Management Editor's Choice Strategy

Terobosan Maya Watono di Grup Dwi Sapta

Terobosan Maya Watono di Grup Dwi Sapta

Berawal dari coba-coba, Maya Watono akhirnya tertarik untuk bergabung secara purna waktu dengan Grup Dwi Sapta setelah ditawari sampai dua kali oleh Adjie Watono, ayahnya yang sekaligus pendiri Dwi Sapta. Tidak banyak kerikil tajam ketika Maya masuk dan mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan di Dwi Sapta. Dengan usia relatif mudah, ia bisa diterima oleh awak lama Dwi Sapta dan dapat melakukan penyesuaian di sana-sini agar Dwi Sapta bisa berlari lebih kencang.

Maya Watono, Grup Dwi Sapta

Maya Watono

Setelah sempat tinggal selama sekitar 10 tahun di Australia untuk sekolah dan bekerja, pada 2006 Maya Watono kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Dwi Sapta pada 2006. Sebelumnya, sejak lulus sekolah menengah pertama, Maya tinggal di Australia. Ia juga sempat bekerja di Palang Merah Australia sebagai guru bagi anak-anak cacat dan ahli psikologi serta manajer kasus pemasaran di Commonwealth Government’s Autism Association of Western Australia.

Maya bercerita bahwa sebenarnya Adjie Watono menawari Maya bergabung sejak ia lulus. “Sebenarnya Pak Adjie menawarkan untuk bergabung dengan Dwi Sapta sejak saya lulus. Namun saya belum mau kembali, ingin bekerja dulu. Akhirnya setelah bekerja dua tahun, saya ditawari kembali ke Dwi Sapta. Pak Adjie mengatakan jika tidak tertarik boleh kembali lagi ke Australia. Kemudian saya pikir apa salahnya saya mencoba, karena saya juga anak pertama. Bisnis yang sudah dibangun ini, jika tidak ada penerusnya, berarti selesai begitu saja. Kan sayang,” cerita Maya, kepada Denoan Rinaldi dari SWA.

Pada akhir 2006, Maya datang ke Dwi Sapta dan melihat-lihat kondisi Dwi Sapta selama sekitar 2 bulan. Pada 2007, Maya langsung terjun ke Dwi Sapta. Kebetulan saat itu Dwi Sapta baru membuka agensi iklan baru, Main Ad, yang baru berdiri pada pertengahan 2005. Untuk pertama kali, Maya diterjunkan di Main Ad ini. “Jadi saat 2006 akhir, ketika saya datang, Main Ad baru mulai,” katanya. Maya bercerita, ketika itu Main Ad masih menyusu ke Dwi Sapta. “Saat itu klien masih diberi oleh Dwi Sapta, yaitu Sido Muncul. Billing Sido Muncul saat itu baru Rp 15-20 miliar,” ungkap Maya.

Ketika Maya datang ke Main Ad, billing-nya masih sekitar Rp30miliar. “Masih kecil (dengan billing sebesar itu),” kata Maya. Ketika diterjunkan di Main Ad, Maya bercerita bahwa di sana masih belum ada leader. “Belum ada bentuk dan karyawan saat itu tidak sampai 30 orang, sekitar 20-an orang,” kata Maya. Dengan kondisi itu, maka Maya memiliki ruang gerak yang cukup luas yang berdampak positif terhadap pembangunan yang relatif lebih mudah dan cepat.

“Ketika saya masuk ke sana, saya coba bangun tim, people, sistem, dan segala macamnya. Pertumbuhannya juga cukup bagus, di mana pada tahun pertama pendapatannya masih Rp30 miliar, pada 2012 pertumbuhannya 10 kali lipat. Pertumbuhan yang cepat itu karena kami memiliki basis kostumer dari Dwi Sapta, jadi kami juga bisa menyusu ke grup,” ia menerangkan.

Setelah dirasa sudah bisa memegang Main Ad dan In Ad, pada 2008 Maya pun diminta untuk memegang Netracom Neopost, yang didirikan sejak 1995. Kemudian, pada 2009, ia juga diminta untuk memegang DSP Media, unit bisnis Dwi Sapta yang menangani media buying. Wewenang dan tugas yang didapatnya secara bertahap merupakan suatu hal yang positif bagi Maya. “Bisa dikatakan, tahapan dalam memegang wewenang yang saya alami, cukup bagus karena saya dapat mempelajarinya satu per satu. Untuk Netracom saya juga berusaha untuk membuat perubahan-perubahan, seperti sistemnya dan lainnya sehingga sumber dayanya lebih baik lagi,” jelasnya.

Di DSP Media yang sudah berdiri cukup lama, Maya mengaku banyak melakukan perubahan dan penyesuaian karena memang ukuran bisnisnya yang sudah besar. “Bagaimana sesuatu yang sudah besar masih bisa lari,” tegasnya menjelaskan. Maya mengatakan bahwa kunci untuk melakukan perubahan itu adalah adaptasi, baik dari internal (para karyawan) maupun Maya sendiri. “Culture shock pasti ada. Namanya orang sudah tinggal di suatu tempat 10 tahun, terutama normative years dari puber sampai dewasa,” tambahnya menerangkan.

Namun, Maya menekankan bahwa dirinya merasa cukup beruntung karena dirinya tidak terlalu banyak mengalami kendala ketika masa awal bergabung dengan Dwi Sapta. “Saya tidak sampai mengalami clash dengan senior. Saya merasa hampir tidak sama sekali menemukan itu. Malah saya merasa sangat didukung,” ungkapnya. Menurutnya, dirinya sebagai next generation yang melanjutkan kepemimpinan generasi sebelumnya, harus menghargai semua karyawan dan melihat kapabilitasnya masing-masing.

“Jika memang tidak benar, baru kita beri tahu. Namun harus dilihat dulu. Perbedaan (dalam hal kultur) bukan berarti jelek. Kalau tidak ada yang perlu diubah, maka tidak usah dibenarkan, di-otak atik lagi. Siapa bilang saya yang dari luar negeri, lebih pintar dan lebih baik dari karyawan yang ada? Tidak juga. Kami hanya punya cara pandang yang berbeda dan belajar dengan cara yang berbeda sehingga sistemnya yang kita pikirkan juga berbeda. Tapi bukan berarti lebih bagus atau lebih jelek. Itu hanya perbedaan kultur, cara pandang, dan lainnya,” paparnya.

Dalam menerapkan perubahan, Maya mengaku tidak pernah melakukannya secara radikal. Menurutnya, perubahan secara radikal akan mengacaukan perusahaan secara kultur. “Biasanya saya melihat kondisinya terlebih dulu. Jika memang perlu dilakukan perubahan, saya akan melakukan perubahan, namun saya melakukannya tidak secara radikal,” ungkapnya. Perubahan secara radikal dianggapnya sebagai hal yang sangat berisiko. Menurutnya, bisnis agensi merupakan bisnis ide di mana ide-ide itu hanya dimiliki oleh manusia, orang-orang.

“Kami bukan menjual barang dan bukan pabrik. Kami yang berjumlah sekitar 400 karyawan, tidak menjual produk. Yang kami jual hanya ide di mana berasal dari berbagai macam orang dengan karakternya masing-masing. Itu yang harus kita hargai. Kalau saya melakukan perubahan radikal, maka mereka pasti akan melakukan perlawanan. Bukan berarti kami (next generation) tidak bisa menggoyahkan atau mengubah sistem yang sudah ada. Perubahan itu bagus. Namun perubahan yang seperti apa?,” ungkapnya lagi.

Alasan lain Maya tidak melakukan perubahan secara radikal ialah karena ia tak mau merusak legacy yang telah dibangun generasi pertama (ayahnya). “Jadi rusak karena saya tidak mau peduli. Pasti ada sesuatu yang bagus dari legacy itu yang harus saya pelajari. Maka dari itu, karyawan kami banyak yang bekerja lebih dari 20 tahun. Mereka-mereka ini tetap harus saya hormati,” ungkapnya yang mengaku bahwa dirinya juga memiliki kekhawatiran ketika ia baru bergabung dengan Dwi Sapta dengan posisi yang cukup tinggi.

Sebagai anak pemilik perusahaan, Maya mengaku tekanan batinnya cukup berat. Ia mencoba membandingkan dengan perjuangan ayahnya ketika membangun bisnis itu dari nol. Membangun bisnis dari nol adalah suatu hal. Namun mempertahankan bisnis yang sudah besar dan mengembangkannya untuk menjadi lebih besar lagi adalah hal lain lagi yang sama sulitnya, bahkan lebih sulit. “Membangun sesuatu bukan berarti gampang. Membangun dari nothing ke something membutuhkan usaha yang luar biasa, tapi tidak ada tekanan, tidak boleh gagal. Untuk generasi kedua, tekanannya adalah harus lebih baik dari capaian generasi sebelumnya. Pilihannya harus terus naik. Tekanannya cukup tinggi,” Maya menuturkan.

Dalam memimpin perusahaan ayahnya, selain mendapat mentoring dari ayahnya, Maya juga menyebut Tagore Natadiningrat, Executive Creative Director Dwi Sapta, sebagai second father figure di Dwi Sapta. Mengenai mentor, lebih jauh Maya mengatakan bahwa ia tidak menjadikan satu atau dua orang sebagai mentor. Ia menganggap semua orang di kantornya sebagai mentornya karena melalui semua orang itu ia bisa belajar.

“Menurut saya, semua orang adalah mentor saya. Saya bisa belajar dari semua orang. Jadi mentor saya bukan A, B, dan C saja. Tapi dari kebaikan dan kesalahan siapapun saya bisa belajar. Bahkan dari OB pun saya bisa belajar. Ini bukan mentoring dan lebih ke learning process. Tiap hari kita harus belajar, tidak peduli itu dari siapa. Kalau saya hanya belajar dari satu orang, maka gayanya akan begitu-begitu saja. Jika saya belajar dari banyak orang, maka kita akan kaya,” katanya.

Bergabungnya Maya di Dwi Sapta tidak hanya sekadar meneruskan apa yang sudah ada sebelumnya. Ia juga melakukan beberapa perubahan dan terobosan. Di DSP Media, ia membenahi sistem dan teknologi informasinya. Selain itu, dan juga yang utama, ia melebur tiga divisi dan menjadikan tim-tim kecil. Hal ini ia lakukan untuk membuat DSP dapat bergerak lebih cepat. Tiga divisi itu adalah Divisi Media Planner, Media Buyer, dan Media Monitoring. Dari tiga divisi itu dipecah menjadi enam tim yang masing-masing timnya menjalankan semua fungsi tiga divisi itu dan bertanggung jawab terhadap seluruh portofolio brands yang ada 150 brands. “Jadi masing-masing tim memegang sekian brands,” tambahnya lagi.

Sebelumnya, dijelaskan Maya, dengan tiga divisi itu, alur kerjanya dimulai dari Media Planner, diteruskan ke Media Monitoring, dan kemudian ke Media Buyer. Dengan mekanisme seperti ini, lanjutnya, jika terjadi kesalahan, maka tiap divisi akan saling menyalahkan dan sulit merunut akar permasalahannya. “Nah, sekarang mekanismenya tidak seperti itu. Masing-masing tim, yang terdiri dari 6 tim tersebut bertanggung jawab terhadap proses planning, monitoring, dan buying terhadap jumlah brands tertentu. Jadi jika terjadi kesalahan atau ketidakjelasan, maka yang bertanggung jawab adalah team leader atau manajer tim itu,” ungkapnya. Ia menambahkan, dengan terobosan ini, billing DSP Media naik 25% karena bergerak lebih cepat.

Di Grup Dwi Sapta sendiri, Maya juga melakukan terobosan. Pada 2011, pihaknya memperkuat divisi strategic planning. “Jadi, saat ini kami memiliki Divisi business development, strategic planning, dan riset. Dari divisi-divisi itu kami memperkuat di divisi strategic planning dan divisi ini dibuat menjadi pusat semua informasi dibanding sebelumnya di mana masing-masing bergerak sendiri-sendiri,” paparnya yang juga mengatakan, perubahan yang sudah bisa dilihat, yaitu kualitas produk yang meningkat. Di Main Ad, Maya melakukan peremajaan sumber daya manusia. Hampir semua karyawan berusia di bawah 35 tahun. “Hal ini dilakukan agar MainAd lebih dinamis dan bergerak lebih cepat,” tuturnya lagi.

Ke depannya, Maya masih fokus untuk menyelesaikan pembenahan Divisi Strategic Planning di Dwi Sapta. “Karena baru mulai pada 2011, maka pada tahun ini kami terus fokus untuk melakukan ini. Saat ini sudah kami rekrut orang baru untuk memperkuat tiga divisi di grup ini. Hal ini dilakukan agar hasilnya lebih baik dan pesan yang disampaikan melalui iklan lebih tepat dan jitu. Untuk mencapai hal ini, maka kami harus perkuat proses di belakang hasil tersebut, seperti riset untuk medapatkan consumer insight yang kuat, lalu diterjemahkan ke strategic planning, dan kemudian ke kreatif. Itu yang kami perkuat agar kualitasnya lebih baik,” paparnya.

Mengenai penguatan Divisi Strategic Planning dan tim lainnya, Maya mencontohkan mengenai creative brief. “Sekarang kami membuat creative brief yang semua orang bisa isi dengan baik agar jelas. Form-nya kami perjelas, template-nya kami buat standar agar kualitas terjaga, orang-orangnya, dan struktur kami benahi. Selesainya pembenahan ini merupakan target pada 2013,” tutur Maya lagi.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved