Marketing zkumparan

Koke, Aroma Tak pernah Bohong

Koke, Aroma Tak pernah Bohong
Yudi Prasetyo, founder Koke (kopi kreatif), pengharum mobil beraroma kopi

Siapa belum mengenal Koke? Parfum mobil dari biji kopi karya PT Kreasi Intan Nusantara (KIN) ini sedang nge-hit karena sensasi aromanya yang khas dan berkarakter mengundang kegairahan bagi pengendaranya. Aroma kopi yang kuat sungguh memberikan energi dan mood yag lebih baik bagi siapa pun yang mencium baunya.

Koke pengharum mobil bukan produk pertama KIN. Sebelumnya, KIN memperkenalkan kerajinan gelang kopi. Gelang unik ini dirangkai dari biji kopi arabica yang kuat dan bau harum kopinya tahan lama. Menjadi aksesori penunjang penampilan, gelang kopi terkenal di kalangan anak muda, terutama yang membeli via online. Dengan harga terjangkau –gelang Rp 35 ribu, tasbih Rp 50 ribu, kalung Rp 150 ribu– permintaan via online untuk gelang kopi ini pun meningkat dari waktu ke waktu.

Adalah Yudi Prasetyo, pria asal Palembang, yang percaya dengan ungkapan “rasa (aroma) tak pernah bohong”. Ia yakin, bisnis yang memanfaatkan aroma (kopi) tidak akan pernah merugi. Keyakinan itu diwujudkan dengan merintis Koke –singkatan dari kopi kreatif– awal November 2015.

Pria 27 tahun ini bercerita, saat itu awalnya ia masih bekerja di salah satu media nasional di Jakarta. Ia mengaku sering menyaksikan teman-temannya yang menyukai aroma kopi, tetapi tidak bisa mengonsumsinya karena alasan tertentu. “Lalu, saya berpikir bagaimana caranya agar aroma kopi ini bisa dinikmati orang tanpa harus diminum,” ceritanya mengingat kejadian tiga tahun lalu.

Rupanya, alam menjawab apa yang dipikirkan Yudi. “Tiba-tiba, saat dinas ke Jogja, saya ketemu teman yang anak petani kopi di daerah Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. (Ia) minta tolong untuk membantu mengakomodir agar biji kopi yang tidak layak konsumsi bisa dijadikan sesuatu,” kata Yudi. Hal itu pun langsung tersambung dengan ide yang ada di benaknya ketika itu.

Tak ingin kehilangan waktu, Yudi bergegas menghubungi teman-teman barista di Yogyakarta untuk mendiskusikan bagaimana caranya agar biji kopi tidak layak konsumsi itu bisa dimanfaatkan menjadi manik-manik dan terus mengeras. Seingatnya, saat itu banyak temannya tidak yakin dengan idenya, tetapi ia tetap bersikukuh menciptakan gelang kopi dari biji kopi yang sudah mengeras. Intinya, ia ingin biji kopi itu tidak terbuang, tetapi menjadi manik-manik yang difungsikan untuk gelang atau kalung.

Setelah melakukan uji coba, dengan modal awal Rp 500 ribu, Yudi membeli bahan-bahan, antara lain tali, biji kopi, alat bor, dan wajan untuk menggoreng biji kopi. Dari bahan-bahan tersebut, dibuatlah beragam pernak-pernik: gelang, kalung, tasbih, anting, dan rosario. Selain itu, biji kopi tersebut juga dibuat ekstrak parfum dan pewangi. “Dari bahan baku biji kopi, kini kami sudah memproduksi sekitar 10 item barang,” katanya. Ia bangga produknya dapat diterima masyarakat. Bahkan, untuk produk gelang kopi, penjualannya bekerjasama dengan Damn! I Love Indonesia milik Daniel Mananta.

Di antara 10 jenis barang tersebut, menurut Yudi yang tengah menempuh pendidikan S-2 Konsentrasi Pemberdayaan Masyarakat di STPMB APMD Yogyakarta ini, ada empat produk yang menjadi best seller, yakni pewangi kopi, roll-on kopi, parfum badan, dan gelang kopi. Untuk pewangi kopi yang terdiri dari tiga varian: black coffee, mocacinno, dan choco coffee, Yudi mengklaim, dialah yang pertama memproduksi.

Kini, dalam sebulan, produksi Koke mencapai 40 ribu bungkus. Untuk bahan baku, Yudi mulai menjalin kerjasama dengan petani lokal. Dulu, ketika kebutuhan biji kopi 300 kg/bulan, ia masih bisa mengusahakannya dengan membeli kopi dari banyak tempat. Namun sekarang, ketika kebutuhan meningkat, mencapai 3 ton/bulan, ia kewalahan. Ia pun melakukan investasi kebun sendiri di Bondowoso dan Temanggung, juga menjalin kerjasama dengan petani lokal di Lampung, Temanggung, Bali, dan Sumatera Selatan.

“Kami mencoba mengolah sendiri dan beberapa kami dapat dari teman-teman petani. Kami mencoba memberdayakan orang di Prambanan dan Bantul, khususnya pekerja pabrik dan manula,” kata Yudi. Ia memberdayakan petani yang dulunya merupakan pekerja bawang yang hanya digaji Rp 12 ribu per hari menjadi pegawai produksi Koke yang saat ini sudah berjumlah 22 orang: tujuh orang di Prambanan dan 15 orang di Bantul.

Setelah tiga tahun berjalan, dibenarkan oleh Yudi, bisnisnya berkembang relatif cepat. Hal itu diakuinya berkat pengalaman bekerja di media. “Saya memanfaatkan teman-teman sendiri yang beritikad baik. Baik itu teman artis ataupun teman saya di media dulu,” ungkapnya.

Menurut Yudi, konsep economy sharing melalui sistem agen, distributor, dan reseller terbukti lebih sesuai ketimbang menggunakan sistem distribusi langsung. “Kalau orang yang berasal dari luar Yogyakarta mau beli ke kami langsung, itu tidak bisa. Mereka harus membeli lewat reseller Koke di kota terdekat, misalnya di Jakarta dengan harga sesuai dengan yang Koke published,” katanya panjang lebar.

Koke yang dibanderol Rp 35 ribu-50 ribu juga agresif menggarap penjualan online. Tokopedia, Shopee, Blibli.com, Blanja.com, dan Elevenia ikut menjual Koke. Toko offline-nya hanya ada di Jl. Kaliurang Km 5,5, Yogyakarta. Sejauh ini Koke melakukan penjualan di wilayah Jabodetabek, Sumatera, bahkan sudah merambah luar negeri seperti Kuwait, India, Hong Kong, dan Malaysia.

Dengan penjualan per bulan 120.000 pcs, omset Rp 1,4 miliar (Juni-Desember 2018), dan presentase profit per bulan selalu di atas 40%, Yudi optimistis, Koke masih dapat terus berkembang. Untuk jangka pendek, pihaknya berencana membuka toko oleh-oleh di Yogya dan meluncurkan empat varian produk terbaru. Adapun rencana jangka panjangnya, memperluas pasar ekspor. Ia menyadari, untuk perluasan pasar ekspor, pihaknya harus menjaga konsistensi produk terlebih dulu. Setelah itu, barulah memikirkan ekspedisi dan pengapalannya.

“Rencana kami masih panjang. Kami berencana memiliki konveksi sendiri untuk goninya. Kami juga punya konsep 4R (Reduce, Reuse, Recycle, Repair),” Yudi menandaskan. Ia pun bertekad menjaga nilai-nilai perusahaan. “Saya tidak melulu soal uang dan bisnis, namun saya ingin harus ada social impact-nya juga,” katanya meyakinkan.(*)

Dyah Hasto Palupi/Chandra Maulana

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved