Marketing Strategy

Ini Dia Jurus Ampuh Korporasi Memompa Kemandirian Masyarakat Melalui CSR

Ini Dia Jurus Ampuh Korporasi Memompa Kemandirian Masyarakat Melalui CSR

Sebagai sebuah institusi bisnis, perusahaan memang diwajibkan untuk mengejar profit. Namun, tentu saja, pengejaran laba yang membabi buta akan menimbulkan banyak kemudharatan. Itulah sebabnya berbagai perusahaan menerapkan program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR. Hasilnya, tak hanya bisnis perusahaan yang langgeng, masyarakat pun memetik banyak manfaat.

Melalui berbagai program CSR yang diembannya, perusahaan berupaya untuk menciptakan keseimbangan antara pengejaran tujuan bisnisnya sekaligus mengawal kelestarian lingkungan hidup seraya meningkatkan kesejahteraan penduduk di sekitar tempatnya beroperasi, atau yang umumnya dikenal dengan triple bottom line . Toh, pada akhirnya investasi perusahaan dalam program CSR-nya juga akan berdampak pada keberlangsung hidup perusahaan dalam jangka panjang.

Di Indonesia sudah tak terhitung jumlahnya perusahaan domestic dan asing yang mengimplementasikan program CSR. Adapun sejumlah perusahaan yang diwawancara SWA terkait program CSR-nya adalah PT Unilever Indonesia Tbk., Sinar Mas Group, PT Chevron Pasific Indonesia dan PT Astra International Tbk.

Unilever sendiri memilih jalur pemberdayaan masyarakat demi menyalurkan tanggung jawab sosialnya. Di antaranya program pembinaan petani kedelai hitam yang nantinya akan digunakan sebagai salah satu bahan baku utama dalam proses pembuatan Kecap Bango, produk unggulan Unilever.

Program ini mulai dirintis oleh Unilever sejak tahun 2002 di bawah kerangka kerja strategis Unilever Sustainable Living Plan, yang memberikan arahan kepada company bagaimana melakukan operasi di berbagai negara. “Dalam framework tersebut terdapat tiga pilar, yaitu health and nutrition, mengurangi dampak terhadap lingkungan, dan meningkatkan taraf kehidupan atau enhancing livelihood,” papar Sinta Kaniawati, General Manager Unilever Indonesia Foundation.

Lebih lanjut Sinta memaparkan, Unilver sebelum tahun 2000-an beroperasi layaknya perusahaan lain, yakni mendapat pasokan bahan baku dari para supplier. Namun, saat Unilever mengakuisisi brand Kecap Bango, perubahan dimulai. Produk Kecap Bango brand social mission, yaitu bagaimana produk tersebut dikelola bukan hanya sekedar dari sisi teknis tapi juga melihat aspek sosial.

Kedelai hitam sebagai bahan baku utama Kecap Bango sendiri merupakan hasil pertanian, di mana sebagian besar petaninya adalah petani kecil dengan luas lahan di bawah 0,5 ha, adapula yang menyewa lahan dengan sistem bagi hasil. “Kami melihat bahwa ada kesempatan untuk dapat terlibat lebih jauh sehingga memberikan manfaat kepada para petani sebagai beneficiaries. Hal ini juga berdasarkan pemikiran kami, bahwa jika Unilever ingin terus bisnisnya berjalan dalam hal ini produk Kecap Bango, maka kami harus memastikan rantai pasok berjalan terintegrasi dari hulu ke hilir. Mereka bukan obyek tetapi subyek, sedangkan korporasi adalah enabler,” ungkap Sinta.

Dalam program tersebut Unilever lantas menggandeng Universitas Gajah Mada untuk melakukan riset hingga menghasilkan varietas unggulan Indonesia kedelai hitam Malika, pendampingan petani, hingga bantuan sertifikasi untuk petani benih. “Kami juga menyebutnya sebagai model inklusif bisnis” ujarnya.

Saat memulai program ini di tahun 2002, awalnya hanya ada 12 petani binaan. Alasannya, karena belum banyak petani yang melakukan budidaya kedelai hitam Malika. Para petani mengkhawatirkan prospek pemasarannya plus harga pasar yang tidak pasti. Selain itu, para petani juga telah terbiasa menanam kedelai kuning.

Tetapi setelah banyak yang melihat keberhasilan petani yang sudah terbina, jumlah peserta binaan menjadi hampir 9.000 petani pada tahun 2012. “Dulu kami masuk ke masing-masing petani karena mereka belum terorganisisr, saat ini kami lebih mudah karena sudah terbentuk koperasi. Pendamping lapang kami pun dapat masuk dalam ranah koperasi,” jelas Sinta.

Hasilnya, rata-rata produksi komoditas ini bisa meningkat sampai 2,7 ton per hektar dalam setahun. Saat ini kedelai hitam Malika seluruhnya dipasok oleh petani kedelai hitam di Indonesia, yaitu petani di Yogyakarta dan Jawa Timur. “Dengan adanya jaminan pasar, seluruh produksi kedelai hitam dari petani kami beli dengan harga diatas kedelai kuning. Hal ini pun berpengaruh terhadap kehidupan mereka baik dari sisi ekonomi maupun jaringan sosial,” Sinta mengklaim.

Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto (keempat kiri) bersama Presiden Komisaris PT Astra Mitra Ventura (AMV) Gunawan Geniusahardja (ketiga kiri), Presiden Direktur PT Astra Daihatsu Motor Sudirman Maman Rusdi (kedua kiri), Executive Vice President Director PT Astra Honda Motor Johannes Loman (kiri) dan Presiden Direktur PT Astra Mitra Ventura Henry C Widjaja (kanan) menyimak penjelasan pemilik usaha PT Aristo Satria Mandiri Indonesia (ASMI) Dadi Siswaya mengenai salah satu hasil karya ASMI pada acara kunjungan lapangan Perusahaan Patungan Usaha (PPU) binaan AMV (1/6).

Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto (keempat kiri) bersama Presiden Komisaris PT Astra Mitra Ventura (AMV) Gunawan Geniusahardja (ketiga kiri), Presiden Direktur PT Astra Daihatsu Motor Sudirman Maman Rusdi (kedua kiri), Executive Vice President Director PT Astra Honda Motor Johannes Loman (kiri) dan Presiden Direktur PT Astra Mitra Ventura Henry C Widjaja (kanan) menyimak penjelasan pemilik usaha PT Aristo Satria Mandiri Indonesia (ASMI) Dadi Siswaya mengenai salah satu hasil karya ASMI pada acara kunjungan lapangan Perusahaan Patungan Usaha (PPU) binaan AMV (1/6).

Sementara itu Sinar Mas Group memilih dua pendekatan dalam mewujudkan kepedulian sosialnya, yakni melalui community development dan creating shared value (CSV). “Antara community development dan CSV ini saling menunjang. Kalau yang community development itu kami masuk dengan membangun pendidikan, kalau creating shared value kami menciptakan nilai-nilai itu dengan cara share, sehigga mereka bisa mandiri secara ekonomi,” ujar Hasan Karman, Direktur Eksekutif Eka Tjipta Foundation (ETF) yang berada di bawah naungan Sinar Mas Group.

Adapun program CSR-nya sendiri lebih bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sekaligus memompa kemandirian masyarakat dengan penekanan pada aspek pendidikan dan lingkungan hidup. “Programnya yang paling besar porsinya dalah pendidikan, kami bagi dalam tiga kategori yaitu pemberian beasiswa, kedua pelatihan mediasi dan ketiga publikasi dalam bentuk buletin yang kami terbitkan,” urai Hasan.

Hingga saat ini, ETF menyediakan beasiswa S-1 baik di dalam maupun luar negeri. Beasiswa untuk dalam negeri bertajuk Tjipta Sarjana, sementara di luar negeri bertitel Tjipta Pemuda Bangun Bangsa. Diakui Hasan, kuota untuk beasiswa S1 dalam negeri lebih banyak, sedangkan yang luar negeri sedikit karena dananya lebih besar. “Hingga tahun 2015 kami sudah memberikan beasiswa kepada 2.455 khusus yang S-1 Tjipta Sarjana,” papar Hasan seraya menyebut ETF juga menyediakan beasiswa S-2 dan S-3 di dalam dan luar negeri.

Sejumlah keuntungan pun berhasil dipetik oleh Sinar Mas melalui program CSR-nya. Di antaranya yakni meminimalisir bibit-bibit konflik dengan masyarakat sekitar. “Katakanlah misalnya kami investasi di suatu tempat di mana masyarakat setempatnya belum terlatih . Karena itu kami mendatangkan dari tempat lain misalnya dari Jawa. Tentu yang masyarakat setempat akan merasa cemburu, maka kami kemudian melalui CSR dibuka pelatihan, kami ambil mereka dilatih untuk jadi paling tidak tenaga supportingnya,” ungkap Hasan. Selain itu diakui Hasan dampak positif lainnya yakni menghidupkan perputaran ekonomi serta meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat sekitar.

Di sisi lain, raksasa korporasi Indonesia yang memiliki 189 anak usaha dengan 223.019 karyawan yang tersebar di seluruh nusantara, PT Astra International Tbk (Astra) mewujudkan program CSR-nya di bawah semboyan Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia). Tak tanggung-tanggung, perusahaan yang didirikan oleh almarhum William Soeryadjaya itu mengawal program CSR-nya di bawah sembilan yayasan sekaligus yang bergerak di bidang pendidikan, lingkungan hidup, pemberdayaan ekonomi masyarakat atau UMKM dan kesehatan.

Kesembilan yayasannya yakni Yayasan Toyota & Astra, Yayasan Astra Bina Ilmu, Yayasan Astra Honda Motor, Yayasan Amaliah Astra, Yayasan Karya Bakti United Tractors, Yayasan Pendidikan Astra Michael D. Ruslim, Yayasan Astra Agro Lestari dan Yayasan Insan Mulia Pamapersada Nusantara, dan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA).

Dari kesembilan yayasan tersebut yang bisa dibilang turut berkontribusi secara langsung terhadap kelangsungan bisnis Astra adalah YDBA. Betapa tidak, yayasan yang didirikan pada 22 Mei tahun 1980 itu kini membina tak kurang dari 8.916 UKM dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 60 ribu orang lebih!

Diungkapkan oleh FX. Sri Martono, ketua pengurus YDBA, yayasannya didirikan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan dan membantu UMKM terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan mata rantai bisnis Astra. “YDBA mempunyai visi menjadi institusi yang terbaik di bidang pembinaan dan pengembangan UMKM di Tanah Air dan sebagai value chain bisnis Grup Astra dengan penekanan pada perkuatan UMKM dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut YDBA mengemban tiga misi utama. Pertama, membina dan mengembangkan UMKM yang terkait dengan bisnis Grup Astra yakni di bidang subkontraktor dan bengkel maupun yang tidak terkait. Selanjutnya, membina UMKM dan memberdayakan usaha ekonomi masyarakat di sekitar lokasi network Grup Astra. Terakhir, mengembangkan kewirausahaan (enterpreunership) serta keterampilan masyarakat (life skills) sesuai dengan kompetensi yang dimiliki Grup Astra.

Dalam upaya memandirikan UMKM, YDBA sendiri membuat strategy roadmap yang dibagi dalam 3 tahapan. Tahap pertama di tahun 2012-2014 berfokus dalam membangun prestasi berlandaskan kompetensi. Sementara tahap kedua yang direncanakan berlangsung dari 2015-2017 difokuskan untuk menjadi partner yang terpercaya. Terakhir, tahap ketiga tahun 2018-2020, YDBA akan berfokus untuk menjadi model pengembangan pertumbuhan UMKM di Indonesia. “Untuk itu YDBA harus bisa mencapai operational excellence,” ujar Sri Martono.

Strategi-strategi tersebut selanjutnya diturunkan dalam program-program pelatihan dan pendampingan UMKM terutama dalam manajemen produksi, kualitas, sumberdaya manusia, pemasaran, keuangan, environment health and safety & corporate social responsibility, serta memberikan fasilitasi akses pada alih teknologi, pemasaran dan pembiayaan.

Sebagaimana Astra mengelola bisnisnya, manajemen YDBA pun ditangani dengan sangat professional. YDBA memiliki Rencana Kerja dan Anggaran tahunan (annual plan) dengan key performance indicator (KPI) yang di-approved dan di-review pencapaiannya secara teratur oleh Pengawas dan Pembina. Secara berkala, YDBA juga diaudit oleh Group Internal Audit and Risk Management (GIARM) PT Astra International Tbk. Lebih jauh lagi, bahkan para petinggi Astra pun turut diterjunkan langsung mengelola YDBA.

“Komitmen dan dukungan manajemen PT Astra International Tbk pada YDBA ditunjukkan melalui keterlibatan para business leaders dalam kepengurusan yayasan sebagai Pembina, Pengawas dan Pengurus. Mereka adalah para direksi dan eksekutif perusahaan di lingkungan grup Astra yang mewakili lini bisnis Astra,” tegas Sri Martono.

Sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran di atas, pun YDBA merancang program-program pelatihan, pengembangan dan pembinaan UMKM berdasarkan kebutuhan dan arah atau strategi bisnis grup Astra, serta kebutuhan untuk community development di sekitar lokasi usaha anak-anak perusahaan Astra. “Semua itu tentu harus sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, juga disesuaikan dengan program pemerintah yang relevan,” urai Sri Martono.

Selanjutnya program-program tersebut diturunkan ke dalam modul-modul pelatihan dan pendampingan untuk masyarakat, UMKM pemula, UKM madya, UKM pra mandiri dan UKM mandiri, dan diimplementasikan melalui pelatihan-pelatihan di YDBA maupun di 13 Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB), 10 Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan 6 Koperasi yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Hasilnya jumlah UKM yang dibina YDBA pun terus meningkat dengan signifikan dari tahun ke tahun. Dari 7 ribu UKM pada empat tahun silam, hingga akhir per Juni kemarin jumlah UKM binaan YDBA sukses menembus rekor hingga mencapai 8 ribu lebih UKM! Tentu sebuah pencapaian yang luar biasa dan belum pernah dicapai oleh yayasan lainnya di Indonesia.

UKM tersebut pun berperan penting dalam operasional bisnis Astra. Mereka menjadi subkontraktor dari perusahaan manufaktur grup Astra yang membutuhkan mitra untuk memproduksi komponen-komponen baik berteknologi sederhana maupun tinggi. “Subkon tier 2 maupun 3 yang memproduksi sub komponen, biasanya usahanya masih setingkat UKM alias aset bersih di luar tanah dan bangunan di bawah Rp 10 Miliar,” jelas Sri Martono.

Salah satu contoh nyata dari kontribusi tersebut, yaitu adanya komponen lokal yang terdapat di Mobil Daihatsu Ayla. Dimana kandungan lokal mobil tersebut telah mencapai 87% dengan memberdayakan 847 perusahaan lokal dan menyerap 487.531 tenaga kerja. Di antara 847 perusahaan tersebut, sejumlah 64 UKM merupakan UKM mitra binaan YDBA.

Contoh kontribusi yang lain adalah pada sepeda motor Honda Vario yang terdiri 1.634 komponen, 1.630 diantaranya adalah komponen lokal atau sebesar 99,7% yang disupply oleh 149 perusahaan sub contractor tier 1. YDBA telah membantu mengembangkan dan membina 79 UKM mitranya menjadi pemasok sub komponen ke para sub contractor tier 1 dimaksud sebagai sub contractor tier 2 maupun 3.

Agar kualitas para UKM itu terus meningkat, YDBA pun melakukan pembinaan secara intensif untuk meningkatkan kompetensi dan mempercepat peningkatan kinerja dalam lima aspek, yakni Quality, Cost, Delivery, Safety dan Moral (QCDSM). Program pelatihan demi meningkatkan kelima aspek tersebut di antaranya Basic Mentality, 5 R, Lean Production System, Quality Management, Quality Control Circle (QCC), HRD, dan Pembukuan Sederhana.

YDBA juga rajin dalam mengembangkan kapasitas UKMnya bekerja sama dengan banyak pihak. Caranya dengan membuat training dan bahkan business matching. Bekerja sama dengan Haida Jepang, YDBA menjajaki business matching UKM binaannya dengan UKM dari Jepang. “Kami mengirim UKM-UKM ke Jepang untuk melihat bagaimana UKM di sana, bagaimana pabrik-pabrik di sana,” urai Sri Martono.

Ditambah lagi Astra mengadakan program “Dorong Terus Leadership, Produktivitas, Hasrat Improvement & Customer Service, atau disingkat Dolphins bagi seluruh karyawannya termasuk YDBA. Ajang tersebut mendorong karyawan dan mitra UKM Astra untuk selalu melakukan improvement, kaizen dan inovasi melalui ide-ide baru yang membawa kepada perubahan yang lebih baik.

Hal tersebut juga ditularkan oleh YDBA kepada para UMKM mitranya. Salah satu langkah yang dilakukan YDBA untuk mendorong para UKM melalukan inovasi, yaitu dengan mengadakan Konvensi Quality Control Circle (QCC) setiap tahun. Dimana, para UMKM berlomba untuk menunjukkan QCC terbaik dari masing-masing perusahaannya. ”Terakhir, ajang ini dilaksanakan pada tanggal 27 Agustus 2015 saat Perayaan HUT ke-35 Tahun YDBA. PT Inti Polimetal berhasil mendapatkan penghargaan sebagai UKM dengan QCC Terbaik,” ungkap Sri Martono.

Selain UKM, para individu pun ternyata memetik banyak manfaat dari YDBA. Contohnya, di bidang perbengkelan, bekerjasama dengan PT Astra Honda Motor, salah satu anak usaha Astra, YDBA telah melatih banyak pemuda putus sekolah atau pencari kerja dengan tujuan menjadikan mereka memiliki keterampilan. Setelah lulus dan mengantongi sertifikat mereka bisa bekerja di bengkel-bengkel jaringan AHAS atau pun menjadi pengusaha bengkel. Hingga kini tak kurang dari 588 telah mendapat pelatihan tersebut.

Meski demikian, program YDBA tak melulu terkait bisnis inti Astra. Terdapat pula sejumlah program yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, meskipun tidak terkait dengan bisnis Astra.

Di antaranya program di bidang pertanian, di sekitar lokasi tambang Grup Astra. Bekerjasama dengan anak-anak perusahaan Astra terkait, YDBA mendorong masyarakat dengan kebiasaannya bercocok tanam maupun memelihara ikan untuk dijadikannya bisnis dengan menangkap pasar di daerah mereka tinggal.

Sebagai contoh, Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) Banua Prima Persada, Binuang, Kalimantan Selatan berhasil mendampingi Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaaan Swadaya (P4S) Patra dengan pendekatan Quality, Cost, Delivery dan Innovation (QCDI) sehingga dapat menyuplai hasil tanaman hortikulturanya, seperti cabai besar merah, tomat, dan timun ke pasar retail modern. Kelompok tersebut juga berternak sapi yang kotorannya diolah menjadi sumber bahan dasar dalam teknologi biogas dan bioslurry. Teknologi biogas ini merupakan salah satu improvement yang dicanangkan LPB Banua Prima Persada untuk menciptakan kegiatan ekonomi baru dan memperkuat usaha pertanian yang sudah ada.

Dari teknologi biogas ini, Kelompok Tani Patra ternyata berhasil menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi para Ibu Rumah Tangga untuk membuat produk olahan seperti keripik dan snack lainnya. “Adanya biogas ini juga memberikan pendapatan yang lebih tinggi bagi Kelompok Tani Patra,” jelas Sri Martono.

Sri Martono menjelaskan berbagai program tersebut sejatinya ditujukan demi mewujudkan kemandirian masyarakat dan UKM dengan income generating activity yang didalamnya terdapat kegiatan produksi yang menghasilkan produk, memiliki pasar dan memiliki keuntungan dalam bisnis.

“Tidak hanya itu, kegiatan tersebut juga akan menimbulkan perubahan pada mind set, etos kerja dan kedisiplinan yang akan mendorong UMKM atau masyarakat untuk menjadi warga usaha yang baik, menjalankan kegiatan usaha yang mendatangkan penghasilan yang nantinya akan tumbuh, mandiri dan dapat meningkatkan kesejahteraannya,” ujar Sri Martono.

Eddy Dwinanto Iskandar


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved