Management Editor's Choice Strategy

The Duck King: Resto Bebek yang 'Maknyus'

The Duck King: Resto Bebek yang 'Maknyus'

Resto bebek The Duck King sangat digandrungi para pelanggannya. Mereka rela antre berjam-jam untuk menikmati kelezatan makanan yang disajikan resto ini. Apa rahasia suksesnya? Dave Lau, GM The Duck King Group, dan Susi Suwarni, Manajer Pemasaran The Duck King Group, mengungkapkannya kepada Herning Banirestu:

Bagaimana sejarah dan latar belakang The Duck King Group?

Dave Lau

Sejarahnya sudah lama, sudah 10 tahun. Saya sendiri bukan dari Indonesia, tapi orang Malaysia. Tapi restoran ini asli Indonesia. Namun hampir sebagian besar yang mendukung pendirian awal, koki-kokinya adalah mereka yang pernah bekerja dengan perusahaan, hotel atau restoran asing atau multinasional. Dua bulan kami bicarakan sambil makan kira-kira apa yang bisa dibuat yang belum ada di sini. Dari pengamatan kami yang diskusi kebanyakan adalah koki, ternyata dalam setiap pesta pernikahan sajian bebek paling laris. Maka kami buka restoran khusus bebek di STC (Senayan Trade Center) di lantai 6,5 pada awal 2003.

Ternyata sambutannya bagus, kami pun lalu buka cabang di Jakarta Kota, lalu ke Surabaya, kemudian di Pondok Indah. Sejak dibuka kami menggunakan koki-koki utama, semua memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Ada koki masak, koki dim sum, koki barbeque dan saya yang mengelola dan menjalankan ini semua dari pertama. Semua ada lima koki yang terlibat waktu awal berdiri.

Kami memang sangat serius memikirkan konsep restoran ini sebelum buka. Rapat setiap hari hingga dua bulan. Para koki yang terlibat, juga saya waktu itu masing-masing masih bekerja di tempat lama. Saya sendiri yang usulkan mengapa tidak main menu resto adalah bebek. Pecking duck dan bebek panggang itu dalam setiap acara pesta di function hall hotel itu yang paling panjang antreannya yang mau makan menu itu.

DuckKing

Karena sudah ditetapkan bahwa menu utamanya bebek, itulah mengapa kami namai restoran kami ada Duck-nya, lambangnya juga ada bebeknya. Kenapa menjadi Duck King, karena waktu itu film Lion King sedang terkenal. Lalu kami usul kenapa tidak menambah King dibelakang Duck, jadi The Duck King.

Susi Suwarni

The Duck King memang didirikan oleh koki-koki dan orang terbaik di restoran. Mereka sudah tahu rasa terbaik untuk konsumen Indonesia. Kami berdasarkan riset kecil-kecilan sebelum dibuka. Waktu itu di Indonesia memang sudah ada beberapa resto bebek, tapi kami lihat tidak seenak yang kami ingin.

Bagaimana bisa The Duck King sangat terkenal meski tidak berpromosi diawal buka?

Dave Lau

Kami tidak ada promosi waktu awal buka. Juga memulai dari resto kecil dengan kapasitas hanya 90 orang saja di STC.

Susi Suwarni

Kekuatan kami sejak awal adalah worth of mouth marketing. Orang suka, cerita ke teman, sanak keluarga, sahabat, mereka datang untuk mencoba. Memang lidah yang bicara.

Dave Lau

Kami memang ada permintaan dari konsumen sehingga kemudian buka di Jakarta Kota. Kebetulan yang di sana adalah karena ada konsumen yang pernah satu kali ke STC di hari kerja, pas makan siang, resto kami penuh, dia hingga dua jam antrenya. Dia pikir mungkin karena hari kerja, dia datang weekend, ternyata antre juga dua jam. Nah, pelanggan itulah yang menyarankan saya buka di tempat yang dia miliki. Dia punya tempat, kami sewa, tapi kami tidak kerjasama dengan dia. Jadi kami buka sendiri.

Saya percaya kalau makanan enak, walau antre, orang mau tunggu. Mereka datang juga karena dengar dari orang yang pernah makan di sini. Bukan dari promosi. Buktinya di resto kami, bahkan orang rela dari jauh, dari Medan, Jogya, Bandung dan daerah lain. Mereka mau datang ke resto kami, padahal jam 18.00 bebek panggang kami sudah habis.

Susi Suwarni

Jadi bisa dibayangkan orang datang jauh-jauh untuk makan di resto kami. Dan, waktu awal buka itu memang menarik. Karena resto kami selain daya tampung tidak banyak, juga posisi resto di STC bukan di lokasi strategi yang langsung bisa dilihat orang pada saat masuk mall itu. Kami ada di lantai atas, lalu perlu naik tangga lagi di lantai 6,5. Jadi tidak mudah dilihat.

Dave Lau

Kunci kami adalah sejak awal kami memiliki koki-koki terbaik, juga orang servis atau layanan terbaik.

Setelah berkembang sebenarnya bagaimana manajemen restoran ini, bagaimana pengelolaannya, apa ada support IT, juga bagaimana penanganan SDM-nya?

Dave Lau

Sekarang memang cabangnya banyak. Setelah setiap cabang selalu penuh, ada banyak permintaan di berbagai tempat termasuk di daerah lain di luar pulau Jawa. Untuk makanan kami punya standar resep yang kami wajibkan di setiap cabang harus sama. Jadi kamu makan di cabang Duck King mana pun rasanya sama enaknya.

Pasti ada standar mulai dari bahan baku, pengolahan resep, masakan hingga penyajian. Ada orang-orangnya yang bertanggung jawab untuk semua itu masing-masing. Kami tentu didukung oleh IT. Supaya proses manajemen bisa lebih lancar.

Susi Suwarni

Kami kan banyak cabang, tentu saja dukungan teknologi informasi itu penting. Dalam pengelolaan kami memang memberi segmentasi. Kami awalnya hanya The Duck King Restaurant. Kemudian untuk kalangan yang ingin lebih premium kami punya The Grand Duck King dan The Ducking Signature. Kedua itu memang khusus melayani mereka yang kantongnya lebih tebal. The Grand Ducking ada di Medan, Jogya dan Jakarta masing-masing satu gerai. Sedang The Duck King Signature ada satu gerai di Setia Budi Building, ini lebih diatas dari The Grand Ducking. Karena kami tahu di daerah itu banyak ekspatriat dan lingkungannya lebih tinggi.

Susi Suwarni dan David Lau

Susi Suwarni dan David Lau

Kami juga memahami konsumen yang ingin ada olahan pork (babi), untuk kalangan tertentu. Maka kami ada Imperial Chef. Kalau gerai kami diluar Imperial Chef semua halal, bebas dari olahan pork. Nah yang Imperial Chef kami buka untuk layani yang ingin pakai pork. Ini ada di Taman Anggrek Mall, Galaxy Mall, Grand Indonesia Land Mark dan di Surabaya ada dua gerai. Ada rencana kami buka lagi di Medan tahun ini.

Kami buka beberapa merek berbeda, itu per akhir 2007. The Duck King dan Duck King Kitchen itu konsepnya family. Kami juga ingin membuka yang ditujukan untuk para eksekutif. Maka kami bukalah di Grand Indonesia untuk para pebisnis dan eksekutif kalangan atas. Mereka biasanya tidak memikirkan harga tapi lebih pada rasa yang enak untuk kolega bisnisnya.

Ada ruang-ruang yang khusus meeting. Di Setia Budi itu kami sediakan ruang tertutup untuk kalangan pebisnis.

Bagaimana mengelola service excellence di The Duck King Group? Bagaimana mengelola SDM-nya?

Dave Lau

Kunci kami selalu tersenyum pada pelanggan. Memberi pelayanan dengan baik. Kami jaga tamu selayaknya keluarga kami. Jadi makan di Duck King Group seperti makan di rumah. Standar kami seperti bintang lima.

Susi Suwarni

Kami selalu memberi training rutin. Jika ada yang kurang, atau komplain kami bicarakan bersama apa yang harus diperbaiki. Di Central Plaza (The Duck King) merupakan salah satu tempat training. Jadi, semacam pembekalan yang sudah pengalaman, bagaimana memperlakukan tamu, bagaimana menarik buku menu dari tamu seperti apa dan sebagainya. Ada on the job training dan transfer knowledge dari yang pengalaman ke yang baru.

Kami selalu berikan sesuai dengan pelanggan bayar. Ada harga ada rasa. You got what you pay. Mulai dari bahan baku kami tidak sembarangan. Kami jaga kualitas. Bumbu, kecap, bahan baku semua yang berkualitas. Kami jaga kualitas tapi kami juga tidak gila-gilaan menetapkan harga menu.

Untuk bebek yang merupakan menu utama kami, itu kami jaga kualitas bebeknya. Maka itu kami hanya pakai satu pemasok atau peternak bebek. Dia seorang insinyur yang dengan khusus belajar ternak bebek. Dia pelajari bebek ini yang enak dikelola seperti apa supaya dagingnya enak. Saya tidak bisa sebut siapa orangnya. Lebih dari 10 ribu bebek per bulan yang kami pakai untuk gerai-gerai kami. Bahkan karena enaknya, bebek olahan resto kami dipakai di beberapa hotel bintang lima. Tapi tidak disebut brand Duck King. Ada beberapa kali yang pesan. Ada juga yang pesan untuk wedding.

Dave Lau

Kami pun ada jenjang karier yang jelas di sini, staf, supervisor, manajer, GM, waiters, kapten, chef dan sebagainya. Saat ini karyawan kami mulai dari yang kerja melayani tamu hingga back office ada sekitar lebih 2.000-an orang. Rata-rata yang bekerja di sini lebih dari 6 tahun, bahkan ada yang sejak kami berdiri. Satu gerai bisa 70-100 orang yang bekerja tergantung besarnya gerai, kami berlakukan shift kerja, karena bekerja dari jam 10 pagi hingga 10 malam. Karena saat ini kami ada 21 cabang. Back office dan warehouse ada orang sendiri.

Bagaimana sistem pengembangan cabangnya, karena sudah 21 cabang dan terus bertambah. Apakah dengan modal sendiri? Franchise atau kerjasama dengan pemilik modal?

Susi Suwarni

Ada cabang yang franchise, itu yang di Medan dan Jogya. Mereka yang hubungi kami, kami sih tidak jualan franchise resto kami.

Dave Lau

Kami akan buka franchise lagi di Medan, Banjarmasin, dan Bali, di luar yang 21 cabang yang sudah ada. Yang mau franchise itu sampai antre lho. Yang diterima franchise kami haruslah orang yang serius investasi di sini. Harus memiliki lokasi yang bagus. Lokasi itu penting sekali. Jika setelah kami lihat mereka penuhi semua syarat yang kami ajukan ya jalanlah. Franchise kami ada di Medan, Jogya, next akan buka lagi di Medan (lagi next year), Banjarmasin. Yang di Medan itu orang yang punya sama kedua franchise-nya, satu dia ambil Duck King , dan kedua dia ambil Imperial Chef. Satu halal, satu lagi untuk pasar yang nonhalal.

Susi Suwarni

Yang di Jogya itu kami sangat laris, saya lihat di sana memang tidak ada Chinese resto yang enak. Makanya cabang Grand Duck King di sana ramai selalu.

Pendanaanya bagaimana untuk yang cabang-cabang sendiri?

Susi Suwarni

Wah kami tidak tahu soal itu. Bos ada dana, kami buka. Dananya darimana hanya owner yang tahu. Saya maaf memang tidak bisa bicara soal owner, karena dia memang tidak mau diekspos, bukan tipe pebisnis yang mau tampil. Saya coba sampaikan pada rapat nanti apakah dia mau bicara sama SWA. Yang jelas sejak kemarin saya coba ajak, beliau tidak mau.

Bagaimana target ke depan? Pengembangannya?

Dave Lau

Impian kami resto-resto kami akan mudah ditemui di setiap kota di Indonesia. Bahkan kami ingin go regional. Sudah banyak permintaan buka cabang di luar negeri. Tapi kami sedang siapkan dulu yang matang. Tidak mau terlalu tergesa-gesa. Mungkin dua tahun lagi target kami bisa buka di luar negeri. Di Indonesia saja yang minta cabang aja sudah indent. Yang sudah disiapkan untuk ke luar negeri adalah Bangkok. Itu dua tahun ke depan.

Yang minta banyak sekali tapi kami juga harus selektif pada partner bisnis.

Susi Suwarni

Kalau kata bos saya itu berkat tangan Tuhan. Salah satunya juga berkat karyawan yang happy. Makanan memang dibuat enak sekali.

Bagaimana branding dan upaya pemasaran Duck King?

Susi Suwarni

Sebelum saya gabung memang Duck King dikenal melalui viral marketing. Worth of mouth marketing. Promosi mulai gencar melalui media atau majalah belakangan ini. Secara rasa saya yakin Duck King sudah dikenal luas. Nah branding ini kami mulai gencar sebagai upaya yang kami sadari untuk masa depan. Sebagai investasi. Misal kami mau go public misalnya, branding itu kan penting. Kala ke luar negeri, kami ada bukti branding yang baik. Makanya Duck King ada di beberapa majalah belakangan. Saya sedang siapkan beberapa promo di beberapa mal juga. Saya belum bisa detil sampaikan strateginya saat ini, mungkin beberapa waktu ke depan.

Tahun-tahun sebelumnya kami lebih banyak mengandalkan rasa dari menu yang luar biasa enak. Setiap lima tahun kami lakukan segarkan untuk gerai-gerai kami, agar pelanggan nyaman. Yang di Senayan City kami buka tahun 2006, tahun ini kami segarkan gerainya.

Lalu siapa sih sebenarnya pemilik Duck King Group ini? Bagaimana latar belakang Pak Dave dan Bu Susi?

Susi Suwarni

Saya tidak bisa sebut nama. Yang jelas dia juga main bisnis di teknologi. Dia teman gereja saya. Sebenarnya saya lama kenal dengan suami istri owner ini. Sejak sebelum saya off dari pekerjaan sebelumnya, dulu saya di bagiam marketing Evalube.

Dave Lau

Saya sudah sudah 15 tahun berkarier di hotel berbintang lima. Di Malaysia saya di Shangri La, saya sempat di Shangri La sini dua tahun. Lalu saya dibajak ke Gran Melia selama dua tahun di sana. Kemudian tahun1997 terjadi krisis ekonomi, saya ikut kapal pesiar, selama empat tahun berkeliling dunia. Saya punya latar belakang manajemen hotel di Malaysia. Di kapal pesiar saya memimpin berbagai ras hingga ratusan awak. Tahun 2002 saya kembali ke Indonesia bekerja di JW Marriot. Tahun 2003 saya bantu set up The Duck King. Saya berusia 50 tahun.

Saya kenal owner itu ya karena memang semua pendiri waktu itu adalah pekerja hotel. Ada 10 orang yang invest di resto ini. Kami waktu itu tidak ingin hanya jadi pekerja saja. Waktu itu banyak yang ajak saya gabung mendirikan restoran, tapi dengan beberapa pendiri Duck King saya cocok. Punya visi sama.

John (salah satu chef yang ikut nimbrung)

Saya sebelumnya bekerja di Singapura 10 tahun, salah satunya Christal Jade Restaurant, baru kemudian ke Jakarta tahun 2002 di Hotel Mulia selama dua tahun. Baru kemudian masuk Duck King. Saya chef untuk berbagai masakan.

Saya tertarik join Duck King, selain mencari pengalaman baru, saya juga diajak oleh mantan bos saya yang saya kenal di Hotel Mulia.

Berapa investasi dan berapa pelanggan tiap hari yang datang?

Susi Suwarni

Saya tidak bisa bilang berapa. Kalau pelanggan yang datang, itu tergantung besar gerai. Yang jelas selalu penuh. Yang di Grand Indonesia itu besarnya dua kali yang di Cilandak Town Square. Yang di Grand Indonesia itu bisa 300 orang baru full. Target kami setiap hari kursi di resto minimal diduduki pelanggan (berbeda) dua kali. Beberapa tempat seperti di PIM bisa satu kursi diduduki oleh sampai 3-4 orang pelanggan.

Apa tantangan dan kendala dalam membangun bisnis?

Susi Suwarni

Dulu mungkin kami belum ada banyak pesaing. Saat ini pesaing kami sudah banyak. Bahkan dengan tampilan lebih modern. Untuk pesaing ini kami punya strateginya sendiri. Tiap cabang Duck King punya menu andalan yang tidak dimiliki cabang lain. Jadi tiap chef ditantang agar berkreasi untuk menyajikan menu andalan di cabangnya. Koki-koki diberi kreativitas untuk membuat menu. Belum tentu menu di Central Plaza bisa ditemui di Citos misalnya. Jadi pelanggan tidak bosan untuk mencoba menu-menu kami. Di Central Plaza yang spesial adalah sup labu yang dikombinasi dengan kepiting dan isi perut ikan (tidak amis).

Tantangan lain adalah harga bahan baku dan segala pendukung makin tak terkendali. Cepat sekali naik. Sedang kami tidak bisa naikan harga setiap bulan. Padahal harga bahan baku terus naik tiap bulan.

Inilah tantangan kami bagaimana mengelola biaya agar tidak terlalu tinggi, tapi kualitas terjaga dengan baik. Itulah kami terus jaga manajemen warehouse bahan baku kami. BBM naik bahkan kami tidak naikkan harga. Khawatir pelanggan lari. Untuk itu kami atasi dengan mengendalikan biaya. Selain itu, kami juga menjaga hubungan dengan pemasok bahan baku kami agar bisa jaga harga ke konsumen tidak cepat naik.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved