Management Strategy

RPP Tentukan Masa Depan Industri E-Commerce Indonesia

RPP Tentukan Masa Depan Industri E-Commerce Indonesia

Jpeg

Press Confrence idEA

Rancangan Peraturan Menteri Perdagangan mengenai jual beli secara online (RPP E-Commerce) dinilai merugikan para pelaku industri E-Commerce, terutama pemain dalam negeri. Sebelumnya, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) telah menyampaikan pandangan resmi mengenai Matriks RPP E-Commerce pada Kementrian Pedagangan RI. Namun hingga saat ini, belum ada tanggapan dari pihak terkait.

“Ada sekitar 80 garis besar berupa matriks yang diterima oleh idEA mengenai RPP E-Commerce ini, kami diminta untuk mengirimkan tanggapan selama 7 hari oleh Kemendag. Kami meminta perpanjangan waktu selam 30 hari, karena memang harus kami kaji terlebih dahulu. Namun hingga detik ini, kami belum menerima tanggapan dari kemendag,” ujar Budi Gandasoebrata, Wakil Ketua Umum Kebijakan Publik.

Sebelumnya, asosiasi ini telah berulangkali mengajukan keluhan kepada Kemendag yang dinilai tidak transparan dalam menyusun RPP tersebut. Selama 2 tahun bergulir, asosiasi tidak pernah diberikan akses terhadap draft dokumen. Matriks yang diberikanpun dirasa tidak cukup komperhensif. Padahal sangat penting untuk mengevaluasi keseluruhan dokumen secara utuh.]

Dari matriks yang diterima beberapa di antaranya tidak cukup komperhensif karena bukan dalam draf yang utuh. Masih ada beberapa pasal yang dibicarakan,” Sari Kacaribu, Anggota Bidang Kebijakan publik, menegaskan.

Menanggapi hal ini, ada beberapa poin yang dibahas oleh asosiasi. Poin pertama adalah perihal diperlukannya kejelasan batasan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis E-Commerce.

“Bisnis E-Commerce memiliki tingkatan tersendiri. Antara lain pedagang, Penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PTMSE), dan penyelenggara sarana perantara. Harus dibedakan. Contoh, ada orang yang memasang iklan baris di koran Kompas. Lalu ada pembeli. Sang pembeli tidak puas dengan barang. Apakah Kompas yang harus bertanggung jawab?” ujar Daniel Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce.

Poin kedua adalah mengenai kesetaraan penegakan aturan terhadap pelaku usaha yang berkedudukan di dalam wilayah Indonesia dan luar negeri. Apabila pemerintah tidak dapat melakukan enforcement yang seimbang kepada pelaku usaha asing yang berada di luar wilayah Indonesia, pengguna internet tentunya dapat menggunakan solusi lain yang tidak diatur oleh hukum Indonesia.

“RUU E-Commerce mungkin akan berlaku bagi E-Commerce. Namun, bagaimana dengan media lain seperti Facebook dan Twitter. RPP E-Commerce tidak bisa mengikat ke arah tersebut karena basenya bukan di sini. Indonesia mungkin harus mencontoh China atau Amerika. Pertumbuhan E-commerce mereka dapat bertumbuh dengan cepat karena regulasi yang dilakukan tidak mempersulit pertumbuhan E-Commerce. Indonesia sebetulnya sangat memiliki peluang tersebut. Hanya tinggal menunggu waktu saja,” kata William Tanuwijaya, Ketua Dewan Pengawas Asosiasi E-Commerce.

Berikutnya adalah perihal kewajiban untuk memiliki, mencantumkan dan menyampaikan identitas subjek hukum (KTP, Izin Usaha, Nomor SK Pengesahan Badan Hukum) atau yang dikenal sebagai KYC. Dalam hal ini, asosiasi mengusulkan KYC hanya dengan data nomor telepon, karena regulasi pada bidang telekomunikasi telah mewajibkan dan menerapkan KYC terhadap para pengguna nomor telepon.

Selain itu, hingga saat ini belum terdapat sarana yang disediakan pemerintah agar PTPMSE dapat melakukan verifikasi identitas (KTP) pedagang dan konsumen.

“Untuk KYC sebearnya sudah dilakukan sejak dudlu oleh asosiasi e commerce. Namun dipermudah dengan melakukan verifikasi menggunakan nomor HP karena untuk mendirikan badan usaha, KTP, dan NPWP, sudah diurus di instansi lain. Tidak perlu perizinan berlapis. Ini akan memberatkan pelaku usaha E-Commerce, khususnya merket yang bermain di sektor UKM,”Daniel menutup pembicaraan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved