Marketing Trends zkumparan

Industri Penjualan Langsung Indonesia Akan Capai Rp25 Triliun?

Pada Juni 2017 World Federation of Direct Selling (WFDSA) merilis data penjualan langsung (direct selling) global 2016 nilainya US$ 182,6 miliar, naik 1,9% dari 2015. Hasil riset ini juga menunjukkan pertumbuhan global didorong oleh peningkatan di tiga wilayah yang terbersa yaitu Asia Pasifik 46%, Amerika 33%, dan Eropa 20%, sisanya di Timteng dan Afrika 1%.

Menurut Djoko Hartanto Komara, Ketua APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia), pertumbuhan penjualan langsung Indonesia saat ini nomor dua di dunia setelah China dengan angka 10,3%. Sedangkan China pertumbuhannya 12%. Lalu nilai transaksi penjualan langsung di Indonesia pada 2016 mencapai US$ 1,184 juta atau setara dengan Rp 15,75 triliun, meningkat 10% dibanding 2015 yang nlainya Rp 14,31 triliun.

Dengan pertumbuhan rata-rata 10% per tahun diprediksikan nilai penjualan langsung di Indonesia mencapai sekitar Rp 25 triliun pada 2021. Angka ini dipicu oleh bonus demografi di Indonesia yang cukup tinggi. Lalu, perkembangan media sosial yang sangat pesat di Indonesia juga menjadi motor pertumbuhan penjualan langsung.

Magnus Branstorm, Chairman of WFDSA, menuturkan, dunia berubah sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir termasuk Indonesia. Ini juga memengaruhi direct selling industry. Ia meyakini direct selling di sini bahkan bisa tumbuh jauh lebih besar dari yang diprediksikan. “Indonesia negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dunia saat ini. Dengan munculnya ecommerce selama ini meningkatkan pertumbuhannya. Industri direct selling mendukung pertumbuhan ekonomi negara, seperti Amerika saja 5 persen populasinya terkoneksi dengan direct selling,” kata pria yang juga CEO & President Oriflame Holdings.

Magnus meyakini pertumbuhan direct selling didorong 81% pemainnya oleh asosiasi industri ini. Menariknya perkembangan direct selling didorong oleh banyaknya wanita yang berperan sebagai diret seller dengan 74% didominasi wanita.

“Sharing ekonomi mengubah cara hidup manusia, pekerjaan, permainan, travel, penciptaan, cara belajar, bank dan konsumsi. Perubahan ini memunculkan “dunia” baru, tapi bukan berarti ini buruk. Bisa jadi menumbuhkan direct seller baru. Jadi direct selling is industry of tomorrow,” papar Magnus.

Ia menjelaskan, mengapa direct selling bisa menjadi industri masa depan saat kondisi disrupsi teknologi. Sebab, para direct seller akan makin masif bergerak dengan menggunakan media sosial dan teknologi. “Kalau dulu para direct seller ketok pintu dalam memperkenalkan produk, dengan media sosial mereka bisa merekomdasikan produk yang dijualnya lebih luas lagi. Produk lebih dipercaya untuk dibeli jika direkomendasikan,” ujarnya. Maka itu kepercayaan menjadi kunci bisnis ini, tapi juga menjadi tantangan di bisnis ini. “Kami dari asosiasi tahun ini mendorong agar pelaku di bisnis ini lebih bangga, meningkatkan komunikasi dan edukasi serta menegaskan dijalankannya etika para direct seller dalam menjalankan bisnisnya,” terang Magnus.

Djoko memprediksikan pertumbuhan direct selling di Indonesia tahun ini 12-15%. “Tantangan kita pada jiwa entrepreneurship yang rendah. Orang Indonesia masih senang jadi pegawai,” ujarnya. Saat ini disebut Djoko anggota aktif organisasi yang didirikan pada 1984 ini ada 85 perusahaan. Dan ada 14 juta direct seller yang terlibat di industri ini pada 2016. Angka ini akan naik, mengingat sifat industri ini tidak membatasi dan mensyaratkan orang dengan skill tertentu untuk bergelut di industri ini. “Selain itu menjadi direct seller memungkinkan fleksibilitas jam kerja dan bisa dari latar pendidikan apa pun,” katanya.

Editor: Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved