Marketing Strategy

Guru Besar IPB: Kelola Lahan Gambut, Tirulah Malaysia!

Guru Besar IPB: Kelola Lahan Gambut, Tirulah Malaysia!

Supiandi Sabiham Guru Besar IPB yang juga Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) mengungkapkan, Indonesia perlu merujuk kepada Malaysia dalam pengelolaan lahan gambut. Di Malaysia, khususnya Sarawak sebagian kawasan yang dipakai untuk perkebunan berada di kawasan gambut.

“Mereka mampu mengelola kawasan gambut dengan baik karena menerapkan water management,” kata Supiandi , dalam acara diskusi publik “Memperlakukan Lahan Gambut dengan Benar, di Hotel Menara Peninsula, Jakbar, Rabu (18/11).

Ia juga merekomendasikan, kawasan gambut terutama gambut terdegradasi sebaiknya dikelola untuk kegiatan produktif agar tidak semakin rusak. “Tata kelola air yang baik mampu mempertahankan kelembaban lahan gambut serta menjaga cadangan air yang ada” tuturnya.

Saat ini, lanjut dia, dari 15 juta hektar lahan gambut di Indonesia, sekitar 4 juta ha terpakai untuk kegiatan produksi, 4 juta ha lagi terdegradasi, sementara 2 juta ha masih berupa semak belukar dan sisanya hutan.

Adapun peneliti lahan gambut asal Malaysia, Lulie Melling dalam kesempatan yang sama menjelaskan, tanah gambut bisa dubah menjadi tanah pertanian untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan memberikan pendapatan kepada negara.

“Malaysia bisa terselamatkan krisis ekonomi tiga kali sebagai pengaruh sawit. Gambut ibarat itik bertelur emas,” ujar perempuan bergelar PhD yang menjabat sebagai Director of Tropical Peat Research Laboratory Unit (TPRL) Malaysia, itu dalam siaran pers yang diterima redaksi Majalah SWA, Kamis (19/11).

Lulie Melling (kedua dari kiri, bersyal oranye & Supiandi Sabiham (kedua dari kanan, berkemeja biru) dalam diskusi publik Memperlakukan Lahan Gambut dengan Benar di Hotel Menara Peninsula.

Lulie menerangkan, di Sarawak, salah satu negara bagian Malaysia, terdapat 1,2 juta hektar lahan gambut. Luas itu setara dengan 13 persen dari luas daratannya. “Di Serawak, jumlah areal perkebunan sawit naik dua kali lipat. Dari segi ekonomi di Serawak, pendapatan secara langsung sawit di lahan gambut mencapai RM 400 juta-500 juta per tahun,” ujarnya.

Karena itu terdapat rencana peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit hingga mencapai 2 juta ha di Sarawal demi mengejar target meraih devisa USD 8 miliar dolar. “Targetnya pada tahun 2020, pendapatan dari pajak ekspor mencapai USD 1 miliar. Sawit itu komoditi yang paling tinggi pajak,” ungkapnya.

Terkait dengan kontroversi pembukaan lahan gambut dengan cara dibakar, Lulie pun menjelaskan bahwa di Malaysia sesungguhnya juga terdapat aktivitas pembakaran untuk pembukaan lahan kelapa sawit. Namun bedanya, pembakarannya dilakukan dengan sangat terencana dan disertai dengan ijin yang jelas.

“Pertama,harus mendapat ijin kepolisian setempat, kedua, tidak boleh dilakukan di musim kemarau. Ketiga, bahan yang hendak dibakar harus dikumpulkan dan ditumpuk dulu, tidak boleh tersebar, agar apinya tidak menyebar,” ujar Lulie.

Adapun untuk membuka lahan gambut yang benar, maka harusnya dilakukan drainase, pemadatan, dan pengelolaan air terlebih dahulu agar lahan bisa digunakan dengan baik sebagai media tanam kelapa sawit. Bahkan, limbah bekas pembukaan lahan gambut, harusnya digunakan untuk pemadatan lahan, yang efeknya bisa meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit itu sendiri.

“Itu yang banyak orang tidak tahu. Harus dipadatkan. Daripada dibakar lebih baik digunakan untuk pemadatan. Sekali dipakai untuk pemadatan, hasilnya bisa berguna 25-30 tahun ke depan dan lebih tinggi produktivitas tanaman sawitnya. Ujung-ujungnya jadi lebih murah, ketimbang dibakar,” jelas Lulie.

Supiandi turut menjelaskan, sesungguhnya akibat kondisinya yang lembab, lahan gambut sebenarnya tidak mudah terbakar. Namun kemudian, daya tahan itu seringkali hilang akibat didorong permasalahan sosial di sekelingya.

“Ketahanan terhadap daya bakar sebetulnya tinggi di lahan gambut, tapi kemudian ada permasalahan sosial di sekelilingnya, ini yang jadi pemicu. Perlu penelitian sosial lanjutan agar ada bisa dicegah. Kebakaran di lahan gambut sangat komplek, tidak bisa disederhanakan,” katanya.

Adapun ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB, Ricky Avenzora, meminta pemerintah untuk satu suara dalam menangani masalah gambut.

“Pemerintah terutama di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus menjaga betul pernyataan agar tidak bisa membuat resah, harus memberi solusi,” kata dia Ricky yang juga Pengamat Lingkungan dan Kehutanan.

Ia menjelaskan, saat ini posisi sawit Indonesia nomor satu di dunia namun kemudian jika terus diberi kampanye hitam, dan tidak direspon pemerintah dengan baik, maka posisi sawit Indonesia akan berbahaya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved