Marketing Strategy

Produksi Film Tidak Harus Bergantung pada Tiket

Produksi Film Tidak Harus Bergantung pada Tiket

Dominasi film barat di Indonesia, dilihat sebagai suatu tantangan bagi filmmaker lokal. Menurut Handoko Hendroyono, produser film Surat dari Praha (2016) dan Filosofi Kopi (2015), pembuat film harus mengintegrasikan film, musik, merchandise, dll. “Tidak hanya bergantung pada tiket,” ujarnya mantap.

Saat ini deretan film produksi dalam negeri memang terus menunjukkan kemajuan, baik dari sisi cerita maupun teknologi yang digunakan. Salah satu film yang digarap secara serius dan mengandung unsur politik sejarah adalah Surat Dari Praha.

Film yang diproduksi oleh Visinema Pictures ini, terinspirasi dari kisah para pelajar Indonesia di Praha yang tidak dapat kembali ke Tanah Air akibat perubahan situasi politik dalam negeri tahun 1966. Mengambil latar belakang Praha pada sebagian besar film, tim produksi ingin menampilkan sisi politik melalui love story dengan gaya populer dan komunikatif.

“Membuat film ini adalah perjalanan kreatif bertemu langsung dengan para eksil yang sudah berusia senja, tapi dapat bercerita detail bagaimana kisah keberanian mereka dan ketidakadilan yang didapat selama masa orde baru,” ujar sutradara Angga Dwi Sasongko.

Tim Produksi Film Surat dari Praha. (ki-ka) Glen Fredly (Produser Eksekutif), Angga Dwi Sasongko (Sutradara), dan Handoko Hendroyono (Produser)

Tim Produksi Film Surat dari Praha. (ki-ka) Glen Fredly (Produser Eksekutif), Angga Dwi Sasongko (Sutradara), dan Handoko Hendroyono (Produser)

Cerita berawal dari Larasati (Julie Estelle) yang terpaksa memenuhi wasiat ibunya Sulastri (Widyawati) untuk mengantarkan sebuah kotak dan surat untuk Jaya (Tio Pakusadewo) di Praha. Jaya adalah seseorang yang gagal memenuhi janji puluhan tahun silam kepada ibunya akibat perubahan situasi politik orde baru.

Larasati mengetahui akar persoalannya setelah membaca surat-surat itu dan menuding Jaya sebagai penyebab ketidakharmonisan keluarganya. Cerita ini ingin menyampaikan tentang kekuatan memaafkan dan berdamai dengan masa lalu.

Bukan hal mudah bagi tim untuk melakukan syuting di negara lain. Jumlah hari yang terbatas dimanfaatkan dengan maksimal. Hal ini untuk melakukan efisiensi biaya. Selain itu Praha sedang mengalami musim panas, sehingga lebih menguras tenaga tim dan pemain.

Film yang ditargetkan mencapai 200 ribu penonton ini memang terbilang cukup membuat para penonton berpikir. Menurutnya, ada beberapa orang cukup komunikatif yang berpendapatbahwa film cukup berat untuk ditonton, tetapi ada pula yang melihat cerita terlalu pop. Hal ini dianggap menjadi sebuah masukan dan keseruan tersendiri bagi seorang produser film.

“Kami kerja sama dengan production house lokal. Di sana selama 12 hari. Waktu 8 hari kami pakai untuk proses syuting. Tetapi sebelumnya sang sutradara dan (Irfan Ramly) penulis skenario, melakukan riset dan bertemu dengan Mahasiswa Ikatan Dinas (MAHID) yang sedang menempuh pendidikan di Praha, Republik Ceko. Kami banyak mendapat info dari mereka,” ujar Handoko.

Tantangan lainnya datang dari isu yang beredar luas mengenai plagiasi. Film yang rilis awal 2016 ini diklaim melakukan plagiasi dari novel yang berjudul sama dengan penulis Yusri Fajar. Menanggapi masalah ini, Handoko mengemukakan bahwa mereka tidak melakukan plagiasi.

“Kami belum pernah membaca novel tersebut. Kalaupun memiliki judul yang sama, itu hanya kebetulan. Karena memang di Praha benar ada masalah kehilangan kewarganegaraan yang dialami oleh mahasiswa Indonesia pada tahun 1966 itu. Secara hukum nama Praha dan judul yang sama, tidak dapat dipermasalahkan dan tidak dapat dihakpatenkan oleh seseorang. Nama negara tidak dapat dihakpatenkan. Saran saya coba teman-teman dari Malang menonton film kami dan baca novel itu. Silakan bandingkan kemudian berdiskusi dengan pihak kami,” ungkapnya.

Terlepas dari masalah tersebut, Visinema akan membuat film Wonderful Life (based on true story), mengangkat cerita orang tua yang memiliki anak disleksia. Yang menarik dalam film ini adalah terapi melalui seni yang dilakukan psikolog untuk anak-anak disleksia. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved