Management Trends

Mari Belajar pada Estonia!

Mari Belajar pada Estonia!

Negeri kecil ini mampu melahirkan startup hebat dan menjadi startup papan atas. Apa rahasianya?

Estonia. Anda mungkin tak terlalu familiar dengan negara liliput ini. Terletak di Eropa, negeri ini memang seupil dibandingkan Indonesia. Berbatasan langsung dengan Teluk Finlandia, Laut Baltik, Latvia, dan Rusia, luasnya hanya 45.227 km2.

Estonia

foto http://www.citi.io/

Tapi jangan remehkan Si Negeri Liliput ini. Mengacu pada World Economic Forum and Global Entrepreneurship Europe’s Hidden Entrepreneurs Report (Desember 2016), Estonia berada di peringkat pertama dalam konteks number of startups per capita kurun 2011-2015. Dengan populasi 1,3 juta jiwa, ada lebih dari 400 startup di Estonia, dan masih akan terus bertambah. Terlebih sejumlah investor kakap sudah mengarahkan mata dan tangannya ke negara ini. Bahkan sederet nama besar sudah membenamkan uangnya seperti Sir Richard Branson, Peter Thiel, Seedcamp, Matrix Partners dan Intel Capital.

Mengapa mereka bersedia datang ke negeri itu?

Oke, bila Estonia tak familiar, Anda pasti pernah dengar Skype atau Kazaa. Atau bahkan menjadi penggunanya. Nah, dua produk ini adalah contoh buah tangan yang muncul dari Estonia. Keduanya sangat terkenal. Skype, terutama.

Diluncurkan di Tallinn, Ibu Kota Estonia, 29 Agustus 2003, Skype menjadi salah satu produk yang tetap populer hingga kini. Dan sejak kelahirannya, Skype memang menyimpan bakat menjadi bintang besar di panggung dunia digital, media sosial, atau apapun namanya. Pada hari pertama diluncurkan, 10 ribu orang langsung mengunduhnya. Beberapa bulan kemudian, jutaan orang melakukan hal yang sama. Kini, setelah 14 tahun berlalu, sudah 500 juta orang mengunduhnya, memasangnya di ponsel atau komputernya sebagai alat komunikasi suara, teks, dan video lewat Internet. Anda pun mungkin termasuk satu diantara penggunanya yang fanatik.

Nama Skype pada awalnya adalah Skyper, yang diturunkan dari “Sky Peer-to-Peer”. Karena ada domain yang menggunakan nama tersebut, maka diubahlah menjadi Skype. Catatan yang menarik, sekalipun inisiatif membuat produk ini datang dari dua wirausahawan Skandinavia, Janus Friis (Denmark) dan Niklas Zennström (Swedia), peranti lunaknya ditulis tiga pengembang dari Estonia. Ketiga sahabat itu adalah Ahti Heinla, Priit Kasesalu, dan Jaan Tallinn. Satu orang lagi anak muda Estonia yang sangat membantu di awal proyek adalah Toivo Annus. Namun perannya lebih pada mengelola kantor serta tim inti pembuat Skype.

Tranferwise. Secara terbuka menantang transparansi untuk transfer mata uang di seluruh dunia

Skype adalah buah dari ketekunan. Sebelum menghasilkan produk itu, mereka lebih dulu melahirkan Kazaa, aplikasi peer-to-peer file sharing yang digunakan untuk bertukar MP3, video, dokumen, serta aplikasi melalui Internet. Mulanya Kazaa menjadi peranti lunak yang paling banyak diunduh di dunia. Akan tetapi, karena tentangan dari industri musik serta film di AS yang mempersoalkan aspek legal pertukaran file, mereka pun menjualnya.

Keenam anak muda ini lalu melewatkan malam demi malam. Dan mereka kemudian menyadari bahwa mereka dapat menggunakan teknologi P2P untuk menciptakan “telepon internet”. Lahirlah Skype yang memungkinkan pengguna berkomunikasi suara menggunakan mikrofon, video menggunakan webcam, dan pesan instan lewat Internet.

Revolusi Digital Kaum Muda

Kelahiran Kazaa dan kesuksesan Skype, pada gilirannya memicu semacam revolusi di tanah Estonia. Ya, anak-anak muda di sana bergerak. Puluhan hingga ratusan startup lahir. Bahkan kian menjamur begitu menyaksikan Microsoft mengucurkan uang besar untuk membeli Skype di tahun 2011 senilai US$ 8,5 miliar. “Anak-anak muda itu berpikir kalau orang lain bisa bikin Skype, mengapa gua enggak?” ujar Andrus Oks dari Terra Venture Partners, perusahaan investasi di Tallinn.

Skype Effect”. Begitu orang menyebutnya. Tak heran startup pun segera bermunculan seperti cendawan di musim hujan.

Tak semua startup itu berhasil, tentu. Namun sejumlah nama muncul ke permukaan mencuri perhatian. Salah satu kisah sukses yang menonjol adalah TransferWise. Ini adalah fintech untuk mentransfer mata uang lintas negara.

Seperti halnya Skype, TransferWise berangkat dari kebutuhan nyata di lapangan. Bila Skype muncul karena kebutuhan panggilan telepon lewat internet protocol, TransferWise berangkat dari kegelisahan dua anak muda Estonia yang bersahabat, Kristo Käärmann dan Taavet Hinrikus.

Pada tahun 2010, dari waktu ke waktu, dua orang ini dipaksa untuk membuat transfer uang lintas batas. Käärmann mengirim uang dari Estonia ke Inggris, sementara Hinrikus mentransfer uang dari Inggris ke Estonia. Merasa dibebani biaya transfer yang besar untuk currency swap, dan melihat potensi yang luar biasa untuk memberikan layanan transfer via Internet, lahirlah TransferWise.

Kehadiran aplikasi ini langgung mengguncang industri keuangan. TransferWise secara terbuka menantang transparansi untuk transfer mata uang di seluruh dunia. Mereka juga memangkas fee bank. Mereka segera menjelma jadi bintang fintech. The Guardian menyebut TransferWise sebagai “Robin Hood” dunia perdagangan mata uang. Nilainya melonjak cepat: kini bernilai lebih dari US$ 1 miliar dan sudah mendapat kucuran investasi dari Sir Richard Branson

Hebatnya Estonia telah memancing sejumlah pemodal ventura kakap mengungkapkan kekagumannya. Dave McClure sempat menciptakan tagar #EstonianMafia sebagai gambaran fenomena ini. Mereka kagum bagaimana dari negara kecil ini muncul banyak digital entrepreneur yang sukses. Apa rahasianya?

Mendesain Kultur Digital

Ya, begitulah pertanyaan yang banyak bermunculan. Sejumlah analisis menawarkan jawaban. Namun yang paling kuat adalah karena Pemerintah Estonia mendesainnya.

Kesuksesan Skype memicu Revolusi di Estonia dengan lahirnya puluhan hingga ratusan startup

Begitu Uni Soviet kolaps di tahun 1991, Estonia segera memperoleh kemerdekaannya. Namun saat itu kondisi tidaklah bagus. Negara ini seakan masuk ke lorong waktu. “Kami tak punya apa-apa,” kata Jendral Riho Terras, Panglima Angkatan Bersenjata Estonia yang waktu itu menjadi aktivis mahasiswa.

Kendati kondisi minim, Pemerintah Estonia mengambil kebijakan cerdas saat harus memulai dari titik nol ini. Dalam kondisi sulit, mereka memilih meninggalkan dunia analog. Berbagai layanan diupayakan online sejak awal. Mereka memilih jalur ini karena ingin menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien, bahkan clean government. Gagasan yang kuat dipegang adalah bahwa “birokrasi yang minim merupakan hal yang baik”.

Maka perlahan-lahan, Estonia pun mengubah dirinya menjadi digitized government, pemerintahan yang terdigitalisasi. Kebijakan yang kemudian mereka lahirkan sangat berbau digital. Salah satunya, setiap bayi lahir diberi angka unik 11 digit, semacam identifikasi digital yang menjadi kunci untuk semua aspek kehidupannya kelak, termasuk jaminan sosial.

Namun tonggak penting adalah di tahun 2000. Di tahun itu Estonia menjadi negara pertama di dunia yang mendeklarasikan bahwa akses Internet merupakan HAM yang mendasar seperti halnya makanan dan tempat tinggal! Bayangkan, Internet adalah HAM! Realisasinya, WiFi gratis dibangun tahun 2002 di banyak tempat.

Seiring pernyataan bahwa akses Internet merupakan HAM, di tahun 2000 pula Pemerintah Estonia meluncurkan undang-undang digital yang menyatakan tanda tangan digital sama dengan tanda tangan basah. Sontak kebijakan ini memicu sistem paperless. Maka sejak itu, orang terbiasa mengerjakan dokumen tanpa kertas, untuk buka rekening bank, bayar pajak, pinjaman uang, urusan resep, termasuk pernikahan dan perceraian. “Kami tidak pernah mengunjungi lembaga pajak, jaminan sosial, dan yang lainnya. Semuanya online. Saya membangun perusahaan dalam 20 menit, tanpa perlu pergi ke mana-mana,” kata Kaidi Ruusalepp, CEO Funderbeam, platform perdagangan investasi.

Kebijakan di sektor digital di tahun 2000 inilah yang menjadi pemicu utama gelombang lahirnya para young techie, anak-anak muda penggila teknologi, yang kemudian bersalin rupa menjadi digital entrepreneur. Dari sinilah lahir Skype, yang kemudian memunculkan demam startup.

Namun, sisi yang menarik adalah: bagaimana Pemerintah Estonia menumbuhkan kultur wirausahawan digital agar kebijakan mereka bisa tersemai dengan baik?

Anda perlu mencatat ini: Tak seperti kebanyakan negara, kehidupan atau kebudayaan digital sudah diajarkan sejak dini! Anak-anak Estonia belajar pemrograman komputer (coding) sejak usia TK. Mereka menggelar ProgeTiiger (“Programming Tiger”) yang mengajari dasar-dasar coding pada usia 5 tahun.

Lalu, agar muncul bibit-bibit entrepreneur, sekolah-sekolah Estonia telah memasukkan program “I am an Entrepreneur”. Untuk menopang program tersebut dan agar makin banyak wirausahawan lahir, belakangan Pemerintah Estonia menggelar Estonian Entrepreneurship Growth Strategy 2014 – 2020, sebuah rencana untuk kian mendorong tumbuh suburnya entrepreneur.

Kebijakan ini pada akhirnya mendorong banyak anak muda mendirikan startup, terlebih setelah Skype sukses besar. Dan hal ini memicu mindset global. Mereka ingin sukses bukan hanya di lingkup Estonia atau Eropa, tapi dunia.

Sekalipun kebijakan pemerintah memegang peranan dalam melahirkan digital entrepreneur, sejumlah analis juga melihat bahwa masa lalu saat di bawah pendudukan Uni Soviet tak bisa diabaikan sama sekali. Bahkan bisa turut menjadi landasannya.

Budaya startup, misalnya, menurut mereka ditanam jauh sebelumnya, sejak pendudukan Uni Soviet. Ahti Heinla, salah seorang pencipta Skype, contohnya, belajar pemrograman dari orang tuanya. Keduanya bekerja di Institute Cybernetics yang berdiri tahun 1960.

Lalu, masa pendudukan Soviet yang susah juga membuat masyarakat Estonia menjadi orang-orang yang persisten dan tahan banting. Mereka berusaha efisien dan efektif dengan sumber daya yang ada.

Laporan Europe’s Hidden Entrepreneurs (2016) juga menyatakan bahwa lantaran Estonia adalah negara kecil, para entrepreneur-nya yang memiliki tujuan ambisius dipaksa untuk berpikir internasional sejak awal berdiri. Estonia juga punya sejarah panjang untuk persisten di tengah lingkungan negara lain yang kadang mengintimidasi. Hasilnya, para entrepreneur-nya bangga diri mereka punya kemampuan untuk persisten dan inovatif dalam semua keadaan.

Hal ini memang ditunjukkan anak-anak Estonia. Ahti Heinla misalnya, selepas dari Skype, kini dia terus berinovasi dengan produk-produk baru. Lewat startup-nya yang baru, Starship Technologies, Ahti tengah mengembangkan robot canggih yang disebut Starship. Robot ini nantinya mengantarkan belanjaan ke rumah sang pembeli. Starship sekarang sedang melakukan uji tes di Bern dan London. Domino’s Pizza juga berencana mengetesnya di Hamburg.

Menjadi Startup Hub

Sangat banyak anak-anak muda seperti Ahti di Estonia. Dan menariknya, pemerintah Estonia belum mau berhenti untuk menjadikan negaranya sebagai startup hub. Yang teranyar, pada Januari 2017, mereka meluncurkan program startup visa untuk merangsang lebih banyak startup dan perusahaan lahir di sini. Ini adalah kebijakan yang ditujukan buat warga negara non-Uni Eropa yang ingin menjadi bagian dari komunitas startup Estonia.

Kebijakan ini melengkapi kebijakan sebelumnya yang bernama Estonian e-Residency. Ketika seseorang menandatangani Estonian e-Residency, dia akan mendapatkan kartu pintar yang dikeluarkan pemerintah Estonia, yang mencatumkan identifikasi dan otorisasi. Lewat kartu ini dia menerima beragam fasilitas: bisa menandatangani dokumen, membuka rekening bank, mendaftarkan perusahaan dari luar negeri, hanya dalam satu hari. Dan itu bisa dilakukan dari manapun, tanpa mesti tinggal di Estonia.

Dengan kartu ini, maka seorang pengusaha Indonesia, umpamanya, akan diijinkan untuk mendirikan perusahaan Estonia yang dijalankannya di Singapura yang melayani klien di Jerman. Sang pengusaha juga bisa menggunakan digital signature-nya untuk menandatangani kontrak dengan konsumen di seluruh Uni Eropa. Semuanya dilakukan online, dan gratis. Lewat e-Residency, dia juga bisa mengajukan pinjaman seperti program Horizon 2020, yang bernilai € 2,5 juta untuk UMKM Eropa.

Sejak diluncurkan tahun 2014, Estonia e-Residency sudah menarik banyak entrepreneur dari sejumlah negara. Per Januari 2017, 1000 perusahaan telah didirikan. Menurut e-estonia.com, lebih dari 18 ribu aplikasi telah disetujui. Kebanyakan datang dari AS, Finlandia, Rusia. Diprediksi, akan makin banyak lagi yang berdatangan. Salah satunya adalah dari India. “Startup technology entrepreneurs, terutama dengan ide-ide disruptif harus mempertimbangkan Estonia sebagai gateway untuk masuk pasar Uni Eropa,” kata Suhas Gopinath, CEO ShopsUp.

Bila ini benar terjadi, maka sejumlah startup hub seperti Singapura, disebut-sebut akan cukup kerepotan. Tapi ini memang persaingan terbuka. Yang jelas, apa yang dilakukan Estonia, sangat menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Di sini dibuktikan bahwa untuk melahirkan startup hebat, dibutuhkan kultur dan kebijakan yang tepat. Jadi, kalau mau belajar tentang melahirkan startup dan kultur digital, bergurulah pada Estonia! (Riset: Elsi Anismar)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved