Management

Sang Raja dalam Kemelut

Sang Raja dalam Kemelut

Portofolio bisnis yang rontok membuatnya dalam kemelut besar. Dia pun dikritik dan diolok-olok. Kini kemampuannya membalik keadaan begitu dinanti.

Setelah berkibar sekian lama, sang Raja Internet, Masayoshi Son tengah berada dalam kemelut. Bisnis-bisnisnya babak belur. Jumat, 26 Juni 2020, perusahaan induk Son, SoftBank, melaporkan kerugian 2019 mencapai US$ 12,7 miliar, setara dengan Rp 181,2 triliun.

Ini adalah salah satu kerugian terburuk dalam sejarah dunia bisnis. Penyebabnya adalah kegagalan investasi di sejumlah perusahaan. Penyumbang kerugian terbesar Son adalah divisi investasi, Vision Fund 1, yang membenamkan uang di 88 startup unicorn. Son mengaku ada 15 startup miliknya yang ambyar.

Selama beberapa dekade, Son sering dijuluki sebagai genius visioner di dunia TI. Si Tangan Midas. Juga, Raja Internet. Kisahnya yang terkenal tentu saja investasi di Yahoo dan Amazon yang membuatnya menjadi salah satu orang terkaya di Jepang. Maka, menjadi pertanyaan banyak orang begitu mendengar dia merugi begitu besar. Apakah Son yang kekayaan pribadinya mencapai US$ 20,5 miliar itu telah kehilangan sentuhan Midasnya? Begitu pertanyaan yang muncul.

Banyak yang menyebut bahwa pandemi Covid-19 menjadi biang keroknya. Mengacu laporan Barron’s, sekitar 40% startup yang didanai Vision Fund yang bergerak di sektor transportasi dan logistik cukup terpengaruh, seperti Uber yang tahun lalu rugi US$ 2,9 miliar. Begitu pun bisnis yang berada di ekosistem travel, seperti Oyo Rooms dan Klook (travel), menggelepar. Atau sarana kebugaran seperti Gympass (fitness) yang juga remuk karena orang diharuskan social distancing.

Akan tetapi, laporan Barrons’s juga menunjukkan sejumlah startup seperti Wag (perawatan hewan), Brandless (personal care), Zume (robot pembuat pizza), dan Compass (real-estate brokerage) sudah kacau–balau sebelum Covid-19 datang. Begitu pun laporan untuk dua perusahaan investasi SoftBank yang disebut salah kelola, termasuk lantaran lemahnya kontrol Son sebagai investor, yakni One Web dan WeWork.

Maret lalu, OneWeb, perusahaan penyedia jasa internet, mengumumkan pailit. Perusahaan yang dibangun oleh pengusaha dari AS, Greg Wyler, itu sudah bertahun-tahun mengejar target sebagai penyedia internet murah dan berkecepatan tinggi dari luar angkasa. Untuk merealisasikan target itu, dalam beberapa bulan terakhir, mereka meluncurkan 74 satelit internet ke orbit. Mereka juga tengah membangun konstelasi yang mencakup lebih dari 600 perangkat yang diharapkan dapat menyelimuti seluruh dunia dengan jaringan internet.

Masayoshi Son (foto: www.menabytes.com)

Mulanya semua terasa indah. One Web dipandang sebagai pelopor dalam urusan menyelimuti dunia dengan jaringan internet lewat ratusan satelit yang mengorbit hanya beberapa ratus mil di atas permukaan tanah. Son pun menginjeksi uang dengan harapan tinggi.

Akan tetapi, persaingan yang sengit memberikan hantaman keras bagi perusahaan yang berdiri sejak 2012 itu. Mereka harus bersaing menghadapi sejumlah kompetitor, terutama SpaceX Starlink milik jutawan flamboyan, Elon Musk. Tahun lalu, SpaceX mampu mengumpulkan injeksi dana US$ 1 miliar. Dan tahun ini SpaceX berikrar dapat memberikan jaringan internet cepat kepada pelanggannya.

Dibandingkan SpaceX, One Web disebut-sebut kalah di banyak segi. Satelit, ambil contoh. Di samping lebih mahal, setiap peluncuran juga lebih sedikit dan kecepatannya lebih rendah. One Web hanya 34 satelit dengan kecepatan satelit maksimal 400 Mbps, sementara SpaceX bisa meluncurkan 60 satelit dengan kecepatan satelit yang sudah diuji Angkatan Udara Amerika ke pesawat mereka mencapai 610 Mbps. Di luar SpaceX, hadir pesaing lain seperti Amazon, Telesat, serta Apple. Bill Gates pun dikabarkan tengah membangun satelit internetnya. Begitu pun Badan Antariksa Rusia yang menyatakan bakal menguji dua roket baru tahun ini dan melanjutkannya pada 2021.

Dengan kata lain, One Web remuk bukan lantaran corona, melainkan kalah bersaing. Yang paling disoroti adalah WeWork. Didirikan pada tahun 2010 oleh pensiunan militer Angkatan Laut Israel, Adam Neumann, dengan kawannya, Miguel Mckelvey, WeWork dituding sebagai bukti keteledoran Son sehingga merugi besar.

Sejak berdiri, WeWork fokus dalam menyediakan ruang kerja bersama (coworking space), khususnya bagi pekerja freelance serta perusahaan startup yang belum memiliki kantor. Tidak seperti suasana kantor yang monoton pada umumnya, Neumann mendekorasi kantor kerja WeWork secara kreatif: open space dengan cat cerah dan pencahayaan yang nyaman. WeWork juga menyediakan perangkat eletronik yang modern, seperti ruangan video conference hingga printer laser. Ruangan pantry pun dibuat sangat modern dengan konsep ala bar. Alhasil, para penyewa nyaman bekerja di dalamnya dan dapat memilih beragam ruangan yang disediakan, bahkan bisa model custom.

Ditopang pengusaha properti Manhattan, Joel Screiber, yang membeli saham WeWork sebesar 33% dengan harga US$ 15 juta, bisnis yang berawal di distrik SoHo, New York itu terus melangkah maju. Pada 2011, WeWork bahkan meluncurkan WeWork Lab yang menjadi inkubator untuk membantu startup pemula yang ingin fokus membangun bisnis. Setelah itu, membuat berbagai jenis bisnis perusahaan, seperti program Rise by We dengan membuka layanan gym di kantor perusahaannya. Ada pula WeGrow, program sekolah dasar swasta yang berpusat di New York, serta WeLife, layanan yang menyediakan sewa untuk apartemen.

Pergerakan bisnis yang semakin positif akhirnya mengundang investor tertarik membenamkan dananya ke WeWork. Datanglah Wellington Management, Goldman Sachs Group, the Harvard Corporation, Benchmark, dan Mortimer Zuckerman. Son baru masuk tahun 2017, mengucurkan US$ 1 miliar. Setelah itu, pada November 2018 dan Januari 2019 dia menyuntik kembali. Ditaksir sedikitnya sudah sekitar US$ 10,65 miliar dana yang diinjeksikan SoftBank ke WeWork, membuat nilai valuasinya mencapai US$ 47 miliar.

Dengan dana di tangan, WeWork pun kian ekspansif dan jorjoran membakar uang. Ia terus mengembangkan sayapnya ke berbagai negara, tidak hanya di Amerika, tetapi juga Eropa, Australia, Afrika, dan Asia. Total ada 800 lokasi yang dibuka.

Ekspansi gila-gilaan ini membuat WeWork menjadi salah satu perusahaan paling bernilai di dunia dengan karyawan 12.500 orang. Dan, WeWork pun berencana melantai di bursa saham pada September 2019. Sayang, sebelum melakukan IPO, perusahaan ini dihajar krisis. Nilai valuasinya meluncur bebas ke posisi US$ 6,94 miliar. Kok bisa?

Isu governance menyeruak. Salah satunya adalah penggunaan modal investasi yang dilakukan Neumann. Dalam beberapa tahun terakhir, lelaki ini menggembungkan asetnya, di antaranya membeli empat apartemen seharga US$ 35 juta di Manhattan Park, lima rumah elite dengan harga sekitar US$ 10,5 juta, dan jet Gulfstream senilai US$ 60 juta untuk WeWork. Dia juga kerap pelesiran ke kota-kota besar untuk urusan pribadi. Yang parah, dia juga sering mengonsumsi ganja serta alkohol, dan senang berpesta. Uangnya? Diduga dari injeksi para investor.

Son sebagai investor terbesar memang mengambil langkah dengan memberhentikan Neumann, menggantinya dengan Artie Minson dan Sebastian Gunningham yang berpengalaman di sejumlah perusahaan teknologi. Dia juga mengaku telah keliru dalam bertindak. “Bodoh sekali saya berinvestasi di WeWork. Saya salah,” ujar Son.

foto: wework.com

Kendati begitu, tak sedikit yang mengkritiknya. Tim Culpan dari Bloomberg menyebut ketidaksabaran dan kenekatan Son, yang mendorong WeWork ngebut melebihi rencana pengembangan perusahaan dengan cara membakar uang, sangat tidak bijaksana. Culpan menyebut tindakan ini membuat para pengelola perusahaan terdorong untuk berani membakar uang tanpa banyak pikir.

Yang juga dikritik Culpan adalah gaya para venture capitalist (VC). Menurutnya, gaya para VC di era dotcom memang berbeda. Dulu mengucurkan dana tanpa memedulikan profitabilitas sepanjang valuasi pasar tinggi untuk kepentingan IPO. Hari-hari ini, ideologi itu telah berganti. Profitabilitas penting.

Memang, Culpan melanjutkan, kenyataan itu tidak berarti startup harus langsung mencetak laba. Akan tetapi, mereka harus mampu mengembangkan model bisnis untuk membuka jalan bagi datangnya laba. Dan di sinilah, Culpan menandaskan, seharusnya para VC bukan hanya bertindak sebagai cheerleader untuk perusahaan portofolionya. Mereka juga harus memberikan saran kapan harus bergerak pivot, membunuh produk, dan menjualnya ke rival. “Vision Fund bertindak seperti ibu-ibu yang mendukung anaknya main bola. Mereka bertindak diam ketika anaknya hebat di lapangan. Dia ingin dunia tahu kehebatan anaknya. Namun, dia berteriak ke pelatih ketika anaknya dibangkucadangkan,” papar Culpan.

Sekalipun didera impitan besar, Son sendiri tampak masih percaya diri mampu mengatasi keadaan. “Saat awal-awal internet, saya juga dikritik,” ujarnya kepada Forbes beberapa waktu lalu. “Dari sudut taktis, saya membuat sejumlah penyesalan… namun secara strategis, saya tak berubah.”

Lelaki yang kehilangan miliaran dolar ketika dotcom meletus 20 tahun lalu ini sekarang bekerja keras untuk meyakinkan investor SoftBank. Salah satunya, mengingatkan bahwa SoftBank tak ubahnya angsa bertelur emas. “SoftBank adalah angsa dengan banyak telur emas,” ujarnya. “Sekarang SoftBank dinilai lebih kecil dibandingkan jumlah seluruh telur emasnya,” dia menambahkan dengan nada ringan.

Rasa percaya diri lelaki 63 tahun ini memang besar karena pengalamannya yang panjang. Pengamat pun terbelah dalam meneropong kemampuan Son membalik keadaan. Yang pesimistis melihat faktor pandemi Covid-19 yang memukul banyak sektor akan menjadi tebing yang terjal untuk didaki. Bahkan, ada yang mengolok-olok, mengubah SoftBank menjadi “SoftBankrupt”. Namun, yang optimistis melihat Son adalah sosok yang piawai membalik kemelut menjadi keuntungan. Mana yang benar, masih ditunggu jawabannya. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved