Management zkumparan

Susanty Widjaya, Naga Ketiga Restoran Bakmi Naga

Susanty Widjaya, Naga Ketiga Restoran Bakmi Naga

Mitos populer yang melekat pada perusahaan keluarga: generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkan. Mitos ini boleh jadi mendapatkan pembenaran mengingat fakta bahwa hanya segelintir perusahaan keluarga yang mampu bertahan hingga beberapa generasi. Dan, memang faktanya dibutuhkan stamina dan daya juang tinggi agar lolos melewati jebakan-jebakan maut bisnis keluarga.

Susanty Widjaya

Soal passion, tentu saja sudah terasah sejak kanak-kanak. Susan yang lahir di Jakarta 42 tahun lalu tumbuh di lingkungan usaha bakmi. Dia menyaksikan bagaimana Resto Bakmi Naga dimulai dari usaha kuliner kaki lima sang nenek, Nyonya Liong –dalam bahasa China berarti naga– tahun 1979 di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Usaha ini kemudian berkembang hingga berhasil membuka Resto Bakmi Naga yang akhirnya menjadi usaha turun-temurun dari generasi ke generasi.

Nah, di tangan Susan, ibu dua putra yang menyelesaikan pendidikannya di Ohio University (S-1) dan Marian University (Associate Degree) ini, bisnis resto ini dilanjutkan dengan inovasi membangun jaringan waralaba (franchise) sebagai penggerak utama pengembangannya.

Bersyukur, keluarga menyambut baik tawaran Susan. Barangkali karena keluarga tahu bahwa sebelumnya dia 13 tahun bergabung dengan sebuah lembaga kursus bahasa Inggris yang juga menjalankan sistem waralaba, sehingga mereka memercayainya. Apalagi, sebagai salah satu board of director, Susan mengerti betul hal apa saja yang harus dibuat, bagaimana memiliki standardisasi jika perusahaan ingin diwaralabakan, dan seterusnya.

Dimulailah kiprah perempuan aktif yang ketika SMA mengikuti program pertukaran siswa ke Amerika Serikat ini. Dia mengurus sendiri semua proses waralaba yang dibutuhkan. Dia membuat sistem dan prosedur (sisdur) franchising, lalu membuat SOP karena dulunya ini perusahaan keluarga yang masih belum memiliki standardisasi yang baku. Mulai dari dapur hingga pelayanan semua distandardisasi. Antara lain, dulu tidak menggunakan sendok takaran, sekarang sudah pakai. Lalu dari pelayanan, salam dan etika pelayanan lainnya juga dibakukan.

Susan pun melakukan beberapa perubahan layout dan desain, seperti mengubahnya ke gaya minimalis modern. Dia juga mengurusi SDM hingga ke perekrutan dan pelatihan, serta merejuvenasi logo dengan tambahan kata “Resto” dan “Express” khusus yang franchising.

Tidak berhenti sampai di situ, sebagai kelanjutan program waralabanya, Susan yang tahun lalu mendapatkan gelar CFE (Certified Franchise Executive) dalam penyelesaian materi waralaba atau franchising ini juga membuat second brand dengan nama Mie Kota Batavia yang baru dibuka di dekat Gedung WTC. Segmen yang dibidik Mie Kota Batavia ialah di bawah segmen Resto Bakmi Naga Resto. Bakmi Naga merupakan merek premiumnya dan Mie Kota Batavia menjadi merek UKM-nya.

Setelah waralaba restonya dibuka pada 2010, total gerai resto Bakmi Naga kini kurang-lebih ada 100: 70 gerai waralaba dan 30 gerai milik sendiri/keluarga besar. Sejauh ini Resto Bakmi Naga sudah ada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, sampai Ternate. Yang belum ada, di Lombok dan Papua. Adapun menunya terdiri dari 200 masakan, meski awalnya hanya bakmi dan bihun.

Setelah sukses membangun restonya, gairah Susan disalurkan dengan membangun kedai kopi, Batavia Cafe, di Lotte Mall Bintaro. Alasannya bukan karena dia penggemar kopi, melainkan karena dia gemas melihat banyak kalangan suka menikmati kopi di brand asing. “Padahal, negara kita merupakan negara terbesar keempat penghasil kopi di dunia. Kopi kita juga tidak kalah dengan kopi-kopi negara lain, dan banyak didapatkan dari Sumatera hingga Papua,” kata Susan menyesalkan. Sehingga, dia pun mewujudkan usaha yang bercirikhas Nusantara dengan mengangkat berbagai kopi dan masakan di negeri ini. “Batavia Café yang buka pada 28 Februari 2018 diresmikan oleh Pak Arief Yahya, Menteri Pariwisata Republik Indonesia,” lanjut Susan bangga.

Selain kafe, kini dia juga membuka Resto Crispy Duck Bebek Garing bersama mitranya. Pertama buka di Bali pada 26 Mei 2018, dalam waktu singkat Crispy Duck Bebek Garing sudah ada di Ciwalk Bandung, Summarecon Gading Serpong, Karawaci, Lebak Bulus, dan Lippo Mall Puri, dan segera dibuka di beberapa tempat lain.

Melihat sepak terjang Susan menjalankan bisnis Resto Bakmi Naga, Jahja B. Soenarjo, Direktur Direxion Strategy Consulting, memuji ketangkasannya mengadopsi

sistem waralaba sebagai strategi pengembangan bisnis jalur cepat. Hanya saja, yang harus dicermati, pemain waralaba lokal umumnya lemah dalam hal franchisee sustainability dan management control, sehingga pembeli waralaba banyak yang berguguran karena merugi akibat manajemen yang lemah, lokasi yang salah, atau pengawasan dari prinsipal yang kurang, bahkan nyaris tidak ada. “Ini yang juga memang harus diperhatikan oleh pemain seperti Bakmi Naga, apalagi harus berhadapan dengan pemain-pemain global yang memiliki sistem yang sudah baku, teruji, dan konsisten,” kata Jahja menegaskan.

Yuswohady dari Inventure menambahkan, di samping pengembangan gerai, Resto Bakmi Naga juga harus memperhatikan pengembangan merek. Untuk tumbuh memiliki puluhan gerai, harus ada fondasi yang kuat, terutama fondasi pada merek. “Saya khawatir, kalau brand suatu franchise tidak kuat, ke depannya akan gagal,” ujarnya.

Yuswo yakin, jika ekuitas merek sudah kuat, akan mudah mengembangkan waralaba tersebut. “Sumbangsih terbesar dari Bu Susan adalah membangun sistem dan prosedur, di mana kinerjanya juga dapat dilihat dari standar makanannya yang sekarang ada lebih dari 250 masakan dan kemudian standardisasi pada interior maupun eksterior. Itu harus dijaga dengan fondasi merek yang kuat,” kata Yuswo yang optimistis Susan dapat melakukannya.(*)

Dyah Hasto Palupi/Chandra Maulana


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved