Management

Sang Fortnite dari Singapura

Sang Fortnite dari Singapura
Forrest Li Xiaodong, pemilik bisnis Garena, Sea Money dan Shopee.
Forrest Li Xiaodong, pemilik bisnis Garena, Sea Money dan Shopee.

Andai Steve Jobs masih ada, mungkin dia akan tersenyum menyaksikan kata-kata yang dilontarkannya di California pada12 Juni 2005 telah mengantarkan sebuah perusahaan startup berdiri gagah nun jauh di sana, Singapura.

Ya, pada 2005, Forrest Li Xiaodong menghadiri perayaan kelulusan pacarnya (yang kemudian menjadi istrinya), Ma Liqian, di Stanford University. Di tempat itu, Jobs hadir memberikan pidato di hadapan para wisudawan yang akan terus dikenang. Saat itu, salah satu kalimatnya yang menggema ke seantero bumi adalah “Stay hungry, stay foolish.”

Empat kata itu rupanya menetap di benak Li, sekaligus menginspirasinya. Dia ingin menjadi seseorang yang bermakna. Tetapi, ketika itu, belum banyak yang bisa dilakukannya. Selepas dari Shanghai Jiaotong University, lelaki kelahiran 1977 itu juga sedang menempuh studi MBA di Stanford, sama seperti calon istrinya.

Namun, kata-kata itu tetap menetap di benaknya sekaligus mengganggu mimpi-mimpinya. Dia bertekad tak mau lagi bekerja seperti sebelumnya. Saat di China, Li sempat bekerja di Viacom Media Networks, Motorola Solutions Inc., dan Corning Inc. Kata-kata dari Jobs membuatnya tercenung.

“Spirit pidato Jobs adalah kerjakan apa yang benar-benar membuat Anda passionate,” katanya. “(Kalau terus menjadi karyawan) Saya akhirnya menyadari akan seperti apa resume (curriculum vitae/CV) saya dalam lima tahun mendatang, dan saya tidak menyukainya.”

Kesempatan mewujudkan kata-kata itu baru dimulai di Singapura. Dia ingin terjun ke dunia game, sesuatu yang memang disukainya. Saat masih kuliah, Li memang sangat hobi bermain online game di kafe internet, bahkan hingga menjelang subuh. Oh ya, nama Forrest dipilih oleh Li saat dosen Amerikanya di Stanford menyuruhnya untuk memilih nama Barat. Kelahiran Tianjin ini kemudian memilih nama Forrest yang terinspirasi film Forrest Gump. Menurutnya, sosok yang dimainkan aktor Tom Hanks itu adalah orang yang baik.

Setelah meraih titel MBA-nya, Li ke Singapura menemani istrinya yang mendapat pekerjaan di negeri kota tersebut. Sesampainya di sana, dia tak bisa langsung terjun ke dunia game. Dia bekerja lebih dahulu dengan tim digital MTV Network.

Lewat sembilan bulan bekerja dan merasa saatnya telah tiba untuk mengeksekusi cita-citanya, Li pun beralih menjadi entrepreneur. Dia membesut perusahaan pertamanya, GG Game. Dia menjadi pengembang produk single-player gaming. Dengan modal seadanya, dia memulai bisnisnya dari sebuah toko kecil di Maxwell Road.

Kendati baru memulai, langkahnya dilirik pemilik modal. Angel investor datang untuk GG Game, termasuk co-founder Skype, Toivo Annus; Bryan, menantu konglomerat Robert Kuok; dan Kuok Khoon Hong, CEO Wilmar. Sayang, perusahaan ini berusia singkat. Namun dana US$ 1 juta memberi Li amunisi untuk melanjutkan petualangannya berbekal pengalaman serta keberanian, tentunya.

Tahun 2009, pijakan yang kelak melambungkan hidupnya dibuat. Bersama sahabatnya, Gang Ye dan David Chen, mereka mendirikan Garena. Seperti Li, kedua orang itu perantauan China yang menetap terlebih dahulu di Singapura. Chen belajar komputer di National University of Singapore, sementara Ye sekolah di Hwa Chong Institution dan Raffles Junior College (Ye kemudian ke Carnegie Mellon University, belajar ilmu komputer). Keduanya datang mengikuti program Pemerintah Singapura yang merekrut bakat-bakat dari luar negeri lewat program beasiswa.

Garena adalah kependekan dari Global Arena. Diposisikan sebagai “komunitas gamer dunia”, tak perlu waktu lama buat perusahaan baru ini untuk melejit di pentas global. Produk yang dirilisnya, Free Fire (permainan tembak-menembak bergenre battle royale), langsung merebut hati para penggemar game sejak diluncurkan.

“Yang paling menarik dari platform ini adalah begitu kita log-on, kita akan langsung terhubung dengan para gamer yang sedang bermain pada momen yang sama. Mereka datang dari setiap sudut dunia, namun berbagi passion yang sama dalam game ini,” kata Li. Bukan hanya tembak-menembak, melalui platform ini, para gamer juga dapat berbicara, menantang lawan, dan memainkan game favorit secara daring dengan jutaan pemain lainnya. Meminjam bahasa anak-anak muda sekarang, istilahnya “mabar”, main bareng.

Di samping menyajikan jenis game yang menarik, Free Fire cepat populer karena Li meluaskan basis pemain lewat platform downloadable gaming (garena.com). Tak ayal, berawal dari Singapura, permainan ini terus diakses para pengguna secara meluas hingga hadir di lebih dari 130 negara. Mengacu data App Annie, game ini menahbiskan diri sebagai mobile game paling top di Asia Tenggara dan Amerika Latin (kini Free Fire dimainkan lebih dari 100 juta orang setiap harinya).

Kiprah Free Fire segera menarik perhatian Tencent yang menjadi pemilik mayoritas Riot Games, sebuah game developer. Pada November 2010, Garena pun mulai bermitra dengan Tencent, yang memungkinkannya mem-publish game PC milik Tencent, League of Legends, di wilayah Asia Tenggara dan Taiwan.

Menurut Li, langkah itu melambungkan perusahaannya lebih tinggi karena membuatnya memiliki portofolio game PC dan mobile yang kuat, sekaligus memperkokoh posisinya sebagai gaming powerhouse di Asia Tenggara. Selain mendapat lisensi dan hak mem-publish game dari mitra global, Garena juga aktif menggelar event e-sports, terentang dari turnamen lokal sampai kompetisi global.

Kesuksesan Li membuatnya dijuluki media Amerika Serikat sebagai “Sang Fortnite dari Singapura”. Fortnite adalah saah satu game yang paling populer di dunia. Namun, kesuksesan di jagat game rupanya tidak memuaskan Li. Dia tidak ingin Garena cuma menjadi jagoan bisnis dengan satu sumber pemasukan. Hasratnya meletup-letup. Persis seperti yang dikatakan Jobs, “Stay hungry, stay foolish.” Dia masih lapar kesuksesan.

Pandangannya pun segera melihat ada kebutuhan untuk melayani kelas menengah di wilayah Asia Tenggara, khususnya pada akses ke perbankan. Dalam pengamatannya, banyak orang dewasa di sejumlah negara, seperti Vietnam, Indonesia, dan Filipina, yang tak memiliki rekening bank, apalagi kartu kredit. Berangkat dari hal itu, platform berikutnya yang bisa digarap adalah pembayaran (transaksi keuangan).

Maka, dari panggung game, Li menyeberang ke industri keuangan. Lahirlah Sea Money. Didirikan pada tahun 2014, SeaMoney adalah penyedia layanan pembayaran serta jasa keuangan di wilayah Asia Tenggara. Misinya adalah menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi kalangan individual dan bisnis lewat layanan keuangan yang diakses melalui teknologi. Sea Money menawarkan mobile wallet services, payment processing, credit, dan layanan keuangan lainnya.

Sea Money menambah daftar portofolio Li. Langkah ini juga membuat Garena menjadi unicorn pertama Singapura. Valuasinya US$ 1,2 miliar di tahun 2014. Namun, alih-alih kenyang, Li justru makin lapar (hungry). Dia mengepakkan sayap lebih luas. Tahun 2015, dia masuk ke dunia e-commerce dengan meluncurkan sebuah platform lokapasar (marketplace) setelah putrinya bercerita betapa dirinya kangen Taobao, mal belanja online milik Alibaba. Lokapasar ini diberinya nama Shopee.

Seperti bola salju, Shopee segera bergulir menjadi aplikasi lokapasar yang paling banyak digunakan di Asia Tenggara, berbasis pada pengguna aktif bulanan. Dari Singapura, ia melesat cepat, menyalip kompetitornya, seperti Lazada dan Tokopedia, yang diluncurkan tiga dan enam tahun lebih dahulu. Shopee termasuk yang paling banyak diunduh di iOS dan Google Play.

Tahun 2017, di tengah bisnis yang terus menggelinding, Li mengambil langkah penting. Garena di-rebranding-nya menjadi Sea Ltd. setelah mendapat dana US$ 550 juta. Nama ini (Sea), diungkapnya, menggambarkan wilayah operasinya di Southeast Asia (Sea), juga lautan yang menghubungkan Singapura dengan wilayah-wilayah lain di seluruh dunia, yang kemudian disimbolisasi dengan moto “Connecting the dots”, moto yang juga identik dengan Jobs, idolanya, karena juga dilontarkan di Stanford.

Namun, langkah terpenting tentu saja pada November 2017: Sea melantai di Bursa New York. Dengan IPO senilai US$ 884 juta, Li telah membuat Sea menjadi unicorn Singapura yang go public di AS. IPO ini juga membuat nilai Sea mencapai US$ 4,5 miliar, yang menjadikannya sebagai most valuable tech company di Asia Tenggara.

Dari ketiga lini bisnis yang dimilikinya, Sea Money dan Shopee belum mencetak laba. Tahun 2020, Sea Money rugi US$ 520 juta sementara Shopee boncos US$ 1,4 miliar. Adapun Garena terus menjadi bintang: tahun lalu mencetak laba US$ 1 miliar.

Li melihat kerugian Sea Money dan Shopee sebagai batu loncatan untuk melebarkan platformnya. “Secara internal, kami tak melihatnya sebagai kerugian mengingat ini bukan bisnis yang matang. Untuk beberapa bisnis tertentu dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, Anda butuh investasi di depan, kalau nggak, Anda tak akan bisa berkembang. Ukuran (skala) sangat penting,” katanya.

Terlepas dari Garena yang baru mencetak laba sementara dua unitnya masih “membakar uang”, pundi-pundi Li terus gemuk. Dia masuk dalam Singapore Rich List 2020 versi Forbes, dengan kekayaan US$ 5,53 miliar, di atas Gang Ye (US$ 4,3 miliar) dan David Chen (US$ 1,37 miliar).

Sekalipun sudah sukses dan CV-nya pastinya mentereng, Li mengatakan, sebaiknya tidak menilai dari posisinya sekarang. “Kami tidak memulainya dengan mudah,” ujarnya. Dia mengingatkan di tahun 2009 saat dia memulai Garena, dunia masih mencoba pulih dari krisis ekonomi 2008, dan mereka kesulitan mencari modal.

“Sebenarnya, saat itu tak ada yang melihat Asia Tenggara sebagai peluang investasi yang menjanjikan. Sangat berbeda dibandingkan hari ini. Kami di tahun-tahun itu menggunakan uang sendiri, sumbangan keluarga dan teman-teman. Itulah cara kami memulai semuanya,” katanya.

Lantas, apakah Li sudah merasa kenyang?

Tidak. Dia masih lapar. Dia terus berekspasi. Negara-negara di Asia Tenggara terus dirangseknya. Di Indonesia, terutama pada Januari 2021, dia mengambil PT Bank Kesejahteraan Ekonomi yang kemudian diganti namanya menjadi PT Bank Seabank Indonesia. Di tangan Li, bank ini diarahkan menjadi bank digital, seperti juga Sea Bank, yang telah mendapat izin menjadi bank digital di Singapura tahun 2020.

“Stay hungry, stay foolish” tampaknya memang benar-benar terpateri di benak dan hatinya. (*)

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved