Marketing Editor's Choice Strategy

Pakaian Dalam Rider Menanjak di Tangan Generasi Keempat

Pakaian Dalam Rider Menanjak di Tangan Generasi Keempat

Pakaian dalam merek Rider sudah hadir sejak tahun 1955 dan kini berada di tangan generasi keempat. Merek Rider sempat memudar di pasar domestik karena terlalu berkonsentrasi menggarap pasar ekspor. Tapi, di tangan generasi keempat, orientasi bisnisnya dibenahi. Pasar domestik diperkuat dulu, sehingga menjadi fondasi untuk menerobos ke pasar ASEAN. Bagaimana pasang surut Rider dalam mengarungi bisnis pakaian dalam? Hanan Supangkat, Chief Operating Officer PT Mulia Knitting Factory, produsen Rider, memaparkannya kepada Destiwati Sitanggang:

Rider_hanan(utama)

Perjalanan dalam membangun brand?

Brand ini mulai ada pada tahun 1955. Kakek buyut saya sebagai generasi pertama yang memulai, kakek saya generasi kedua, ayah saya generasi ketiga dan saya generasi keempat. Lalu pada generasi ketiga, generasi ayah saya, brand-nya tidak terlalu mengalami perkembangan, karena pangsa ekspornya lebih menjanjikan. Jadi kita secara perusahaan lebih banyak fokus ke ekspor dan itu beriringan dengan krisis 1998. Pada saat krisis itu kurs US$ nilai dollar menjadi sekitar Rp15ribu, dan melihat hal itu, pangsa ekspor lebih menjanjikan. Dari tahun 1998 sampai 2004, kita kurang fokus di sini, sehingga brand-nya tersusul kompetitor.

Sejak tahun 1995, lalu terkena juga dampak krisis di 1998, selama 10 tahun brand kami tidur. Padahal dari generasi pertama dan kedua, tahun 1955 sampai 1990, brand Rider merupakan leader. Saya kembali ke Tanah Air tahun 2003, dan saya melihat potensi merek ini ada, karena sebagian besar orang sudah kenal, hanya perlu dikembangkan lagi. Generasi muda juga belum begitu kenal dan dari situ kita mulai kebut lagi. Dari situ momennya pas, di sisi lain kompetitor sudah merasa sebagai leader sekali. Lalu kita mulai dengan terobosan-terobosan terbaru sampai dengan hari ini. Sudah 10 tahunan ini kita sudah cukup sangat aktif dan langkah kita ini orang-orang dapat melihat pasar underware ini sangta potensial dan kompetitor semakin banyak. Tapi kita selalu berbuat sesuatu yang lain daripada yang lain, harus outside the box, jangan sama-sama saja dengan kompetitor. Jadi marketing campaign-nya harus berbeda sekali.

Cara untuk bertahan?

Satu kita harus menjaga kualitas. Kita tidak boleh membohongi konsumen, karena sekali kita membohongi konsumen, jangka pendeknya mungkin oke, tapi jangka panjangnya kita akan kehilangan konsumen. Nomor dua, kita harus mengikuti tren. Memang Rider terkenal dengan pakaian dalam zaman ‘babeh gue’ , tapi kalau kita tidak mengikuti trennya saat ini, dengan produk fashion yang semakin masif, kita akan ketinggalan. Satu kita ketinggalan dalam negeri, kedua kia tidak akan bisa bersaing dengan produk luar negeri. Karena produk luar negeri memiliki banyak inovasi dan sources-nya juga banyak, apalagi ketika dipakai oleh artis Hollywood, kita harus bisa mengikuti. Jadi, kalau menurut saya, mengikuti perkembangan dan kualitas. Selain itu, juga memperkenalkan kepada konsumen Indonesia bahwa kita harus cinta kepada produk dalam negeri.

Rider-Hanan

Jadi dari Rider, kualitas yang ditonjolkan?

Iya, karena kita menggunakan 100% katun, di mana kompetitor lain suka mencuri-curi agar biayanya lebih murah. Bagi saya itu tidak berguna, karena kami ingin keberadaan kami ini untuk jangka panjang. Kalau mencuri-curi sekali tidak apa-apa, tapi kalau berkelanjutan, berarti konsumen juga terus dibohongi, tentu capai.

Kesulitan bersaing dengan brand asing?

Kalau untuk saat ini, kami tidak terlalu khawatir dengan brand asing, karena untuk pakaian dalam pria ini, 4 brand Indonesia ini cukup kuat. Ketika brand asing masuk, grade market-nya itu masuk ke needs, karena market-nya A+. mereka juga hanya dijual di Sogo, Metro, dll. Sedangkan kalau produk kita, lebih masif. Dari menengah, bahkan yang ke bawah juga masih bisa. Jadi ceruk pasar kita lebih luas bisa puluhan juta, kalau brand asing dari seluruh penduduk Indonesia mungkin sekitar 2-3 juta. Pada tahun 2002 banyak juga brand Tiongkok yang masuk dengan harga yang murah-murah, tetapi karena brand kita kuat, mereka tidak kuat bertahan.

Pasar Indonesia yang kebarat-baratan, apakah itu memengaruh?

Tidak, faktanya memang seperti itu.

Apa menjadi penguat brand ini di mata konsumen?

Ini merupakan semi consumer goods, bukan consumer goods, bukan fashion juga, jadi ada di antaranya. Kalau dalam consumer goods, asing tidak ada yang masuk. Kebetulan untuk produk pakaian dalam ini masuk ke semi, tidak consumer goods sepenuhnya, tapi sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok.

Underware, semua orang harus pakai, bahkan di Papua hampir sebagian besar sudah maju dan menggunakan underware. Selain itu, kita menjual bukan hanya di toko, tetapi juga di supermarket, pasar tradisional, kelontongan, kalau produk asing tidak sampai ke situ. Jadi konsumen Indonesia itu, dekat dengan lokasi pembelian, itu menjadi nomor satu. Itu salah satu penyebab konsumen Indoensia cukup dekat dengan brand ini. Selain itu kita juga melakukan iklan di TV, media cetak, jadi mereka selalu ingat. Bahkan sekarang yang semakin berkembang, minimarket, outlet-nya ada banyak, di situ saja produk kita masuk. Kalau fashion tidak akan bis masuk di sana. Minimarket-minimarket seperti itu kan menjual kebutuhna pokok, oleh karena itu mereka juga menjual ini.

Menghadapi merek-merek lokal?

Untuk lokal kita ada empat brand, Rider, GT Man, Crocodile, dan Hings. Kita masuk dalam dua besar, yang jarak keduanya tidak terlalu besar, jadi suka naik turun dan kejar-kejaran. Untuk yang ketiga ada jarak juga, tapi mereka tetap mengejar ketinggalan, sedangkan yang keempat sudah tidak terlalu aktif. Kita bertiga sudah memegang 70-80% market di Indonesia. Jadi tidak terlalu khawatir. Kita bersaing dengan cara sehat dan baik. Dengan cara adu startegi di marketing, distribusi, produk jadi tidak perlu saling menjatuhkan. Kalau Rider sendiri, saya selalu minta, agar marketing campaign-nya tidak sama dengan yang lain. Contoh, kita ambil billboard di jalan tol, yang menunjukkan pria telanjang dan hanya menggunakan celana dalam. Responsnya banyak yang mengatakan gila, tapi kalau happening harus mencoba.

Perbedaan produk dengan merek lokal?

Seperti yang saya sampaikan, kita sangat menjaga kualitas, tidak mencuri-curi dengan bahannya. Standarnya kita benar-benar mengikuti standar internasional. Karena kita ada divisi ekspor, dengan adanya divisi itu kita juga belajar, jangan mengikuti standarnya lokal. Jadi saya bilang, kualitas Rider dengan kulitas produk-produk di luar negeri hampir sama.

Memelihara brand awareness dari generasi pertama sampai sekarang?

Zaman berubah, kalau di zaman saya berarti saya harus mengikuti tren saat ini. Kalau zaman dulu tidak ada internet, media sosial, dll oleh karena itu kita harus mengikuti zaman ini. Jadi kita masih mengikuti segala sesuatu yang berhubungan dengan internet, TV, radio, dan media cetak. Awareness saya bangun lewat situ. Kompetitor belum masuk ke sana, dampaknya sekarang belum terasa, tetapi beberapa tahun ke depan, anak-anak yang sekarang suka bermain Facebook, akan tertular juga.

Kesulitan saat repositioning?

Kesulitannya pasti berat sekali. Ketika itu 2003, jarak antar ranking 1 dan 2 dua itu jauh sekali dan kami ada di ranking 2, mungkin di sales-nya 1 : 5. Untuk mengejar, tentu perlu usaha yang luar biasa dan sangat menantang. Perlu juga meyakinkan orang tua saya, sebagai generasi ketiga, karena saat itu saya baru pulang kuliah dan belum memiliki pengalaman apapun juga. Semua proses dan bertahap. Orang tua melihat perkembangannya bagus, baru diberi kesempatan lagi. Tidak bisa saya, tiba-tiba langsung ingin begini-begini tanpa ada tangganya. Jadi saya meyakinkan orang tua perlahan dan bertahap. Pertama saya perbaiki dulu pendistribusiannya, lalu saya lanjut ke iklan unut mengangkat brand. Semua bertahan. Itu membutuhkan waktu 7 tahun untuk mengurangi perbedaan yang ada dengan ranking 1. Itu kesulitannya, meyakinkan orang tua. Saya sebagai generasi keempat tentu tidak bisa berfoya-foya.

Bagaimana pertumbuhannya?

Dalam 10 tahun terakhir pertumbuhan kita rata-rata 20% setiap tahun. Ada momen-monem 5-7 tahun yang lalu yang pertumbuhan sampai 40-50% ketika mau loncat. Tetapi ketika sudah stabil dan masuk ke ranking satu dan dua, pertumbuhannya tidak bisa 40-50% lagi. Dua tahun lalu pertumbuhan kita 15%, setahun lalu 26%.

Berapa market share?

Kalau saya bisa klaim 30%. 30% di GT Man, 10-15% di Crocodile, sisanya di merek-merek kecil. Kalau saya Tanya GT Man, market share dia dibilang 55%, menurut saya tidak masuk akal dengan penduduk Indonesia. Jadi angka 30% itu masih masuk akal, karena kita melihat baik Rider maupun kompetitor jangkauannya belum yang sampai pelosok-pelosok yang semuanya memakai produk kita.

Kekhawatiran sebagai brand lokal ke depannya?

Pemerintah yang stabil ekonominya, seperti kurs dollar. Kita bahan kita semuanya impor, karena Indonesia tidak punya kapas, tidak bisa produksi kapas. Kalau dollar melonjak-lonjak, berat untuk kita. Kalau dollar melonjak dan kita mengikuti harga dollar, belum tentu bisa diterima konsumen. Seperti yang saya bilang, ini semi consumer goods. Kalau bolong sedikit, ya sudahlah, masih bisa dipakai. Berbeda dengan makanan, yang menuntut harus dibeli. Kalau harga melonjak, orang-orang akan ada cenderungan untuk menunda pembelian. Faktor kestabilan ekonomi dalam industri pakaian dalam ini berpengaruh. Kalau dari tren, saya tidak khawatir dengan gempuran impor, karena brand lokal sudah cukup kuat.

Image yang ditempelkan untuk masyarakat?

Pakaian dalam produk Indonesia. Pakailah pakaian dalam produk dalam negeri. Jangan pakai produk luar bangsa, karena ekonomi kita akan berputar kalau produk dibuat dan digunakan oleh anak bangsa.

Pengembangan yang akan dilakuka Rider untuk mampu bersaing dan bertahan?

Dari segi produk kita harus mengikuti tren pasar, baik dari segi warna dan model, tetapi tidak semua tren masuk karena konsumen tidak bisa dipaksakan juga. Bagaimana pun juga luar negeri menjadi pacuan, ketika kita tidak mengikuti tren, kita akan ketinggalan dan jadi kita harus mengikuti atau produk asing akan masuk. Ini kan sudah masuk pasar bebas. Terus dari kualitas juga kita pertahanlan.

Strategi menghadapi pasar bebas?

Kalau saya dalam 2-3 belakang ini, saya mulai ekspor ke negara-negera ASEAN. Jangan mereka yang masuk ke sini, tapi saya yang kuat di sini, jadi saya yang masuk ke sana. Kami sudah berjalan di Singapura, Kamboja, dan Myanmar. Selain itu kami juga sudah mulai penjajakan di Thailand dan Malaysia. Jadi 2015 target kami, kami sudah eksis.

Kunci sukses survive selama ini?

Jangan terlalu ekspansif, dalam arti berlipat-lipat. Saya selalu terapkan segala sesuatu harus bertahap menggunakan tangga. Jangan menginginkan segala ssesuatu 100% atau 200%. Segala sesuatu yang naiknya cepat, turunnya juga akan cepat. Jadi kalau mau naik, ini perusahaaannya sudah lama, jadi kita harus mantap melangkah dalam menaiki tangga. Prinisp ini yang diterapkan dari generasi ke generasi.

Produksi per tahun?

3 juta lusin per tahun. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved