Management

Strategi Holistik Jodjana Jody Menavigasi ACC

Strategi Holistik Jodjana Jody Menavigasi ACC

Perlambatan ekonomi yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir telah melanda berbagai sector, termasuk di antaranya perusahaan pembiayaan. Selain penurunan pendapatan sebagai akibat dari perlambatan penjualan otomotif, tingkat kredit macet (NPL) konsumen perusahaan pembiayaan pun meningkat. Alhasil sejumlah perusahaan pembiayaan harus melalui masa kritis akibat permasalahan keuangan yang menimpanya.

Jodjana Jody (berbatik merah), tengah berbincang dengan manajemen ACC lainnya.

Seperti yang dipaparkan oleh Jodjana Jody, CEO PT Astra Credit Companies, tingkat kredit macet (NPL) di industry pembiayaan semakin mengkawatirkan. Pada tahun 2015 tingkat NPL industry pembiayaan baru di angka 1,5%. Namun pada akhir tahun lalu angkanya telah melonjak dua kali lipat lebih mencapai 3,2%. Bahkan sekarang nilainya mencapai 3,4%. “Kalau naik terus, artinya industri lagi sakit,” papar pria yang akrab disapa Jody itu kepada wartawan di Taigi Restaurant, Plaza Bapindo, Jakarta, pertengahan Juni lalu.

Dengan kondisi ini dirinya pun lebih menekankan pada kestabilan kondisi perusahaan ketimbang jor-joran menggenjot pendapatan perusahaan di tengah ketidakpastian kondisi pasar. Adapun nilai NPL ACC sendiri sejatinya masih sangat aman, berada di angka 0,7%, jauh di bawah nilai NPL industri. “ Jadi dalam bisnis ini kita tidak boleh membabibuta menggenjot pendapatan. Dalam merancang pertumbuhan kita sangat menekankan pada kemampuan membaca segmen dan pasar,” paparnya.

Dirinya pun memilih untuk menggunakan pendekatan holistik dalam merancang pertumbuhan ACC, yakni dengan melihat dampak sebuah strategi dari berbagai sisi. Sebagai contoh, ketika Otoritas Jasa Keuangan mendorong perusahaan pembiayaan untuk mendiversifikasi bisnisnya, ACC pun menelaahnya dengan sangat cermat.

Salah satu wujud kepatuhan ACC terhadap OJK adalah dengan memberikan kredit multiguna kepada para pengusaha yang hendak membangun diler otomotif. Ditambah lagi sesungguhnya ACC telah ikut terjun ke bisnis pembiayaan property dengan memberikan kredit pemilikan apartemen untuk apartemen Anandamaya Residences, milik grup Astra. “Kami masuk ke bisnis KPR pelan-pelan. Kami juga tengah penjajakan dengan bisnis Summarecon untuk pembiayaan KPR-nya,” urai Jody.

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, Jody mengaku pihaknya harus ekstra hati-hati lantaran tak ingin bernasib malang seperti beberapa perusahaan sejawatnya. Ditambah lagi, bisnis KPR yang tengah dijajaki merupakan ladang baru bagi ACC, meskipun sama-sama berada di industry pembiayaan.

ACC sendiri telah berada di industry pembiayaan otomotif selama 35 tahun. Dengan demikian ACC hapal luar kepala proses bisnis di industrinya, dari mulai perolehan nasabah, sampai proses penyelesaian jika konsumen mengalami gagal bayar. Jody pun memberikan contoh gamblang. Saat ini dalam sebulan ACC melakukan penarikan 2 ribu mobil konsumennya yang mengalami kredit macet. Meski demikian, ribuan unit mobil yang ditarik itu bisa ‘diselesaikan’ hanya dalam waktu dua minggu melalui mekanisme lelang.

Jody blak-blakan mengakui, keahlian sedalam itu belum dimiliki pihaknya di industri KPR. Karena itu ACC harus ekstra hati-hati dalam melangkah. “Jadi sebelum kami memberikan KPR, kami harus sudah memahami cara penarikan unitnya jika terjadi masalah. Sehingga pendekatan strategi kami harus holistik. Ini berbeda dengan menjual mobil yang begitu terjual langsung tercatat sebagai keuntungan. Di industri pembiayaan, pemberian kredit artinya perjalanan baru dimulai. Untungnya baru bisa dicatat 2-5 tahun ke depan,” ujar Jody panjang lebar.

Adapun strategi lain yang ditempuh dalam masa ketidakpastian saat ini yakni dengan memperkuat tim penagihan. Prosedur baku (SOP) dalam penanganan kemungkinan kredit macet pun telah ditetapkan. Langkahnya, jika terjadi keterlambatan pembayaran 1-7 hari akan ditangani melalui telepon. Jika berlanjut hingga 30 hari maka akan ditangani oleh junior collector. Jika keterlambatan pembayaran mencapai 30-60 hari penanganannya meningkat oleh recovery officer. Adapun jika keterlambatan mencapai puncaknya 90 hari lebih, maka remedial officer akan bertugas untuk menangani pengembalian asset dari konsumen.

Hasil dari berbagai strategi yang ditempuh ACC pun terlihat positif. Pembiayaan kendaraan baru dan bekas ACC hingga Mei 2017 mencapai Rp 12,2 triliun, meningkat 14 % dari tahun sebelumnya. Porsi terbesar sendiri masih disumbangkan pembiayaan mobil baru yang mencapai 81%.

Sementara pasar pembiayaan terbesar, atau 55% berasal dari segmen bawah. Rinciannya pembiayaan mobil low cost green car (LCGC) sebesar 25%, dan low MPV 30%. “Dalam 3 tahun terakhir, LCGC keluar pertama pada 2014, waktu itu market-nya 7%. Kemudian sekarang naik sekitar 26% per Mei 2017. Jadi, naiknya cepat sekali,” ungkapnya.

Keberhasilan itu pun sebagian ditunjang dengan berbagai paket yang ditelurkan ACC demi menggaet segmen tersebut. Di antaranya paket uang muka (down payment) Rp6 juta – Rp10 juta. “Jadi sekarang DP-nya kecil-kecil. Karena memang pasar terbesar ada di segmen ini,” ujar Jody.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved