Marketing Strategy

Tidak Ada Standar Khusus untuk Specialty Coffee di Indonesia

Tidak Ada Standar Khusus untuk Specialty Coffee di Indonesia

IMG_0806

Akhir-akhir ini nama specialty coffee ramai dibicarakan khalayak umum. Kafe kafe di Ibu Kota berbondong-bondong mengusung tema specialty coffee dalam menu mereka. Sebenarnya, apa sih specialty coffee itu?

Win Hasnawi, pemilik dari Qertoev Coffee Gayo, mengatakan, sampai saat ini belum ada definisi yang tepat untuk specialty coffee. Namun,secara fisik specialty coffee dapat didefinisikan sebagai tidak adanya satupun material lain selain biji kopi di setiap 300 gram.

“Membicarakan definisi specialty coffee tidak akan ada habisnya. Definisnya belum saklek. Mau didefinisi secara taste kah? Bentuk biji kopinya kah? Cara pembuatannya kah? Atau cara penanaman? Kiblatnya mau ke mana? Mau ke Eropa atau ke Amerika?,” kata Win.

“Pernah ada orang hulu yang bilang bahwa kopi saya bukan specialty coffee, lantaran ukuran biji kopinya tidak sama. Saya kan tidak mungkin menghitung berjuta-juta biji kopi yang ada di dalam satu karung,” tambah Win.

Tidak adanya pakem yang jelas mengenai specialty coffee membuat banyak kedai kopi memanfaatkannya sebagai salah satu strategi marketing mereka. “Banyak kedai kopi di Jakarta yang mengusung tema specialty coffee, kemasan (tokonya) menarik, tempatnya di pusat Ibu Kota, alat-alat yang dipakai canggih, harganya Rp 80.000 secangkir. Tapi ketika kopinya diminum rasanya tidak enak sama sekali,” kata Jeffrey Neilson, pengajar di Universitas Sydney.

Win menyarankan agar standar specialty coffee di Indonesia dirundingkan bersama. Kiblatnya ke arah Indonesia sendiri karena di Indonesia justru kopinya ditanam dan diproses, bukan di luar Indonesia. “Inikan kopi kita. Kopi kita banyak jenisnya ada kopi Aceh, Kopi Toraja, Kopi Gayo, dan lain sebagainya. Di tanamnya juga di tanah Indonesia. Mengapa harus berkiblat ke Eropa atau Amerika?” jelas Win.

Terkait dengan peningkatan konsumsi specialty coffee, apakah berpengaruh banyak kepada petani kopi? Jawabannya tidak. Masih banyak petani yang memakai cangkul warisan keluarganya, buka cangkul baru. Mengapa begitu? Karena masih banyak middle men yang serakah. Proses supply chain yang panjang dimanfaatkan oleh para middle men untuk mengeruk keuntungan yang sebesar besarnya. Rata-rata petani kopi hanya bisa memproses sampai petik merah (cherry). Proses pulping, fermentasi, sorting, dan lain-lain dikerjakan oleh orang lain sehingga harus sharing cost. Hal ini lah yang membuat petani tidak mendapat untung yang seberapa dibandingkan dengan middle men.

Win mengatakan, seharusnya middle men tidak hanya memikirkan keuntungan sendiri. Tetapi juga memikirkan kesejahteraan petaninya. Orang hulu (brewer) juga harus diedukasi bagaimana menghargai perjuangan petani kopi. Jangan gampang membuang kopi begitu saja.

Menurut Win, jika ingin memakmurkan petani kopi, jangan mengekspor kopi. Jual di domestik saja. Mengapa begitu? Menurutnya, ekpor hanya prestasi pemerintah saja. Namun, petani kopi tetap tidak makmur.

Selain itu harga kopi juga ditentukan oleh SCAA (Specialty Coffee Association of Amerika), padahal kopi Indonesia ditanam di Indonesia sendiri. Lucunya, meskipun Indonesia merupakan negara pengekspor kopi terbesar keempat di dunia, produk kopinya tidak pernah dipamerkan di pameran SCAA.

Jika penjualan kopi hanya di wilayah domestik saja, harga kopi Indonesia akan memiliki nilai tawar yang lebih tinggi. Karena pada dasarnya orang luar butuh kopi Indonesia. Peran middle men juga penting. Jangan hanya memeras petani. Tapi mereka harus memikirkan kesejahteraan petani mereka. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved