Management Strategy

Transformasi untuk Lompatan Kuantum

Transformasi untuk Lompatan Kuantum

Di tengah persaingan yang ketat, perusahaan asuransi jiwa ini melakukan transformasi bisnis. Apa saja perubahan fundamental yang dilakukan?

Diam tetapi pasti, PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha atau yang lebih dikenal sebagai Wanaartha Life (WAL) tengah menikmati transformasi bisnisnya. Tiap tahun pertumbuhan premi selalu di atas 100%. Demikian juga nilai aset (kekayaan) perusahaan, naik di atas 100%.

Contohnya, kinerja 2010. Tahun lalu pendapatan premi tumbuh 195% menjadi Rp 1,7 triliun dibanding tahun sebelumnya. Lalu, aset tumbuh 130% mencapai angka Rp 1,4 triliun. Performa kinclong ini terus berlanjut. Pendapatan premi kuartal I/2011 tumbuh 122% dibanding periode sebelumnya, dari Rp 332 miliar menjadi Rp 704 miliar. “Alhamdulillah, transformasi yang kami lakukan memang mulai terasa,” ujar Eddy K.A. Berutu, CEO WAL.

Tranformasi WAL bermula pada empat tahun lalu ketika pemegang saham memutuskan menyerahkan pengelolaan perusahaan ke kalangan profesional. Keluarga pemilik memilih menjadi pengawas (komisaris), tak mengurusi secara langsung operasional perusahaan. Maka, dicarilah CEO dan tim manajemen. Mandatnya: mengelola dan memajukan perusahaan dengan target besar. “Dalam waktu lima tahun harus masuk top ten,” kata Eddy. Sebuah lompatan kuantum!

Eddy pun ditahbiskan menjadi CEO. Lelaki ini adalah profesional yang sudah malang-melintang di bisnis asuransi. Sebelumnya dia anggota direksi Prudential Indonesia. Kompetensi, pengalaman, dan kepemimpinannya dinilai pemilik WAL akan membawa perusahaan menuju kinerja yang lebih baik.

Bila ditelusuri cara-caranya, upaya transformasi di WAL sangat serius. Sebut contoh, dari sisi SDM, begitu gaung tranformasi ditabuh, penguatan di bidang SDM dilakukan. Dimulai dari menunjuk CEO, kemudian CEO ini mencari profesional-perofesional lain untuk memperkuat tim. “Saya ajak beberapa kawan yang mau jadi champion dan umumnya sudah berpengalaman di dunia asuransi, termasuk di perusahaan joint venture,” Eddy mengisahkan. Contohnya, Lukito Saggitariono, profesional yang sebelumnya berpengalaman di Commonwealth Life. Dia dibetot menjadi Direktur Pemasaran. Contoh lain, Laksmi Merati, profesional Prudential Life, yang diajak menjadi Manajer Senior Corporate Marketing & Communications. Dan masih ada sederet nama lain

Wujud transformasi itu sendiri kemudian tampak jelas ketika WAL memutuskan mengubah target pasarnya. Dari yang sebelumnya lebih banyak bermain di pasar asuransi kumpulan atau korporat, WAL bergeser ke ritel (consumer). Manajemen WAL meyakini, melihat struktur kependudukan Indonesia, pasar asuransi ritel sangat potensial, apalagi sekarang PDB Indonesia sudah mencapai US$ 3.000. Akan bermunculan kelas menengah-atas. “Kami percaya tulang punggung pertumbuhan bisnis WAL ke depan ialah ritel. Kami pilih segmen menengah-atas,” ujar Eddy.

Jelas, ini keputusan yang berani dan sangat fondamental karena berdampak pada perubahan organisasi, cara dan sistem kerja, serta infrastruktur yeng diperlukan. Salah satu konsekuensinya adalah perlunya banyak cabang untuk bisa mendekati nasabah. Untuk alasan itu pula, sejak tiga tahun ini WAL terus aktif membuka cabang. Sebelum transformasi dilakukan, hanya ada satu kantor cabang dan tiga kantor pelayanan. Sementara saat ini – sampai kuartal I/2011 – sudah punya kantor cabang dan kantor penjualan di 24 lokasi.

Tugas membuka cabang-cabang baru ini butuh perjuangan ekstra karena ini bukan semata-mata soal sewa ruko dan kemudian buka konter. Ada keterkaitan yang kompleks di belakangnya. Selain harus ada uang, juga butuh orang yang mengelola, mitra bisnis, agen, dan sistemnya. Artinya, manajemen WAL harus berusaha menemukan model yang tepat untuk tumbuh cepat tanpa harus membebani anggaran perusahaan. Dalam hal ini, mereka kemudian memilih strategi dengan cara mencari mitra-mitra yang mau diajak membuka cabang dan investasi. Bisnis kerja sama itu nantinya bisa diwariskan ke generasi penerus dari mitranya itu.

Para mitra itu bukan karyawan WAL. Mereka melakukan investasi dengan menyewa ruko untuk operasional kantor-kantor cabang itu. Jadi, dari sisi kepemilikan, kantor-kantor cabang itu milik mitra bisnis (agen). Mereka mendapatkan penghasilan (reward) berupa komisi sesuai dengan pencapaian mereka. Pihak WAL di sisi lain bertugas menyiapkan produk, infrastruktur, tata kerja, pelatihan, dan strategi bagaimana harus menampilkan diri agar nasabah mau datang.

Dalam hubungan dengan para pemilik kantor agen itu, manajemen WAL meyakinkan ke mereka bahwa WAL merupakan tempat terbaik untuk membina karier/usaha sampai mereka berganti generasi. “Kami cari cara agar mereka bisa meneruskan apa yang sudah dibangun itu ke anaknya. Dengan cara itu, mereka mau mendedikasikan sebagian hidupnya untuk membangun bisnis bersama kami. Itulah kenapa kami bisa cepat tumbuh. Kami tidak berlari sendirian, namun bersama-sama maju” Eddy menceritakan kiatnya.

Alasan itu pula yang tampaknya menjadi kunci efektivitas organisasi di WAL. Perusahaan beraset dan berpendapatan premi di atas Rp 1 triliun itu hanya punya karyawan tetap 173 orang. Ini tak lain karena WAL memilih mengambil lebih banyak pola kerja sama, jumlah agen yang diperbanyak. Saat ini WAL setidaknya sudah memiliki 500 agen dan ditargetkan mencapai 1.000 agen dengan jumlah cabang 30 unit di tahun 2011.

Pengembangan dari sisi produk juga digenjot WAL dalam proses transformasinya. Caranya: memperbanyak produk asuransi yang mengandung nilai tabungan dan investasi. Maklum, konsumen cenderung ingin agar uang yang mereka bayar sebagai premi juga bisa tumbuh. Dalam hal ini ada dua jenis produk, yang sifatnya link (WAL Link) dan yang non link yang disebut WAL Invest. Tahun ini juga akan diluncurkan WANA Link yang masih terbilang produk unit link, tetapi lebih besar komponen asuransinya (kematian, sekolah, pendidikan).

Tak hanya produk dan jumlah cabang, infrastruktur teknologi juga dibangun. Model bisnis baru membuat WAL berhubungan dengan semakin banyak orang, berbeda dengan sebelumnya yang didominasi klien korporat atau kumpulan. Saat ini jumlah nasabah individu lebih banyak, tipenya berbeda-beda dan sangat heterogen kebutuhannya, sehingga butuh infrastruktur dan teknologi yang mampu melayani mereka secara masif. Maka, WAL menginstal teknologi modern yang mempunyai kemampuan mengelola data atau transaksi besar. Dengan teknologi web base, nasabah bisa dilayani di mana pun. Nasabah bisa masuk web di PC mereka yang datanya sudah dikoneksi ke server WAL.

Dalam melakukan tranformasi ini, tantangan terbesar adalah soal kemampuan pelayanan dan mentalitas SDM yang juga mesti disesuaikan dengan pergeseran target pasar. Perubahan seperti ini tentu tak gampang, apalagi juga harus membaurkan antara karyawan yang sudah bekerja lama dan yang baru masuk. Untuk itu, Eddy dan timnya berusaha selalu mendiskusikan secara terbuka dan seluas-luasnya untuk mengambil peluang ini. Mereka juga merumuskan kembali sistem remunerasi, termasuk menggelorakan ajang employee of the year yang hadiahnya jalan-jalan ke luar negeri plus uang. Tujuannya: merangsang karyawan dan agen berpretasi setinggi-tingginya.

Menyadari proses transformasi ini tak mudah, manajemen WAL berusaha mencari sinergi dengan pihak-pihak luar agar bisa membantu percepatan bisnis dan melakukan lompatan kuantum. Sejumlah konsultan bisnis pun diundang, mulai dari ahli pengelolaan investasi aset, manajemen, PR, hingga teknologi informasi. Untuk pengelola aset, misalnya, WAL bekerja sama dengan First State Investments. Konsultan lain yang dipakai antara lain TowerWatson, BNP Paribas dan Schroder.

Lantas, sudah sejauh mana transformasi yang dilakukan?

Melihat hasil yang dicapai sejauh ini, rasanya program transformasi WAL tak bertepuk sebelah tangan. Sudah pasti, peningkatan tahunan premi dan aset yang di atas 100% sebagaimana sudah disinggung di awal menjadi bukti efektivitas transformasi. Dilihat dari pergeseran klien yang saat ini lebih dominan ke ritel, hal itu juga menunjukkan efektivitas program transformasi. Maklum, sebelumnya kondisinya terbalik: didominasi nasabah korporat (kumpulan). Laksmi Merati merinci, data per akhir Desember 2010 dari total pendapatan premi Rp1,7 triliun, jumlah pendapatan premi untuk kumpulan hanya Rp 45,4 miliar alias hanya 2,6%.

Lilik Agung, konsultan manajemen yang biasa menangani transformasi bisnis, melihat transformasi bisnis yang dilakukan WAL sangat tepat karena persaingan asuransi semakin ketat, apalagi bila akan mengubah haluan bisnisnya dari korporat ke personal. Pada dasarnya transformasi bisnis bermain pada tiga wilayah: transformasi manajemen, struktural dan kultural. Transformasi struktural lebih banyak bersinggungan dengan sistem, proses dan struktur organisasi. “Dari tiga proses ini, transformasi kultural paling sulit dan membutuhkan waktu lama. Saya kira dari semua proses transformasi bisnis yang dilakukan WAL, penguatan dan penyadaran manusianya (karyawan) untuk melakukan perubahan menjadi amunisi besar untuk meledakkan prestasi pada masa depan,” kata Lilik yang juga Mitra Pengelola High Leap Consulting ini.

Menurut Lilik, kunci sukses sebuah transformasi bisnis adalah pemimpinnya. Pemimpinlah yang berdiri paling depan dalam mengubah pola pikir karyawan untuk selalu beradaptasi dengan perubahan, berkawan dengan konsep-konsep manajeman kontemporer, dan bergaul dengan teknologi terbaru. Praktik terbaik selalu dimulai dari pemimpinnya.

“Dampaknya (memang) mulai terasa,” ujar Eddy tentang hasil transformasi. “Namun, ini masih transformasi awal,” tambahnya. Apakah optimis bisa menjadi top ten dalam lima tahun? “Dengan satu syarat, kondisi ekonomi makro kondusif seperti ini, tidak ada turbulance, saya yakin bisa,” dia optimistis.

Kondisi ekonomi makro hanya satu hal. Agar transformasi ini berjalan konsisten dan mandat yang diberikan dapat diwujudkan, Lilik melihat syarat lain: konsistensi pemegang saham untuk menjalankan transformasi bisnis dan kesolidan manajemen baru untuk menggerakkan seluruh anggotanya dalam menjalankan transformasi bisnis. Mengapa begitu?

Dia melihat saat ini pemilik telah memberikan semacam cek kosong kepada Eddy dkk. untuk menjalankan transformasi bisnis dan hasilnya cukup efektif. Hanya saja, dia juga mengingatkan adanya banyak kasus di dunia bisnis, ketika transformasi sudah menunjukkan hasilnya, para pemegang saham menarik kembali cek kosong itu. Akhirnya, perusahaan kembali ke pola lama yang tidak sepenuhnya dikelola profesional. “Jadi, tantangannya soal konsistensi,” Lilik kembali mengingatkan.

Pendapat Lilik segaris dengan nasihat lama: Change must always be balanced with some degree of consistency. Transformasi yang dijalankan WAL akan bergantung pada konsistensi menjalankan apa yang mereka gariskan sendiri.(*)

Langkah Transformasi Wanaartha Life

SDM & Profesionalisme

Keluarga pemilik memilih menjadi pengawas, tak mengurusi secara langsung operasional perusahaan

Menunjuk CEO untuk memimpin transformasi

Menarik orang-orang terbaik dari luar perusahaan

Merumuskan sistem remunerasi dan model kerja sama yang merangsang kinerja

Pasar & Produk

Menggeser ke segmen ritel yang dinilai lebih prospektif

Memperbanyak produk asuransi yang mengandung nilai tabungan dan investasi

Aktif membuka cabang untuk mendekati konsumen

Menggandeng lebih banyak mitra agen untuk ekspansi

TI

Mengembangkan infrastruktur dan sistem TI untuk melayani pelanggan


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved