Marketing Strategy

Strategi Polytron Membangun Merek (bagian 2)

Strategi Polytron Membangun Merek (bagian 2)

Pada tahun 1984, Polytron membuat iklan khusus bertajuk Polytron, The Winning Theme. Iklan tersebut menunjukkan kami berhasil menjadi penguasa pasar di produk audio. Untuk produk teknologi, pengumuman keberhasilan ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan pasar.

Konsumen harus dibuat bangga saat menggunakan satu produk teknologi atau mobil, dan motor. Mereka harus merasa merek yang digunakan bukan produk kacangan. Langkah ini juga bertujuan untuk meningkatkan keyakinan para retailer karena merekalah ujung tombak di pemasaran. Kalau kita mengumumkan produk baru, biasanya mereka akan ragu dalam memasarkan. Itu terkait dengan pelayanan nanti saat barang rusak.

Pada tahun 1988, perseroan membuat merek baru yakni Digitec. Ada juga merek Oke dan Polyvision. Saat itu, merek-merek Eropa terkapar, kalah dengan brand Jepang yang meroket. Demikian juga produk dari Korea. Polytron mesti siap bersaing dan untuk itulah dibuat merek baru untuk melawan produk Korea yang harganya murah. Harga Polytron tetap tinggi dan untuk meningkatkan penjualan, Digitec disebut berasal dari Jepang namun harganya miring. Iklan yang ditayangkan di TV berupa pegulat Sumo dan Ninja kian meyakinkan orang kalau Digitec memang menggunakan teknologi dari Jepang.

“Polytron tetap bisa naik ke atas meski sebenarnya belum berhasil benar. Untuk naik kelas, produk harus diubah. Tidak boleh ada yang kelas bawah. Mereknya juga. Masalahnya, perseroan juga tak mau meninggalkan yang di bawah. Itu yang sulit,” kata Handojo Soetanto, Mobile Phone Product Manager PT Hartono Istana Teknologi.

Handojo Soetanto, Mobile Phone Product Manager PT Hartono Istana Teknologi.

Handojo Soetanto, Mobile Phone Product Manager PT Hartono Istana Teknologi. (foto: istimewa)

Krisis 1998

Krisis ekonomi tahun 1998 adalah pukulan terberat bagi Polytron. Perseroan memang sering membuat produk yang gagal berkembang. Namun, krisis adalah cobaan yang paling berat. Kurs Dolar AS melambung tinggi dari Rp1.500 menjadi Rp17.000. Perseroan sangat terpukul karena kandungan lokal yang sedikit di produk elektroniknya. Perusahaan memutuskan menghentikan penjualan untuk sementara, dan berusaha sekuat tenaga tidak melakukan lay-off (PHK).

Orang berdagang harus ada kepastian, uang hasil penjualan bisa digunakan lagi untuk memproduksi barang yang baru. Kalau tidak, stok barang pasti akan terus menyusut. Yang terlihat kemudian, harga TV 14 inci meroket dari Rp400 ribu menjadi Rp1,2 juta. Banyak orang yang kesulitan menghadapi hal ini.

Saat nilai tukar dolar AS stabil lagi di kisaran Rp6.000-Rp7.000, barulah aktivitas penjualan dimulai kembali. Untuk mendongkrak penjualan, perseroan beriklan di TV. Saat itu, Polytron adalah satu-satunya merek elektronik yang beriklan di TV karena semua merek Eropa tiarap pada kurun 1998-2000. Hasil investasinya sangat bagus karena saat itu boleh dibilang kita tak punya pesaing.

“Kami sampai membuat iklan pesan sosial masyarakat yang dieksekusi Jaya Suprana. Ada banyak tokoh di sana. Iklan ditayangkan di bulan Agustus bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia,” katanya. Iklan itu berhasil membuat masyarakat Indonesia bangkit dari krisis. Hal ini berdampak positif pada bisnis Polytron. Daya beli yang mulai berangsur naik kemudian meningkatkan volume penjualan barang elektronik, terutama TV.

Strategi Polytron Membangun Merek (bagian 1)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved