Marketing

Gaya Harvest Melambungkan Kinerja Saat Pandemi

Gaya Harvest Melambungkan Kinerja Saat Pandemi

Dampak pandemi Covid-19 terhadap pertumbuhan bisnis sangat teras. Seperti pada sektor industri makanan dan minuman, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada awal tahun ini memproyeksikan industri makanan pada 2020 tumbuh 3,06%, sedangkan industri minuman minus 2,55%.

Dengan kata lain, pertumbuhan rata-rata industri makanan dan minuman hanya mencapai 0,51%. Sementara itu, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto sektor makanan dan minuman hanya berkisar 1-2% pada 2020 secara tahunan.

Dampak pandemi ini juga dirasakan The Harvest di bawah PT Mount Scopus Indonesia. Seperti pada awal pandemi yang terjadi di tahun lalu, penurunan jumlah kunjungan pelanggan ke outletnya menurun dari 84% pada sebelum pandemi menjadi 54% pada saat pandemi. Hal ini pun sejalan dengan terjadi penurunan buying power konsumen dan perubahan prilaku pelanggan dari makan di tempat (dine in) ke online shopping untuk mencegah penularan Covid-19.

Menghadapi berbagai tantangan di masa pandemi tersebut, manajemen pengelola The Harvest berpikir keras untuk mencari berbagai solusi agar bisnisnya tetap berkelanjutan, termasuk bertekad agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya. Berbagai strategi pun dijalankan The Harvest. Apa saja starateginya?

Evaliny, Chief Finacial Officer (CFO) PT Mount Scopus Indonesia menjelaskan berbagai strategi yang dijalankan The Harvest saat menghadapi pandemi. Menurutnya, dalam menghadapi pandemi, startegi marketing The Harvest sangat memperhatikan perubahahan perilaku konsumen, melakukan inovasi produk, lebih agresif merambah pemasaran online atau jemput bola, dan membuat outlet dengan konsep baru yang bernama “The Harvest New Concept Stores” untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya. “Di masa pandemi, yang sangat membantu The Harvest untuk terus grow adalah kesiapan dalam online order (GoFood, GrabFood, WA/call center) serta kecepatan dalam inovasi produk di awal pandemi dengan membuat Mix Signature Cake, healthy product, dan bread,” ujar Evaliny.

Pada 2020 dan juga tahun ini, pihaknya tetap fokus membuka toko “The Harvest New Concept Stores” yang menawarkan nuansa modern, minimalis, dan sangat Instagramable sehingga dapat dijadikan tempat berkumpul dan berfoto dengan keluarga dan kolega dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ketat. “Dalam pelayanan, kami sangat strick dalam melakukan prokes sehingga pelanggan yang kangen untuk dine in akan merasa safe dan nyaman. Begitu juga dengan outlet baru kami dibuat lebih open spaces dan arealnya lebih besar sehingga memberi ruang gerak yang lebih leluasa di outlet The Harvest new look tersebut,” katanya.

Outlet dengan konsep baru ini ada yang memperbaharui outlet yang sudah ada dan ada juga yang benar-benar mendirikan outlet baru. Tahun lalu, The Harvest membuka “The Harvest New Concept Stores” ini di daerah Pluit, Tebet, Cempaka Putih, Kalimalang Cibubur, Bintaro Sektor 5, Depok, dan Dago Bandung.

Tidak hanya penampakan toko yang berubah drastis, tapi The Harvest juga menghadirkan produk yang lebih beragam seperti menu all day breakfast, main course, dan beragam roti, pastry, donat. “Dari inovasi produk ini memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap penjualan kami. Sebanyak 20% tambahan revenue datang dari new product kami,” ujarnya. Selain itu, pihaknya juga selalu memonitor perkembangan setiap tokonya untuk melihat mana yang menjadi top sales product dan produk mana yang berada di rangking bawah sehingga akan tereliminasi. “Dari sistem yang kami bangun, kami bisa melihat prilaku konsumen juga seperti kapan jam-jam sibuk dan kapan harus diberi promo,” ungkap peraih gelar MBA dari Prasetiya Mulya ini.

Lalu upaya yang dilakukan The Harvest dalam beradaptasi terhadap perubahan perilaku konsumen. Misalnya saat konsumen mengalami penurunan buying power ketika pandemi sehingga mereka mengharapkan lebih banyak values yang bisa didapatkan dalam sebuah produk. Itu sebabnya The Harvest meluncurkan Mix Signature Product (satu kue dengan empat rasa). Lalu saat pandemi pun masyarakat lebih banyak memperhatikan kesehatan dan daya tahan tubuh maka dibuatlah healthy cake series seperti Strawberry Oat Cheese Cake dan ada beberapa kue less sugar lainnya seperti Vegan Chocolate Peanut Butter cake dan Less Sugar Gluten Free Brownie, serta ada juga Healthy Hampers (semacam parcel). Tak hanya itu, The Harvest juga membuat frozen bread yang dihadirkan karena melihat kebutuhan konsumen yang lebih banyak tinggal di rumah akibat pandemi namun ingin membuat dan memililiki pengalaman membuat kue sendiri di rumahnya.

Jadi dalam menghadapi kondisi sulit di saat pademi, segala upaya diusahakan The Harvest. “Segala usaha kami lakukan seperti jemput bola melalui penjualan online, setiap hari diskusi untuk menganalisis penjualan produk dan ukuran kuenya yang laku, membuat produk baru dan membuka outlet dengan konsep baru. Jadi eksekusi menjadi nilai lebih kami dan tim sangat solid mulai dari bagian produksi, operasi, marketing, dsb. Di saat pandemi, kami berani melakukan ekspansi, inovasi dan bergerak cepat,” ungkap alumni jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang Sumatera Barat ini menegaskan.

Bicara strategi promosi, The harvest sangat fokus dalam memanfaatkan digital marketing seperti media sosial, website, email, e-commerce dsb karena digital marketing bersifat targeted dan personalized sehinga pihaknya bisa menjangkau target audience yang sesuai dengan harapannya. Namun demikian, The Harvest juga sering melakukan promosi melalui bilboard di tempat-tempat strategis dan membuat promo di tokonya dengan tema yang selalu berganti-ganti.

Di momen-memen khusus, The Harvest juga sering melakukan aktivasi merek. Contohnya saat bulan Ramadhan yang sering dikaitkan sebagai bulan berbagi, terlebih pada kondisi Covid-19 ini, The Harvest bekerja sama dengan Dompet Dhuafa mengajak pelanggannya untuk peduli dengan keadaan sekitar sambil berbelanja di outletnya. The Harvest berinisiasi mangajak para pelanggannya untuk berbagi. Pada Ramadhan sebelumnya, The Harvest selalu mambagikan hadiah kepada pelanggannya namun pada Ramadhan tahun kemarin dan dilanjutkan pada Ramadhan tahun ini, The Harvest mengajak pelanggannya menyisihkan 1% dari penjualan Hampers untuk membantu para relawan dan petugas pejuang Covid-19 dalam penyediaan alat pelindung diri (APD), suplemen, dan paket makanan.

Dengan berbagai langkah yang dilakukannya, The Harvest di masa pandemi 2020 tumbuh sebesar 30% atau tumbuh dua kali lipat dibanding di masa sebelum pandemi atau pada 2019 yang tumbuh 15%. “Ini blessing buat kami di mana saat banyak bisnis yang terpuruk, kami Alhamdulillah tumbuh di luar apa yang kami pikirkan,” ucapnya bersyukur. Di tahun ini, pihaknya tetap optimistis bisnisnya akan tetap tumbuh. “Kami tetap optimis tahun ini akan tumbuh lagi dan mudah-mudahan di 2022, The Harvest akan menjadi Rp 1 triliun company,” katanya berharap.

Selain tumbuh di atas rata-rata industrinya, Evaliny juga bersyukur di perusahaannya hingga saat ini tidak ada PHK dari total 2000 karyawannya, mulai dari karyawan produksi di pabriknya di Sentul Bogor hingga di berbagai outletnya di seluruh Indonesia. “Alhamdulillah kami tidak ada PHK, malah ada pemberian bonus bagi karyawan. Memang komiten kami tidak ada PHK saat pandemi. Ke depan, kami akan lebih banyak berbagi di saat kondisi sulit,” ujar mantan CFO PT Cisadane Raya Chemical ini.

Kalau melihat sejarahnya, The Harvest yang merupakan brand lokal sudah hadir sejak 17 tahun lalu atau berdiri sejak 2004. The Harvest didirikan oleh Lal De Silva, orang Sri Langka yang merupakan mantan chef di Hotel Four Season Jakarta. Kehadiran The Harvest saat itu disambut baik oleh konsumen. Maklum saat itu untuk mendapatkan kue-kue premium (premium cakes) masih terbatas hanya ada di hotel bintang 5. “Jadi The Harvest pada masa itu memberikan akses yang lebih mudah untuk konsumen bisa menikmati premium cake 5 stars. Saat itu, Lal De Silva bisa membaca peluang sehingga mendirikan toko kue The Harvest pertama di Senopati Jakata,” katanya menceritakan.

Pada 2017, The Harvest diakusisi Maritte Limited Ltd Hong Kong (Grup Falcon House Partners) dengan menanamkan sahamnya sebesar 85% dan sejak saat itu The Harvest makin agresif melakukan ekspansi bisnisnya. Contohnya berganti manajemen baru, toko terus bertambah dari awalnya 34 toko, hingga per Maret 2021 menjadi 75 toko di Indonesia.

Setelah berhasil menggarap segmen premium dengan brand The Harvest, maka di 2019 perusahaan ini mulai agresif kembali menggarap pasar kelas menengah dengan mengibarkan bendera The Harvest Express yang berada di gedung-gedung perkantoran untuk mengikuti gaya hidup modern saat ini. Dengan konsep outlet di perkantoran sehingga pembeli tidak perlu disediakan kursi dan meja karena The Harvest Express ini sangat minimalis 40 – 90 m2 dengan biaya capex yang sangat kecil.

The Harvest Express pertama yang dibuka di Jakarta adalah di Gedung BNI 46 dan dilanjutkan di gedung lainnya seperti Gedung Bursa Efek Indonesia, Arcadia, L’avenue, Plaza Mandiri, Mid Plaza dan banyak gedung perkantoran lainnya. Tidak berhenti di sini, sebagai wujud komitmen untuk menjangkau lebih banyak pelanggan, pihaknya juga merambah stasiun kereta api agar orang yang pagi-pagi sudah harus berangkat ke luar rumah/ke kantor dapat menikmati kopi dan sarapan selama di perjalanan dan saat mereka pulang ke rumah juga dapat membawa pulang oleh-oleh buat keluarganya. Itu sebabnya The Harvest Express hadir juga di stasiun kereta api seperti di Stasiun Gambir keberangkatan, Stasiun Gambir kedatangan, dan Stasiun kota BNI Sudirman.

Jadi saat ini dari total 75 outlet yang dimiliki perusahaan ini terbagi dalam tiga brands outlet. Pertama, The Harvest yang konsepnya stand alone atau berdiri sendiri, jadi tidak perlu masuk ke mal atau perkantoran. Produk yang dijual seperti cake, cookies, parcel, chocolate, ice cream, macaroon, dan cake yang dibuat untuk acara spesial seperti perayaan ulang tahun, perkawinan, pertemuan kantor ataupun keluarga. Kedua, The Harvest Express dengan konsep pelayanan yang cepat grab to go concept untuk melayani kalangan perkantoran di mana lebih banyak orang datang dan lebih cepat dalam melayani, ambil barang langsung bayar. Produknya seperti kopi, roti, danish, dan donat. Harga kopinya relatif murah sekitar Rp 12.000/cup dan rotinya Rp 10.000 – 22.000 /piece. Per Maret 2021, The Harvest Express berjumlah 13 outlet.

Ketiga, restauran Almond Tree, konsepnya mengombinasikan kue, roti, cookies, dan hot food. Di sini konsepnya dine in dengan menu andalannya iga penyet, steak dan spagethy. Ada juga kopi dan hamper tapi kuenya tidak semahal di The Harvest. “Sebetulnya, Almond Tree ini sudah ada sejak 2004 tapi belum dikembangkan lagi saat itu,” ujarnya.

Pada 2019, The Harvest mulai melebarkan sayap dengan meningkatakan penjualan bukan hanya B2C tapi mulai ke B2B seperti bekerja sama dengan Aero Food Indonesia, Toyota, dan institusi perbankan seperti BNI dan Bank Mandiri. “Yang menjadi nilai lebih The Harvest dari bisnis lainnya adalah di eksekusi kesiapan produk dan armada melayani 75 toko sekaligus dengan mengikuti standard safety food dan produk halal dalam melayani seluruh customer dari seluruh Indonesia,” kata Evaliny menyimpulkan.

Tahun ini, perusahaan ini akan tetap fokus untuk menghadirkan produl-produk baru yang sesuai kebutuhan konsumen, meningkatkan online sales channel lewat partnership dengan GoFood, Grab Food, dan yang terbaru Shopeefood. Lalu meningkatkan akusisi pelanggan melalui program loyalty bernama The Harvest Treats. Selain itu, perusahaan ini telah bekerja sama dengan Warmer Bross dalam penyediaan kue ulang tahun berkarakter dan akan ada kolaborasi dengan salah satu selebriti nasional untuk membuat produk barunya.

Dalam pandangan Yuswohady, pengamat pemasaran, bisnis makanan dan minuman yang termasuk salah satu bisnis yang menjadi kebutuhan di era pandemi. Ketika pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia tahun lalu, semuanya berubah frontal. Kebutuhan konsumen berbalik secara instan. Kalau sebelumnya kebutuhan mereka didominasi oleh self-actualization dan self-esteem, maka kini kebutuhan mereka back to basic ke tiga kebutuhan mendasar yaitu: makan dan minum, kebutuhan kesehatan, dan keselamatan. Artinya prioritas konsumen bergeser kepada kebutuhan-kebutuhan dasar dan memangkas seluruh pengeluaran di luar tiga kebutuhan tersebut.

Saat pandemi pun membuat aktivitas belanja online mengalami peningkatan. Dengan demikian, konsumen cenderung membelanjakan uang untuk kebutuhannya di e-commerce dibandingkan di retail offline. Selain lebih praktis dan lengkap, harga yang ditawarkan di e-commerce bisa lebih murah. Dan yang paling penting dalam menghadapi pandemi adalah kelincahan beradaptasi. “Modal paling berharga bagi seorang marketers di era pandemi adalah kelincahan beradaptasi. Demikian juga, kecepatan marketer beradaptasi ke kondisi next normal akan menjadi kunci kesuksesan di era pascapandemi,” ujar Yuswohady.

Ke depan, bisnis makanan dan minuman masih tetap menjanjikan. Seperti di tahun ini, Kemenperin meramalkan pertumbuhan industri makanan akan mulai menggeliat kembali mencapai 4,49%, sedangkan itu industri minuman dapat tumbuh hingga 4,39%. Artinya, Kemenperin meramalkan industri makanan dan minuman dapat tumbuh sekitar 4,44% pada 2021 atau lebih baik dibanding tahun lalu.

Dede Suryadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved