Management zkumparan

Rudy Afandi, “Teknologi Takkan Gantikan Kemampuan Leadership Manusia”

Rudy Afandi, Chief Human Capital Officer XL Axiata
Rudy Afandi, Chief Human Capital Officer XL Axiata

Bukan hanya proses administrastif yang lebih simpel karena adanya perkembangan teknologi yang cepat, tetapi juga proses-proses dengan nilai tambah. Dalam dunia human resources (HR) saat ini, telah berkembang adopsi penerapan gabungan antara artificial intelligence (AI) dan self assessment.

Jadi, proses rekrutmen bukan diambil dari bagusnya track record yang dicatatkan di curriculum vitae, tetapi juga bagaimana calon pekerja berkomunikasi di media sosial. Kini makin banyak tools yang bisa digunakan pelaku HR, sehingga akurasi dan kualitas analisis proses HR lebih tepat. Bahkan, penggunaannya tidak hanya itu. Di PT XL Axiata Tbk., misalnya, di tim sales, ada bermacam tipe area sales. Ada tipe area yang sedang tumbuh, ada yang sudah saturasi.

Misalnya, untuk tim di area Jakarta dan Kalimantan, kami menganalisis orang-orang seperti apa yang dibutuhkan di dua tipe daerah yang berbeda itu. Bahwa proses rekrutmen untuk kedua tim ini bukan sekadar dari proses kertas ke digitalisasi agar lebih simpel, tetapi juga memperhatikan proses yang bernilai tambah, mempertajam proses perekrutan ini.

Dalam hal learning development pun demikian. Kenyatannya, generasi milenial lebih melekat dengan ponselnya. Mereka lebih suka menonton hiburan, video streaming, dan video on demand melalui ponselnya. Maka, dihadirkan proggram-program e-learning dalam pengembangan karier karyawan yang mengadopsi perkembangan ini.

Generasi milienial juga memiliki speed learning yang tinggi, sehingga dibutuhkan organisasi yang terus memacu mereka untuk belajar. Ini juga menjadi cara meretensi mereka untuk tetap berada di organisasi ini. Mereka lebih demanding pada learning organizations yang kuat, fleksibilitas, dan inklusivitas, daripada sekadar remunerasi. Kalau tidak dikasih tantangan, akan cepat bosan. Karena itu, salah satu cara meretensi mereka adalah dengan terus memberikan tantangan, bukan sekadar remunerasi.

Di XL kami juga memberdayakan mereka untuk mengambil keputusan yang tadinya hanya dikelola di HR atau di leader mereka. Contohnya, ada Let’s Learn Program. Dalam program ini, XL Axiata memberikan kebebasan bagi individu di dalamnya agar bisa menggunakan bujet yang disediakan perusahaan untuk mengembangkan dirinya. Bahkan, mereka bisa belajar di luar skill untuk pekerjaannya.

Dengan menerapkan flexible learning, mereka justru makin produktif. Mereka bukan sekadar membutuhkan kebebasan, tetapi melatih memutuskan apa yang terbaik baginya. Ketika mau memilih mengembangkan karier, merekalah yang memutuskan; perusahaan atau HR hanya fasilitatornya. Perilaku tidak dilibatkan dalam memutuskan, menganggap ini bukan isu mereka, ini tidak bisa dipertahankan, tidak bisa untuk menghadapi perubahan yang sangat cepat saat ini.

Tren tersebut akan lebih cepat lagi ke depan. Karena, tren perubahan saat ini bukan lagi linier tetapi eksponensial, mulai dai cara kerja hingga policy. Tren fixed-employment menjadi flexi-employment, apakah itu kontrak atau freelancer, bukan semata karena perusahaan ingin menekan biaya, tetapi karena ini juga membuat perusahaan lebih agile. Dari sisi pekerja, para milenial yang lebih cepat pindah. Selain itu, mereka –dengan in demand skill baru di bidang teknologi seperti cyber security dan developer– lebih haus tantangan dan lebih suka jadi freelancer.

Perkembangan digital yang pesat juga menuntut beragam role atau profesi baru. Salah satunya, tenaga scrume muster dan UIUE (User interface user experience), atau data scientist. Ini membutuhkan skill baru. XL Axiata yang bergerak di dunia teknologi mau tidak mau harus mengejar kebutuhan ini. Bukan hanya mengambil dari luar, tetapi juga mengembangkannya dari dalam.

Kami terus bergerak. Baru beberapa tahun mengembangkan 3G, kini sudah di 4G, bahkan sedang menuju 5G. Turnover teknologi makin cepat. Dibutuhkan tenaga-tenaga dengan skill berbeda, tentunya yang memahami proses yang berbeda.

Namun, menurut saya, meski berkembang pesat, teknologi tidak akan menggantikan kemampuan leadership tenaga manusia. Ada sisi lain yang mereka tidak bisa pelajari di gadget melalui e-learning atau dipercepat belajarnya. Harus belajar melalui pengalaman, dalam tim dengan kompleksitas proyek tinggi. Mereka di sini belajar bagaimana me-manage konflik. Soft skill mereka harus diasah, terutama dalam kerjasama tim.

Dan, kini juga semakin dibutuhkan strategic influencing, bagaimana pemimpin secara strategis memengaruhi stakeholders –employee, business leader, dsb.– untuk bisa berjalan mengikuti perubahan di industri yang cepat ini. (*)

Herning Banirestu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved