2011. Mereka memimpin pasar tas tangan AS dengan pangsa pasar 29,2%, menurut Euromonitor International. Namun setelah itu, masalah membelit. Mereka digoyang para pesaing yang kian agresif dan lincah seperti Michael Kors, Tory Burch, dan Kate Spade. Para kompetitor ini meluncurkan sejumlah produk andalan, terutama tas tangan yang tak kalah cantiknya. Kors, khususnya. Ia menjadi lawan yang agresif. Di mana ada gerai Coach, di situ Kors mendampingi, dan kadang menantang dengan harga lebih miring.

Celakanya, menghadapi persoalan seperti itu, Coach mengambil jalan pintas dengan bermain diskon lewat gerai-gerainya yang tersebar masif. Alhasil, tanpa bisa dicegah, citranya pun merosot. Citra sebagai produk premium tidak lagi dipegang. Coach tampak sebagai merek untuk massal ketimbang merek berkualitas dan elegan seperti yang dirintisnya dulu. Pendek kata, ia kehilangan fokus dan koneksi dengan pelanggan loyalnya.

Yang paling jelek, merek ini bahkan kehilangan distingtifnya. Pada satu kesempatan, para eksekutif Coach menunjukkan sejumlah slide tentang produk Michael Kors, Kate Spade, dan Coach pada karyawannya. Logo masing-masing merek ditutupi, dibandingkan satu sama lain. Setelah itu karyawan diminta menebak produk dengan mereknya. Hasilnya?

Mayoritas ternyata tidak bisa menjawab dengan benar! Mereka sulit menentukan mana Coach dan merek lainnya.

Di sisi lain, beban operasional juga membengkak sebagai buah dari langkah ekspansi yang agresif. Frankfort memang rajin mengepakkan sayap. Bahkan di tahun 2008, di tengah berjalannya resesi lantaran tikaman krisis subprime mortgage, dia melipatgandakan jumlah toko, meluaskan koleksi lower-end dengan tas yang lebih murah, dengan hanya menambah produk diimbuhi logo “C” (adapun logo perusahaan ini adalah sais kuda). Sejumlah factory outlets juga disasarnya yang membuatnya benar-benar jadi merek massal.

Coach tak pernah menjelaskan bagaimana toko-toko itu menghasilkan uang. Tapi tahun 2013, Michael Binetti, analis UBS di Wall Street menyatakan mereka menyumbang 60% penjualan. Segera setelah resesi, lebih dari penjualan datang dari tas tangan yang harganya relatif murah, US$ 200-300. Celakanya, di tahun 2013 itu, pangsa pasarnya di bisnis tas tangan jatuh 12%, sementara Kors menjadi nomor wahid. “Kalau mau lihat pangsa pasar dengan gampang, jalan saja di mal,” ujar Binetti.

Revitalisasi

Dalam kondisi demikian, manajemen merasa perlu bertindak cepat sebelum keadaan jauh lebih memburuk. Kendati menjadi legenda, Frankfort harus dicopot. Pada pergantian tahun, Januari 2014, Victor Luis didapuk menjadi CEO.

Luis sosok yang cukup senior. Dia bergabung pada 2006, mengepalai kantor di Jepang yang merupakan pasar besar Coach di panggung internasional. Setelah itu menjadi komandan untuk divisi internasional. Tahun 2013, dia menjadi orang nomor dua sebelum akhirnya benar-benar menjadi nomor wahid, Januari 2014.

Diangkatnya Luis sebagai CEO membawa harapan baru. Dan benar saja, sejak mengambil alih tampuk pimpinan, lelaki 50 tahun ini mengambil sejumlah langkah yang banyak dilakukan sejumlah CEO industri retail: menjejak keberhasilan masa lampau untuk menolong menghadapi kesulitan masa kini.

Untuk membangkitkan kembali perusahaan yang dipimpinnya, Luis membenahi segala sisi. Yang paling drastis adalah menciutkan bisnis, mereposisi diri sebagai riteler yang lebih kecil dan lebih sehat, sekaligus memprioritaskan kualitas ketimbang mass-market quantity. Maka sejak 2014, perlahan tapi pasti, puluhan toko ditutup, mengakhiri banyak penjualan online, dan mulai membenahi department store untuk produk kelas atas. Di Amerika Utara sebagai sumber pendapatan utama, Coach hanya punya 222 gerai dibandingkan sebelumnya yang sebanyak 354.

Strategi pemangkasan ini ternyata menyakitkan. Penjualan terus merosot, termasuk di wilayah Amerika Utara, yang merupakan pasar terbesarnya, jatuh di atas 20% di tahun fiskal 2014-2015. Total, penurunan nilai penjualan bahkan mencapai puncak kemerosotannya pada kuartal 1/2015, minus 24%. Tak heran, investor pun frustrasi. Bahkan pada hari-hari pertama Luis menutup sejumlah gerai, saham perusahaan ini turun 9% sebagai indikasi ketidakpercayaan.

Melihat itu, Luis segera meyakinkan investor di Wall Street bahwa itu adalah harga yang mesti dibayar. Dan dia berjanji performa akan meningkat sehingga Coach menjadi lebih sehat. Berhasilkah?

Pemangkasan bisnis di awal Luis melakukan revitalisasi memang tak enak. Namun dengan cara ini, pembeli disapih dari diskon besar, yang telah membuat jebakan mematikan buat kinerja penjualan. Dan terpenting, cara ini diyakini sang CEO baru akan membuat perusahaannya kembali ke posisinya sebagai merek premium, bukan produk massal.

Dalam merevitalisasi Coach, Luis dibantu desainer fashion dari Inggris, Stuart Vevers, yang masuk di tahun sebelumnya (2013) sebagai direktur kreatif. Vevers adalah salah satu bintang dunia fashion yang kenyang asam-garam karena malang-melintang di sejumlah nama besar. Dia sempat berkarir di Calvin Klein, Bottega Veneta, Givenchy, dan Louis Vuitton. Dia pernah juga bergabung di Mulberry sebagai direktur kreatif di tahun 2005, bahkan menjadi aktor sukses keberhasilan perusahaan itu dalam mentransformasi diri. Tahun 2006, Vevers diganjar Accesory Designer of The Year versi British Fashion Council. Setahun berikutnya dia menjadi direktur kreatif Loewe sebelum akhirnya mendarat di Coach.

Di tangan Vevers, pembaruan Coach menjadi lebih terarah. Dibuatlah flagship store. Diluncurkan juga jaket kulit yang dibadrol seharga US$ 3.500 yang menjadi penanda kebangkitan Coach. Merek ini menegaskan posisinya: bermain di high-end apparel, yang akhirnya memudahkan mereka untuk menjual produknya di harga premium.

Vevers adalah pekerja serius. Sewaktu ingin mengoneksi ulang DNA Coach untuk produk-produk baru yang akan diluncurkannya, dia mempelajari arsip di lantai 9, markas besar Coach di Manhattan di mana terdapat 28 ribu item yang lahir sejak perusahaan ini berdiri. Diantara yang terkenal adalah tas pramugari untuk United Air Lines. Produk tahun 1981 ini sangat legendaris. Begitu juga tas tangan karya Bonnie Cashien di tahun 1968, Holster yang sederhana tapi menawan. “Ini semua ada sejarahnya, dan inilah mengapa ada kepercayaan,” kata Vevers tentang koleksi Coach.

Sekalipun Vevers orang Inggris, dia punya cita rasa untuk kemewahan Amerika yang menekankan unsur kemudaan dan keunikan dibanding gaya formalitas Eropa. Kebetulan, kurang lebih lima tahun sebelum bergabung Coach, Vevers sering ikut perjalanan Amtrak, kereta Amerika ke pelosok Negeri Abang Sam, mampir ke sejumlah vintage shop di setiap perhentian. “Di situlah secara tak sengaja saya meriset koleksi produk Coach,” ujar sang desainer. Riset itu terbalas: dia diangkat jadi Direktur Kreatif Coach oleh Frankfort dan Luis. Vevers memenangkan pekerjaan itu dengan menyodorkan sejumlah sketsa koleksi jaket baseball.

Selepas dari riset di lantai 9, Vevers lalu berlari cepat untuk merevitalisasi Coach sesuai harapan Luis. Dia memulai lewat pertunjukan di New York Fashion Week 2015 dengan koleksi ready to wear yang kasual. Dua tahun kemudian, dia bahkan memancing komentar kalangan fashionita serta penggemar Coach. Dengan memanfaatkan bahan tumbuhan dan jaket kulit domba, pada Februari lalu Vevers memamerkan tas dokter dari kulit dengan bagian tutupnya seperti mobil vintage. “Ide tentang kemewahan telah banyak bergeser,” dia menerangkan.

Ingin Menjadi Konglomerasi

Catatan penting dan menarik di tengah upaya revitalisasi ini, ternyata Luis bukan semata ingin turnaround. Lebih dari itu, dia ingin membangun Coach menjadi konglomerasi, sebuah arah yang telah ditempuh para pemain di belahan Eropa. Di Eropa, kebanyakan merek mewah menjadi bagian dari konglomerasi. LVMH memiliki Christian Dior dan Louis Vuitton. Kering punya Saint Laurent dan Gucci. Richemont punya Montblanc serta Cartier. Sementara di seberangnya, di AS, kebanyakan perusahaan berdiri sendiri: Tiffany & Co., Ralph Lauren, Michael Kors, dan Coach.

Langkah itu sudah diayun Luis pada 2015. Pada ultah pertamanya sebagai CEO, dengan gagahnya dia mengucurkan US$ 574 juta tunai untuk mengakusisi sepatu mewah merek Stuart Weitzman. Kesepakatan ini kontan membuat Coach jadi pemain serius di bisnis sepatu.

Tapi itu nilai yang kecil. Yang teranyar dan menghebohkan, tentu saja aksinya pada 8 Mei lalu. Luis membawa Coach mengakuisisi Kate Spade dengan nilai transaksi US$ 2,4 miliar. Kepada media, secara terang-terangan, dia menyatakan ingin perusahaannya menjadi konglomerat aksesoris pertama di AS, yang meski dalam bentuk yang lebih kecil mengarah menjadi versi lain dari LVMH atau Kering, atau Richemont, yang portofolionya termasuk sepatu serta high-end apparel, menemani produk leather goods yang selama ini dijual (tas, dompet, dsb).

Stuart Vevers, Direktur Kreatif Coach (foto http://vmagazine.com)

Menurut Luis, berubah menjadi sebuah “house of brands” dapat melindungi Coach dari naik-turunnya bisnis karena tidak bergantung pada sebuah merek. “Akuisisi Kate Spade merupakan langkah penting evolusi Coach sebagai organisasi multimerek dan fokus pada pelanggan,” katanya. Dia memang sering menekankan tentang pentingnya multimerek. “Setiap saat sebuah merek menjadi merek untuk setiap konsumen, dia berpotensi kehilangan keunikannya,” ujarnya berfilsafat menekankan pentingnya Coach memiliki beberapa merek.

Alasan ini tentunya masuk akal. Dan secara portofolio bisnis, Coach juga punya amunisi untuk mengisi kelas yang berbeda serta lebih luas di tengah upayanya kembali sebagai produk premium. Sekadar gambaran, rentang harga tas tangan Coach sekitar US$ 285-US$ 3.000, Kate Spade di kisaran US$ 100-US$ 500, sedangkan bandrol Louis Vuitton US$ 970 – US$ 15.800. Keunggulan Coach dan Kate Spade adalah produknya lebih luas, termasuk pakaian pria, aksesoris, sampai perlengkapan perabot cantik atau homeware.

Kate Spade sendiri adalah merek yang potensial. Dan Luis mengakui bahwa ini merupakan salah satu merek yang powerful dan konsisten di segmennya, yang 60% merupakan generasi millenial. Pasar inilah yang ingin dibidik oleh Coach.

Agar akuisisi ini berhasil, sejumlah rencana sudah dibentangkan Luis. Strategi utama yang akan diterapkannya pada manajemen Kate Spade adalah membuat efisiensi pada lini produksi serta mengurangi penjualan di department store, wholesale dan online flash sale yang terkesan massal. Selain itu, dia juga ingin melakukan ekspansi ke pasar yang belum terlalu disentuh Kate Spade yaitu pasar Asia dan Eropa, sehingga nantinya merek ini akan membuka lebih banyak toko di kedua benua tersebut. Secara global, Kate Spade memiliki 133 toko khusus, 82 gerai, dan 54 toko yang serupa dengan waralaba eksklusif di pasar luar negeri.

(foto https://i-d.vice.com)

Melihat aksi korporasi yang dilakukan, tak heran jika ada yang meyakini Coach punya alat untuk bersaing dengan rival asal Eropa seperti LVMH dan Grup Kering, terlebih mereka juga telah memiliki 75 toko sepatu Stuart Weitzman. Dan keyakinan tersebut pantas terlontar lantaran manajemen Coach sendiri juga tak mau tanggung-tanggung. CFO Coach, Kevin Wills, mengungkapkan akan menggelontorkan US$ 50 juta dalam waktu tiga tahun setelah menyelesaikan akuisisi Kate Spade. Anggaran tersebut, ujarnya, termasuk untuk optimalisasi rantai pasokan dan penghapusan biaya yang tumpang tindih. Namun Coach akan memberi kebebasan kepada Kate Spade dalam membuat desain serta kampanye pemasarannya sehingga posisi merek ini akan tetap independen.

Lantas, di luar langkah akuisisi, bagaimana hasil dari revitalisasi yang sudah dijalankan sejak Luis menjabat CEO? Apakah dia bisa menepati janjinya?

Perlahan-lahan, apa yang dijanjikan lelaki berkepala plontos ini kepada para investor bahwa situasi akan membaik itu tampaknya memang bisa direalisasikannya. Setelah memangkas outlet, mengecilkan diskon, membuat harga lebih premium, kinerja Coach dilaporkan terus membaik. Pertumbuhan penjualan berangsur positif memasuki 2016, melewati ambang minus. Tahun fiskal 2017 total penjualan mencapai US$ 4,5 miliar. “Perusahaan ini jauh lebih sehat ketimbang 2-3 tahun lalu,” puji Craig Johnson dari Customer Growth Partners, konsultan ritel.

Namun demikian, bagi Luis, kondisi sekarang masih jauh untuk mengklaim kemenangan. Masih terlalu dini. Seorang analis Citi menyatakan bahwa angka penjualan itu masih 30% di bawah puncak kinerja Coach sebelumnya. Lagipula perusahaan ini masih meraup pendapatan mayoritasnya masih dari tas tangan. Itulah mengapa akuisisi Stuart Weitzman serta Kate Spade dipandang menjadi signifikan. Lini produk keduanya akan menambah pundi-pundi pemasukan.

Yang menarik, sekalipun proses turnaround ini masih berjalan agar berlangsung kontinyu, di pasar modal rumor terus berkembang. Isinya bukan main: Coach tengah membidik Burberry dan Jimmy Choo. Bila ini bukan hoax dan benar-benar bisa terwujud, Luis memang menunjukkan ambisinya: membuat konglomerat produk mewah di tanah Amerika, bersaing menghadapi gempuran pemain-pemain Eropa. ***


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved