Marketing Strategy

Infocus Tidak Bisa Hanya Mengandalkan Popularitasnya Saja

Infocus Tidak Bisa Hanya Mengandalkan Popularitasnya Saja

Infocus adalah perintis pasar proyektor di Indonesia. Namanya sudah melegenda, sehingga nama Infocus yang semula sebuah merek berubah menjadi kategori produk. Padahal, Infocus jarang beriklan. Bagaimana fenomena infocus inidi mata pakar marketing. Simak pendapat Asnan Furinto, Direktur Program School of Government and Public Policy (SGPP), serta anggota Marketing Science Institute dan American Marketing Association, yang dituturkan kepada Ria Efriani Pratiwi:

Bagaimana pandangan Anda mengenai merek Infocus di pasar LCD Proyektor?

Saya tidak mendalami industri elektronik, tapi secara umum, memang Infocus ini sudah seperti top of mind customer, atau dia ini merupakan merek tapi sudah menjadi kategori produk saking propulernya. Seperti misalnya mentega yang identik dengan Blue Band, serta pasta gigi yang identik dengan Pepsodent. Di pasar proyektor, Infocus juga seperti itu. Karena orang ketika ingin membeli proyektor seringkali bilang, “Ada Infocus tidak?” Padahal bisa saja yang dimaksud merek lain. Ini menjadi suatu bukti kalau merek sudah menjadi kategori produk berarti tingkat awareness dan popularitas mereknya sudah kuat.

Infocus

Kondisi seperti tersebut, apa juga disebabkan bahwa Infocus itu merupakan merek proyektor yang pertama masuk Indonesia?

Ya, mungkin juga seperti itu. Bisa kita istilahkan dia sebagai market pioneer. Sehingga yang lain sudah ketinggalan, karena mereka keburu penetrasi dan menetapkan standar. Kecuali (merek) yang lain benar-benar menawarkan teknologi baru yang revolusioner atau breakthrough supaya bisa menggantikan LCD. Mungkin LCD-nya bisa langsung connect ke smartphone atau apa. Kalau bisa begini maka dia akan bisa mengalahkan Infocus (di pasar proyektor). Sedangkan kalau kompetisinya cuma mengandalkan berat produk atau ketajaman gambarnya, mungkin masih akan susah mengalahkan Infocus.

Kalau membicarakan teknologi proyektornya, mungkin merek yang lain juga bisa membuatnya. Tapi karena Infocus itu pionir maka ekspektasi awal konsumen sudah dibentuk oleh mereka, misalnya (proyektor) Infocus ini bentuknya seperti ini, dan beratnya segini. Ini bisa jadi kelebihan merek ini. Jadi pasti orang akan membandingkan dengan Infocus apabila dia mau membeli merek lain. Dalam arti kelebihan yang tidak bisa di-copy orang, menurut saya tidak juga sih, karena ada juga merek-merek proyektor lain yang kualitasnya bagus. Tapi Infocus memang sudah lebih dulu dan lebih lama di market, jadi susah juga untuk merek lain menggantikannya.

Ketika mewawancarai Dirut PT Triyaso, distributor resmi Infocus di Indonesia, saya mengetahui bahwa mereka sudah mengeluarkan proyektor yang berteknologi LED sehingga ukurannya lebih kecil sehingga beratnya ringan. Jadi menurut Anda, apa ini akan menjual lebih jauh lagi merek Infocus di pasar?

Ini kan evolusi teknologi, jadi ada tahapan-tahapannya. Dulu mungkin proyektor LED belum memungkinkan untuk diproduksi, tapi sekarang sudah bisa. Seperti misalnya televisi juga kan dulu ada tabung, plasma, LCD, kemudian LED itu yang terbaru. Ini evolusi teknologi yang natural. Jadi kalau sekarang Infocus masuk ke LED, mungkin tidak akan sefenomenal ketika mereka masuk ke LCD. Ini karena teknologi LED juga sudah sering dipakai saat ini.

Bagaimana Anda memandang cara pemasaran dan promosi Infocus? Merek ini bisa dibilang jarang beriklan.

Ya betul. Jadi karena mereka masuknya lebih dulu ke Indonesia, jadi belum ada pesaing, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan di market. Jadi beriklan itu belum menjadi andalannya. Sepertinya mereka meneruskan strategi jarang beriklan itu sampai sekarang, dengan biaya murah, tapi awareness orang soal Infocus sudah tinggi dan kualitasnya sudah teruji.

Tapi, sekarang ini sudah era yang berbeda, sehingga kalau Infocus hanya mengandalkan popularitas yang dulu, mungkin tidak akan cukup lagi (untuk menjaga pamor mereknya ke depan). Mungkin yang harus dilakukan tidak harus dalam bentuk iklan, tapi mungkin mereka bisa melakukan brand activation atau bisa bekerja sama (engagement) business to business (B to B) dengan yang lain, yang mana akan bisa membuat orang lebih aware lagi terhadap brand ini.

Berarti harus lebih banyak cara promosi below the line (BTL) daripada above the line (ATL) ya?

Produk-produk elektronik ini kebanyakan market-nya corporate, bukan B to C. Jadi kalau corporate itu kan lebih ke customer service management (CRM), jadi BTL mungkin harus lebih aktif daripada ATL-nya. Memang servis kepada customer itu harus tetap bagus, misalnya dengan ada garansi apabila ada reverse supply chain, atau kalau ada komponen yang rusak, cepat aksi (pembetulannya).

Menurut Dirut PT Triyaso juga bahwa mereka menginginkan agar principal Infocus di AS ikut serta dalam membiayai promosi. Bagaimana menurut Anda soal ini?

Kalau mereka mau mengaktifkan advertising, maka jika distributor yang menanggung ini semua akan berat. Maka kalau mereka mau lebih gencar promosi, ya lewat BTL, tetapi kalau mau ATL-nya lebih gencar, maka principal-nya harus ikut serta juga (membiayai promosi), karena kalau tidak, akan tidak fair untuk si distributornya juga.

Bisa memanfaatkan cara promosi yang lain tidak, misalnya melalui internet, atau juga menggencarkan word of mouth (WOM)?

Kalau WOM sepertinya tidak ya, karena ini bukan produk consumer goods. Lalu karena ini produk lama, maka WOM tidak terlalu main ya di Infocus. Kalau di internet, mungkin mereka bisa updatingwebsite-nya supaya lebih interaktif dengan user. Jadi mungkin ada customer service representative yang langsung online, atau ada chat room tempat orang-orang bisa bertanya soal teknologi proyektor. Jadi ini lebih ke edukasi market, bukannya penjualan transaksional langsung, serta lebih ke penyediaan konsultasi teknologi proyektor. Jadi mereka kelihatan sebagai ahli di bidang LCD proyektor.

Kalau dibandingkan dengan merek lawannya, seperti Epson, BenQ, Panasonic, atau Sony, apa Infocus ini masih lebih bagus?

Kalau secara aktual saya tidak tahu persis, tapi karena produk Infocus ini spesifik hanya proyektor, maka perkembangannya tidak secepat Panasonic, Sony, ataupun Samsung misalnya. Misalnya customer service-nya pun belum tentu orang tahu kalau dia (Infocus) punya juga. Sedangkan merek-merek besar lain biasanya sudah punya tempat tertentu yang jelas sebagai lokasi customer service-nya. Makanya website-nya harus lebih interaktif kepada customer, sehingga bisa menjadi andalan.

Bagaimana proyeksi Anda soal pasar proyektor di Indonesia ke depannya?

Proyektor ke depannya mungkin ukurannya akan mengecil dan semakin ringan. Dan bahkan mungkin convergence dengan alat-alat komunikasi lainnya seperti smartphone. Tapi ini mungkin masih butuh waktu beberapa tahun lagi sampai smartphone bisa juga berfungsi sebagai proyektor. Jadi kalau orang mau presentasi itu tidak perlu menenteng laptop atau proyektor lagi. Jadi ada fitur dalam smartphone itu yang bisa langsung menembak ke layar. Ke depannya, kalau proyektor mau survive, harus bisa mengikuti tren itu. Yakni beratnya makin ringan, resolusi makin tinggi, dan makin convergence serta compatible dengan smartphone juga tablet.

Bagaimana untuk mempertahankan merek Infocus ini ke depannya supaya tetap jadi yang terbaik?

Infocus harus bisa set the standards. Misalnya tadi Infocus mau masuk ke LED, maka mereka harus keluar dengan standar proyektor yang tidak bisa di-copy, tidak hanya sebatas dari spesifikasi, tapi misalnya proyektor Infocus itu bisa compatible dengan smartphone Apple atau Android. Ini berarti harus ada inovasi yang tidak konvensional.

Dengan ini dijalankan, maka Infocus akan bisa masuk ke pasar individual. Tapi kalau mainnya hanya di resolusi atau berat akan sulit penetrasi ke pasar baru, karena biasanya orang merasa tidak perlu, kenapa juga mesti membawa proyektor ke rumah. Tapi kalau sudah konvergensi maka orang juga akan berminat membelinya, karena misalnya dia bisa menonton film dari fitur proyektor di smartphone-nya yang bisa ditembakkan ke layar atau dinding. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved